August 8, 2024

Loloskan Koruptor Nyaleg, Bawaslu Lampaui Kewenangan

Koalisi masyarakat sipil menilai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah melampaui kewenangan karena meloloskan koruptor bisa mencalonkan anggota  legislatif. Panitia Pengawas Pemilu di sejumlah daerah mengeluarkan putusan sengketa pencalonan yang meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) di sejumlah daerah terkait untuk tidak membatalkan koruptor yang mencalonkan di Pemilu DPR/DPRD 2019.

“(Sikap Bawaslu) ini termasuk pelampauan kewenangan,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini dalam konferensi persi di Media Center KPU, Jakarta (16/8).

Titi menjelaskan, penolakan Bawaslu terhadap pelarangan koruptor mencalonkan tak relevan. Hukum berlaku saat ini adalah PKPU No.20/2018 karena sudah diundang-undangkan.

Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Mulki Shader menguatkan pendapat Titi. Dalam menjamin kepastian hukum pemilu, logika dibangun beralur dari undang-undang pemilu yang memberikan kewenangan KPU membuat peraturan, lalu Bawaslu menindaklanjuti melalui Peraturan Bawaslu.

“Bawaslu harusnya tak melakukan pencarian hukum dengan mengabaikan PKPU. MK saja sebagai lembaga tertinggi pemutus undang-undang, menahan diri jika tak ada pasal yang diujikan. Bawaslu juga harus taat azas,” kata Mulki.

Pegiat Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay menilai sikap Bawaslu menyerta strukutr pengawas pemilu di daerah membahayakan penyelenggaraan Pemilu 2019. Kompleksitas pemilu serentak pertama Indonesia seharusnya dijalankan sesuai kewenangan dan penghormatan masing-masing lembaga penyelenggara.

“Harusnya Bawaslu menguatkan kepastian hukum penyelenggaraan pemilu dengan menjamin jalannya peraturan dan perundang-undangan pemilu. Bukan malah menolaknya,” kata Hadar.

Akademisi Ilmu Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari mengkhawatirkan kemandirian sikap Bawaslu. Sikap Bawaslu menguntungkan sebagian partai politik peserta pemilu.

“Seharusnya Bawaslu bersikap berdasar substansi demokrasi penyelenggaraan pemilu. Salah satunya melindungi pemilih. Jika meloloskan mantan napi korupsi mencalonkan, Bawaslu membiarkan pemilih memilih caleg busuk,” kata Feri.

Pegiat Indonesia Corruption Watch (ICW), Almasjafrini membeberkan data pengulangan prilaku dewan korup setelah terpilih lagi. Sedangkan, pegiat Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Adelline Syahda mendorong Bawaslu bisa tak mengulang pijakan bersikap yang tak relevan dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Anggota KPU, Wahyu Setiawan kecewa dengan sikap Bawaslu. Tindakan strukur Bawaslu di daerah telah mengabaikan PKPU No.20/2018 yang tegas melarang koruptor mendaftar sebagai caleg.

“Kami sangat kecewa, karena Bawaslu daerah dalam hal ini mengabaikan dan tak menghormati PKPU yang sah dan dinyatakan berlaku dan diundangkan,” kata Wahyu.

Sebelumnya Putusan Panitia Pengawas Pemilihan di Aceh dan  Toraja Utara (Sumatera Utara), dan Putusan Bawaslu Sulawesi Utara telah mengabulkan koruptor nyaleg yang menyengketakan pelarangan pencalonannya. Semua putusan ini berpendapat, PKPU No.20/2018 yang melarang koruptor (pedofilia, dan bandar narkoba) nyaleg bertentangan dengan UU No.7/2017 tentang Pemilu dan hak politik yang dijamin dalam UUD 1945. []

USEP HASAN SADIKIN