August 8, 2024

Yang Lebih Menentukan Efektivitas Pemerintahan Adalah Waktu Pemilu

Pada Kelas Virtual Pemilu Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sesi “Pemilu, Bentuk Negara, dan Sistem Pemerintahan” (15/4), Penasihat Perludem, Didik Supriyanto mengatakan bahwa variabel waktu penyelenggaraan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) lebih berpengaruh terhadap efektivitas pemerintahan dibandingkan variabel sistem pemilu. Kasus Amerika Serikat dan Brazil dinilai menunjukkan hal tersebut.

Di Amerika Serikat, negara federal yang menerapkan sistem pemerintah presidensialisme dengan sistem pemilu majoritarian menunjukkan bahwa dalam sistem majoritarian, dapat pula terjadi kemandegan pemerintahan akibat pemerintahan terbelah. Masa pemerintahan Presiden Obama, pemerintahan sempat mandeg karena Senat dikuasai oleh Republik. Begitu juga masa pemerintahan Trump dimana parlemen dikuasai Demokrat.

“Selama ini dikatakan Amerika lebih stabil karena pemilihan parlemennya bukan proportional representative (PR) yang menghasilkan multirpartai, tapi majoritarian yang menghaslkan Republik dan Demokrat. Tapi tesis itu akhirnya terkoreksi juga. Obama, pemerintahannya sempat terhenti gara-gara Senat dikuasai Republik. Lalu jaman Trump, sempat shut down juga. DPR dikuasai Demokrat, sementara presidennya dari Republik,” jelas Didik.

Sementara itu di Brazil, negara presidensial yang mengadopsi sistem pemilu PR mengalami pemerintahan terbelah berkali-kali. Sebagai solusi agar pemerintah presidensial efektif di tengah sistem kepartaian multipartai, Brazil menerapkan pemilu serentak. Pilpres dan pileg digabungkan di waktu yang sama agar presiden terpilih didukung oleh mayoritas partai di parlemen.

“Jadi, masalahnya bukan apakah presidensialisme ini kompatibel atau tidak dengan sistem pemilunya, karena terbukti baik PR maupun majoritarian, sama-sama bermasalah kalau presidennya tidak didukung oleh mayoritas di parlemen,” tandas Didik.

Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Seperti Brazil, Indonesia menganut sistem presidensialisme dan sistem pemilu PR. Sebelum pilpres dan pileg dibarengkan di hari yang sama, pemerintahan hasil pemilu sulit bergerak akibat presiden terpilih tak mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Saat ini, Pemilu Serentak 2019 menghasilkan pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amien yang didukung oleh mayoritas partai di parlemen.

“Jokowi-JK (Jusuf Kalla), setahun pertama tidak bisa berbuat banyak karena parlemennya tidak bisa bekerja. Parlemennya ribut sendiri. Situasi baru reda setahun kemudian ketika JK berhasil menarik Golkar (Golongan Karya) duduk di kabinetnya Jokowi. Begitu juga dengan SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) dulu,” pungkas Didik.

Sebelumnya, dibahas oleh Deputi Direktur Perludem, Khoirunnisa Nur Agustiyati mengenai sistem pemerintahan yang ada di dunia. Salah satunya sistem presidensialisme. Sistem ini memisahkan antara eksekutif dan legislatif dimana satu sama lain tak bisa saling membubarkan, malahan mesti bekerja sama. Masa jabatan presiden telah ditentukan, biasanya empat hingga enam tahun. Kekurangan dari sistem ini, diantaranya yakni, berpotensi memunculkan pemerintahan terbelah.

“Pemerintahan oleh presiden tidak bisa dibubarkan sewaktu-waktu. Rakyat juga dapat memilih langsung kepala negaranya. Ada juga pemisakan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Kekurangannya, ada kemandegan antara eksekutif dan legislatif. Kalau sistem dua partai, bisa terjadi divided government,” terang Khoirunnisa.