September 13, 2024

Yang Jangan Dilupakan dari Putusan MK Hasil Pemilu 2024

Ketuk palu Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2024 (22/4) menjadi penanda berakhirnya kontestasi Pilpres 2024. Ini pun sekaligus mengukuhkan keterpilihan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih untuk 2024-2029.

Meskipun mengukuhkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 yang memenangkan Prabowo-Gibran, Putusan MK Nomor 1 dan 2/PHPU.PRES/XXII/2024 menjadi putusan yang monumental karena dalam sejarahnya—sepanjang mengadili sengketa pemilu—MK selalu menolak permohonan dengan suara bulat. Alasannya: MK ingin agar pemerintahan yang baru memiliki legitimasi yang kuat sepenuhnya. Namun, kali ini, tiga dari lima hakim konstitusi, yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat melontarkan pendapat berbeda.

Pokok pendapat dari tiga hakim itu adalah dalil permohonan pemohon. Ketidaknetralan aparatur pemerintah yang sebagian berkelindan dengan politisasi bantuan sosial (bansos). Ini beralasan menurut hukum, dan oleh karenanya demi terciptanya pertandingan yang adil di antara para kontestan pemilu (a same level of playing field), maka perlu dilaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa daerah.

Pelanggaran Etik Putusan 90/PUU-XXI/2023

Sengkarut permasalahan kontestasi Pilpres 2024 tidak dapat dilepaskan dari Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai pendamping Prabowo Subianto. Padahal, Gibran belum memenuhi syarat usia minimal pencalonan presiden-wakil presiden yaitu usia 40 tahun. Meskipun putusan tersebut bersifat final dan mengikat—karena memang begitu ketentuan konstitusionalnya—namun tidak terelakkan bahwa putusan yang menjadi dasar pencalonan Gibran Rakabuming Raka tersebut mengandung cacat hukum dan cacat etik yang sangat serius. Majunya putra sulung Presiden Joko Widodo itu juga membuka lembaran baru kontestasi pilpres yang diikuti oleh anak presiden yang sedang menjabat.

Putusan Majelis Kehormatan MK menandai pelanggaran etik pada awal kontestasi Pilpres 2024. Anwar Usman “dicopot” dari pucuk pimpinan MK lantaran terbukti memiliki benturan kepentingan dalam putusan yang meloloskan keponakannya, yakni Gibran Rakabuming Raka. Selain itu, pertama kali dalam sejarah berdirinya MK, sembilan hakim konstitusi kompak melanggar etik karena membiarkan praktik benturan kepentingan di antara hakim konstitusi.

Pelanggaran etik juga dilakukan secara ugal-ugalan oleh penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ketua KPU Hasyim Asy’ari tercatat melanggar etik sampai empat kali dengan sanksi peringatan keras terakhir. Salah satunya adalah pelanggaran administratif karena menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka tanpa mengubah Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023. Seakan tak mau ketinggalan, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja—yang semestinya menjadi pengawal utama agenda pemilu—juga disanksi peringatan keras usai mengutak-atik jadwal seleksi keanggotaan Bawaslu di tingkat kabupaten/kota serta tidak menggubris laporan pelanggaran administratif pemilu yang dilayangkan warga masyarakat.

Adu Bukti

Kemenangan telak Prabowo-Gibran dengan raihan suara 58,59 persen tidak menyurutkan langkah kedua rivalnya: Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Kedua pasangan calon (paslon) itu mengajukan gugatan ke MK. Akhirnya, segenap kecurangan berikut alat bukti dititipkan di pundak kedelapan yang mulia hakim konstitusi.

Kubu Anies-Muhaimin menuding pelaksanaan Pilpres 2024 diwarnai sejumlah kecurangan yang melanggar prinsip dasar dalam konstitusi, sedangkan kubu Ganjar-Mahfud mendalilkan kecurangan dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Meskipun memiliki strategi pembuktian yang terpaut berbeda, kedua paslon sama ihwal meminta MK menganulir Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 dan membatalkan kemenangan Prabowo-Gibran serta melakukan PSU hanya terhadap paslon 01 dan 03.

Poin Penting Putusan MK

Pada akhirnya, MK telah memutus menolak permohonan yang diajukan paslon Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud untuk seluruhnya. Putusan mana yang melekat sifat final dan mengikat dan tidak terbuka upaya hukum selain menerima putusan. Oleh sebab itu, sebagai peradilan konstitusi yang tidak hanya berfungsi sebagai pengawal konstitusi dan pengawal demokrasi, MK menegaskan beberapa hal terkait pemilu di masa mendantang.

Pertama, MK telah menasbihkan kewenangan konstitusionalnya—sebagaimana termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)—untuk tidak sekadar menjadi “Mahkamah Kalkulator” yang berkutat pada persoalan statistik angka-angka, melainkan lebih jauh dari itu: memastikan pelaksanaan pemilu tidak menyeleweng dari prinsip pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Kedua, terlepas dari kewenangan konstitusional MK untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilu pada tingkat akhir yang putusannya bersifat final dan mengikat, lembaga yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan ihwal pemilu seperti Bawaslu dan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) sudah seyogianya menuntaskan pekerjaannya secara optimal demi mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas serta tidak menjadikan MK sebagai “keranjang sampah” penyelesaian masalah pemilu.

Ketiga, penggunaan alat bantu rekapitulasi penghitungan suara dengan pemanfaatan sistem informasi rekapitulasi (Sirekap) harus memperhatikan perkembangan teknologinya sehingga tidak ada keraguan ihwal data yang ditampilkan. MK juga memandang perlu dilakukan audit oleh lembaga yang berkompeten dan mandiri sebelum menggunakan Sirekap. Bahkan, apabila dipandang perlu, pengelolaan Sirekap dilakukan oleh lembaga yang independen yang bukan penyelenggara pemilu.

Pendapat Berbeda Tiga Hakim

Nyatanya, putusan tersebut tidak diambil dengan suara bulat. Meskipun kalah voting dengan lima orang hakim konstitusi lainnya dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH), tiga orang hakim konstitusi secara gamblang melontarkan pendapat berbeda (dissenting opinion) sebagai penolakan terhadap suara mayoritas hakim konstitusi.

Yang pertama, hakim konstitusi Saldi Isra menyoroti penyaluran bantuan sosial (bansos) untuk pemenangan salah satu paslon dan ketidaknetralan aparatur negara, termasuk pengangkatan sejumlah pejabat kepala daerah yang dinilainya telah direncanakan jauh-jauh hari sebelum pemilu, yang pada akhirnya mencederai asas pemilu yang jujur dan adil sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.

Pendapat senada juga disampaikan hakim konstitusi Enny Nurbaningsih. Menurutnya, pengangkatan pejabat kepala daerah secara masif—meskipun dalam masa transisi—telah mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi sekaligus “mengkhianati” daulat rakyat untuk memilih secara langsung. Ia juga menemukan cukup bukti untuk sampai pada kesimpulan pengerahan kepala desa dan politisasi bansos berkelindan dengan ketidaknetralan pejabat daerah.

Yang teranyar, hakim konstitusi Arief Hidayat dengan lugas menyatakan cawe-cawe Presiden Joko Widodo dengan segenap aparatur pemerintah dari pusat hingga daerah telah bertindak partisan dan memihak paslon tertentu. Bahkan, ia tak segan melontarkan kritik terhadap pelaksanaan pemilu yang melanggar prinsip pemilu secara terstruktur dan sistematis. Atas dasar itulah, hakim konstitusi Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat memandang perlu dilakukan PSU di sejumlah daerah yang terbukti bermasalah guna menjamin pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil.

Di akhir dissenting-nya, Arief Hidayat memandang perlu memberikan catatan penting terkait pelaksanaan pemilu mendatang. Pertama, perlunya lembaga penegak kode etik nasional dalam rangka menuntaskan persoalan etika sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya etika (rule of ethics) di samping aturan hukum (rule of law). Kedua, perlunya melakukan revisi terhadap sejumlah ketentuan hukum, di antaranya jangka waktu memutus sengketa pilpres maksimal 14 hari mengingat lingkup wilayah dan jumlah pemilih yang sangat besar.

Kemudian, untuk mengisi kekosongan hukum yang tidak mampu menjangkau keberpihakan presiden terhadap proses pemilu, ia memandang perlu undang-undang tentang lembaga kepresidenan yang mengatur dengan saksama uraian tugas pokok dan fungsi presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Akhirnya, setiap perkara harus ada akhirnya (litis finiri oportet). Negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat)—di samping menjunjung tinggi supremasi hukum dengan mematuhi putusan pengadilan—juga menghormati kedaulatan rakyat yang telah menggunakan hak pilihnya di bilik suara. Demikian pula tiada hukum buatan manusia yang sempurna, terlebih parpiurna. Oleh sebab itu, semua pihak semestinya tunduk pada aturan main dan menahan diri untuk memanfaatkan kelemahan hukum pemilu untuk mendulang suara elektoral. []

CALVIN WIE
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya