Data prediksi yang dirilis oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait keterpilihan perempuan dari hasil Pemilu 2024 menunjukkan bahwa 22,06 persen atau 128 perempuan akan duduk di parlemen nasional. Angka ini bertambah dari hasil Pemilu 2019 dengan keterwakilan perempuan 20,5 persen. Pertambahan sebesar 1,56 persen dinilai Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati Tangka, sebagai hal yang disayangkan. Keterwakilan perempuan semestinya telah mencapai 30 persen.
“Kalau mau dikatakan naik, seharusnya 30 persen, karena aturan minimal 30 persen di daftar calon sudah diberlakukan sejak 2004. Menurut saya, pertambahan ini bukan karena persoalan keterwakilan perempuan tidak kenapa-kenapa, tetapi justru menunjukkan tidak ada progres. Ini pemilu yang sudah ke sekian kali, tetapi tidak juga 30 persen,” ujar Mike pada diskusi “Keterpilihan Perempuan dan Prospek Keterwakilan Perempuan Pasca Pemilu 2024” yang ditayangkan oleh akun Youtube Perludem (29/5).
Stagnasi angka keterpilihan perempuan di parlemen, menurut peneliti Perludem, Heroik Pratama, disebabkan oleh faktor lemahnya dukungan partai politik terhadap perempuan. Partai politik belum berkomitmen menempatkan perempuan di nomor urut atas di daerah pemilihan potensial. Mayoritas perempuan ditempatkan di nomor urut 3 dan 6, sementara peluang keterpilihan pada nomor urut 1 jauh lebih besar dibandingkan nomor urut 3 dan 6.
“Kalau memang partai berkomitmen penuh terhadap angka keterwakilan perempuan untuk meningkatkan jumlah representasi perempuan di parlemen, harusnya mereka menempatkan perempuan di nomor urut 1,” kata Heroik, pada diskusi yang sama.
Selain itu, partai politik juga dipandang tidak memberikan dukungan lebih berupa mobilisasi struktur partai di lapangan untuk memenangkan perempuan kader. Pasca penetapan daftar calon tetap, perempuan bertarung dengan sumber daya sendiri, dengan minimal atau nyaris tanpa bantuan partai.
“Partai masih melihatnya gender neutral. Laki-laki perempuan masuk dalam kompetisi bebas. Nah, partai, juga perempuan caleg tidak peka bahwa kompetisi itu sebenarnya tidak setara. Kalau perempuan kalah, dibilangnya konsekuensi berpolitik. Padahal, ruangnya tidak sama antara perempuan dan laki-laki, misal dalam proses mengikuti pemilu, budaya yang masih patriarkis, dan berapa banyak sih perempuan yang punya lebih banyak uang daripada laki-laki?” urai Mike. []