Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan ada enam model kecurangan yang berpotensi terjadi di Pilkada Serentak 2024. Model pertama yakni rekayasa calon tunggal. Seluruh partai politik dihimpun untuk mendukung satu calon, sehingga tak menyisakan kekuatan untuk mengusung calon lain. Pemaksaan kepada partai politik untuk mendukung salah satu calon pun terjadi melalui ancaman tindakan hukum atas kasus hukum yang dilakukan oleh anggota partai, dan penguasaan partai politik.
“Beli seluruh perahu, beli seluruh partai dengan maharnya, sehingga tidak ada perahu yang tersisa. Wajar diduga trennya akan meningkat, karena hampir seluruh perkara calon tunggal dimenangkan oleh calon tunggal. Artinya, semua partai tergiur untuk melakukan praktik ini,” ucap Feri pada diskusi “Kecurangan Pilkada 2024: Dari Dinasti, Calon Tunggal, dan Netralisasi ASN” pada Selasa (13/7).
Model kecurangan kedua ialah manipulasi aturan main. Jika pada Pemilu Presiden 2024 lahir Putusan Mahkamah Konstitusi No.90/2023 yang memuluskan anak pertama Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka ke tampuk kursi wakil presiden, pada Pilkada 2024 terbit Putusan Mahkamah Agung No.23 mengenai syarat minimal usia sebagai calon kepala daerah, yang disinyalir memberikan ruang bagi anak ketiga Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk bertarung.
“Sekarang ada Putusan 23 di MA, yang membuka jalan bagi calon yang belum berusia genap 30 tahun untuk bisa bertarung. Dimana-mana, syarat untuk masuk sesuatu mesti memenuhi syarat usia dulu. Saya misalnya mau jadi dosen, usia saya harus terpenuhi usia standarnya, tidak usia saat saya pelantikan. Jadi, ini bagian dari rekayasa,” tegas Feri.
Putusan MK No.100/2015 juga dinilai Feri sebagai manipulasi aturan main. Alih-alih membolehkan pilkada dengan satu calon, MK semestinya dapat membatasi jumlah dukungan partai politik kepada satu calon, sebagaimana aturan di pemilu presiden. Harapannya, pembatasan dukungan akan memunculkan minimal dua pasangan calon di pilkada.
“Nah, pertanyaannya, kenapa MK tidak memutuskan agar ada pembatasan perahu bagi calon kepala daerah, sehingga minimal akan muncul dua paslon? Jadi, Putusan 100 itu bagi saya rekayasa dalam menghalalkan partai politik membeli seluruh perahu,” tukasnya.