August 8, 2024
Print

Kampanye Kotak Kosong Tak Semestinya Dilarang, Suara Penolakan Jangan Dibungkam

Jumlah wilayah pilkada dengan pasangan calon (paslon) tunggal di 2018 bertambah dari 13 menjadi 15. Dua daerah, yakni Kabupaten Puncak dan Kabupaten Bone, menjadi daerah dengan paslon tunggal ke-14 dan ke-15 setelah Kota Prabumulih, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Enrekang, Kabupaten Minahasa Tenggara, Kabupaten Tapin, Kabupaten Mamasa, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Bone, Kabupaten Memberamo Tengah, dan Kabupaten Puncak.

Jika membandingkan jumlah daerah paslon tunggal di Pilkada 2015, Pilkada 2017, dan Pilkada 2018, terjadi trend peningkatan. Pada Pilkada 2015, ada 3 daerah dengan paslon tunggal. Pilkada 2017, 9 daerah. Pilkada 2018, 15 daerah. Masing-masing periode bertambah sebanyak enam daerah.

Paslon tunggal, dalam perspektif kepemiluan, dapat dipandang dari dua sisi. Satu, paslon tunggal dapat dinilai sebagai tanda bahwa kandidat yang maju cukup berkualitas karena didukung oleh mayoritas partai politik di parlemen daerah. Dua, paslon tunggal menjadi tanda macetnya kaderisasi kepemimpinan partai politik.

Namun, terlepas dari dua sisi pandang, paslon tunggal merupakan warning bagi pemilih. Jika menganalogikan pilkada paslon tunggal dengan kompetisi pasar, paslon tunggal ibarat penyedia barang/jasa yang mendominasi seluruh pasar. Tak adanya kompetitor menyebabkan paslon tunggal tak maksimal mengakomodasi suara pemilih. Tak ada situasi memaksa agar paslon menyusun visi misi dan program lebih baik. Singkatnya, pemilih dirugikan dengan hanya adanya satu paslon.

Larangan kampanye kotak kosong oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)

KPU, melalui Peraturan KPU (PKPU) No.8/2017 tentang Sosialisasi, Pendidikan, Pemilih, dan Partisipasti Masyarakat mengatur bahwa kampanye kotak kosong adalah kegiatan yang dilarang. Aturan ini bertolak dari definisi kampanye di Undang-Undang (UU) No.7/2017 yang menyatakan bahwa kampanye adalah kegiatan peserta pemilu. Kotak kosong bukan peserta pemilu sehingga yang diperbolehkan hanyalah sosialisasi bahwa memilih kotak kosong adalah sah.

“Pelaksanaan sosialisasi kotak kosong juga ada rambu-rambunya. Misalnya, larangan untuk menyinggung unsur SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan), menyebarkan informasi yang tidak berimbang, penggunaan cara-cara kekerasan dll. Jadi tidak ada itu kampanye kotak/kolom kosong. Yang dibolehkan adalah melakukan sosialisasi kotak/kolom kosong,” tulis anggota KPU, Pramono Ubaid, dalam status facebooknya (4/3).

Aturan ini menurut saya bermasalah dan menjauhkan politik elektoral dalam substansinya di dalam proses demokrasi. Tujuan politik elektoral adalah menghasilkan pemimpin dengan kualitas, integritas, dan profesionalitas terbaik sesuai dengan pilihan pemilih. Ketika politik elektoral tak menyediakan ragam calon pemimpin untuk dipilih, pantaskah regulasi melarang aktivitas pemilih untuk menyuarakan kehendaknya bahwa “kami ingin pemimpin yang lain” atau “kami tak ingin pemimpin yang itu?”

Tak ada demokrasi substansial tanpa jaminan bagi siapa pun untuk mengatakan tidak pada suatu pilihan-pilihan. Memperbolehkan memilih kotak kosong tanpa mengizinkan masyarakat untuk bersuara menentang paslon karena latar belakang paslon yang tak baik adalah kontraproduktif, dan menyebabkan suara penolakan ada di ruang gelap yang ilegal.

Pelajaran dari Pilkada Pati 2017

Kita dapat mengambil hikmah dari pilkada paslon tunggal di Pati pada 2017. Saat itu, paslon Haryanto-Saiful Arifin, petahana yang mengantongi dukungan dari delapan fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pati, melawan kotak kosong, dan memenangkan Pilkada Pati dengan perolehan suara 74,51 persen. Namun, angka partisipasi masyarakat pada hari pemungutan suara Pati, berdasarkan data di laman https://pilkada2017.kpu.go.id/hasil/t2/jawa_tengah/pati, hanya 68,7 persen. 31,26 persen pemilih tak menggunakan hak suaranya.

Jika persentase keterpilihan paslon diperbandingkan dengan persentase untuk kotak kosong, hak suara yang tak digunakan, dan suara tidak sah, maka persentasenya adalah 50,17 persen, 17,15 persen, 31,26 persen, dan 1,47 persen. Paslon Haryanto-Saiful tak memiliki legitimasi yang cukup kuat dari pemilih.

519.627 suara untuk paslon. 177.771  suara untuk kotak kosong. 15.198 suara tidak sah. 324.035 suara tak ditunaikan.

Angka 177.771 tak bisa dipandang receh. Angka ini memotret adanya perlawanan terhadap paslon tunggal. Haris Azhar, mantan Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) membuka fakta gelap Pilkada Pati ke diskursus nasional.

Dalam diskusi “Peran MK dalam Mewujudkan Keadilan Substansial, Pro Kontra Ambang Batas Suara Sengketa Pilkada” di Menteng, Jakarta Pusat (2/3), Azhar mengatakan bahwa telah terjadi intimidasi terhadap sekelompok orang yang menamakan diri sebagai “Aliansi Kotak Kosong” di Pilkada Pati. Intimidasi berupa pelarangan kegiatan sosialisasi memilih kotak kosong, pencopotan dan perusakan alat kampanye, perusakan terhadap mobil Ketua Aliansi Kawal Demokrasi Pilkada (AKDP) Pati, Sutiyo, dan intimidasi pemilih pada hari pemungutan suara.

“Saya bertemu dengan kelompok masyarakat yang tidak berpartai. Mereka menamakan diri sebagai Aliansi Kotak Kosong. Ini jadi alat perjuangan untuk kontra terhadap bupati yang korup, gagal membangun, dan tidak pro rakyat,” kata Haris.

Hariz mengemukakan bahwa Aliansi menemukan fakta bahwa petahana dan relawannya melakukan kecurangan politik uang secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).  Relawan Haryanto memberikan uang sebesar 10 ribu rupiah untuk pemilih perempuan dan 15 ribu rupiah untuk pemilih laki-laki. Politik uang diberikan dari rumah ke rumah, dan terjadi di setiap kecamatan.

Money politic ini udah kayak air hujan, murah dan banyak. Ngasihnya pun bias gender. Yang laki-laki 15 ribu, perempuan 10 ribu,” tukas Haris.

Haris juga melaporkan adanya manipulasi oleh Panitia Pengawas (Panwas). Di Desa Maitan Kecamatan Tambakromo misalnya, ada pihak yang melaporkan politik uang dengan bukti 36 amplop. Namun, Panwas hanya mencatat 15 amplop. Kasus lain, Panwas mencabut laporan temuan pelanggaran yang telah dilaporkan suatu pihak.

“Si A lapor ke Panwas kalau B melakukan politik uang. Tiba-tiba, kuasa hukum si B datang ke Panwas dan meminta agar laporan itu dicabut. Oleh Panwas, laporan ini dicabut,” jelas Haris.

Kekosongan hukum, tak ada larangan kampanye kotak kosong di UU Pilkada

Mengkonfirmasi kepada Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin, dengan temuan saya, tak ada larangan di UU Pilkada untuk masyarakat berkampanye kotak kosong. Oleh karena itu, perihal kampanye kotak kosong mestinya dipandang sebagai kekosongan hukum, dan bukan pelanggaran.

Saya bersepakat dengan Usep, bahwa meningkatnya jumlah daerah paslon tunggal di Pilkada 2018 disebabkan oleh dua hal. Satu, ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan beratnya persyaratan pencalonan dari jalur perseorangan.

Saya menelusuri latar belakang calon perseorangan di Pilkada 2018. Hasilnya, 51 dari 156 calon dari jalur perseorangan memiliki latar belakang partai politik. Bahkan, 9 di antaranya merupakan pimpinan partai tingkat provinsi dan kabupaten/kota. (Lihat: http://rumahpemilu.org/9-pimpinan-partai-di-daerah-maju-lewat-jalur-perseorangan/).

Angka ini memunculkan pertanyaan, yakni mengapa pimpinan dan kader partai maju lewat jalur perseorangan? Dalam kaitannya dengan daerah paslon tunggal, penyelenggara pemilu mestinya mampu berpandangan, bahwa pemilih tak boleh jadi korban buruknya proses pencalonan kepala daerah di internal partai politik. Nasib baik jika paslon tunggal di suatu daerah tak cacat hukum dan tak punya catatan masalah dari masyarakat, namun nasib sial jika paslon tunggal memiliki catatan buruk seperti yang pernah terjadi di Pilkada Buton 2017.

Suara penolakan tak boleh dibungkam!