November 27, 2024

Menggagas Format Pemilu Masa Depan

Berawal dari adanya gugatan uji materi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2013 silam, Mahkamah Konstitusi (MK) pun memutuskan bahwa pemilu serentak untuk memilih presiden/wapres dan anggota legislatif, baik pusat maupun daerah, mulai diberlakukan untuk Pemilu tahun 2019 dan seterusnya.

Kala itu Majelis Hakim MK membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang mengatur pelaksanaan Pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan Pileg alias tidak serentak.

Dalam amar putusannya, MK menyebutkan bahwa penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan 2009 setelah Pileg ditemukan fakta calon presiden terpaksa harus bernegosiasi (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang pada akhirnya mempengaruhi roda pemerintahan.

Faktanya memang tawar-menawar politik itu lebih banyak bersifat taktis dan sesaat ketimbang bersifat strategis dan jangka panjang. Presiden sangat tergantung pada partai-partai politik yang dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial.

Oleh karena itu penyelenggaraan pemilu, khususnya Pilpres, harus didesain sedemikian rupa untuk menghindari terjadinya tawar menawar politik yang bersifat pragmatis demi kepentingan sesaat, namun lebih pada mendorong terciptanya koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang.

Dengan demikian maka hal ini akan lebih memungkinkan penggabungan partai politik secara alamiah dan strategis, sehingga jangka panjang lebih menjamin penyederhanaan partai politik, sekaligus pula memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi.

Pemisahan Pemilu Serentak Eksekutif-Legislatif

Secara sederhana pemilu serentak dapat didefinisikan sebagai sistem pemilu yang melangsungkan beberapa pemilihan pada satu waktu secara bersamaan. Jenis-jenis pemilihan tersebut mencakup pemilihan eksekutif dan legislatif di beragam tingkat yang terentang dari tingkat nasional, regional provinsi hingga pemilihan di tingkat lokal kabupaten/kota.

Pemilu yang dilaksanakan untuk memilih anggota legislatif di berbagai tingkatan (DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) serta memilih eksekutif tingkat pusat dan daerah ini merupakan agenda rutin demokrasi lima tahunan.

Berdasarkan pengalaman tiga Pemilu terakhir pada tahun 2004, 2009 dan 2014, Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD dilaksanakan secara bersamaan. Sementara untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan pada jadwal yang terpisah dari pemilu anggota legislatif. Sedangkan pemilihan kepada daerah berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 juga dilaksanakan secara terpisah sesuai dengan waktu berakhirnya masa jabatan masing-masing kepala daerah.

Pada 2019 digelar pemilu serentak untuk memilih anggota legislatif (DPR, DPD dan DPRD) bersamaan dengan pemilihan presiden dan wapres untuk pertama kalinya sesuai amar putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Sementara pemilihan secara serentak kepala-kepala daerah (Pilkada), baik gubernur maupun bupati/wali kota, telah beberapa kali dilakukan, yakni pada tahun 2015, 2016, 2017 dan 2018.

Namun ketika DPR akhirnya mengesahkan UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menjadi landasan hukum pelaksanaan Pilpres serentak dengan Pileg pada 2019 berikut persyaratan Presidential Threshold (PT) 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara sah nasional untuk mengusung capres/cawapres, mencuat kekhawatiran seputar krisis legitimasi presiden hasil Pilpres 2019 setelah menggunakan PT hasil Pileg 2014. Hal ini dikarenakan ambang batas pencalonan tersebut sudah pernah digunakan dalam Pilpres yang lalu sehingga kadaluarsa. Disamping itu, peta kekuatan politik dalam kurun waktu lima tahun terakhir juga sudah jauh berubah.

Oleh karena itu agar gugatan serupa tidak terulang, tampaknya perlu difikirkan format baru pemilu serentak di masa mendatang yang memisahkan pemilihan anggota legislatif (DPR, DPD dan DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten/Kota) dengan pemilu khusus untuk mengisi jabatan eksekutif (Presiden, Gubernur dan Bupati/Wali Kota). Dalam model yang dikenal sebagai clustered concurrent election ini, pemilu untuk DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota digelar sebagaimana selama ini dilakukan secara bersamaan sesuai waktunya, dan kemudian diikuti pemilu presiden, gubernur dan bupati/wali kota beberapa bulan setelahnya.

Dengan model pemilihan seperti ini, maka koalisi parpol pendukung calon presiden/wapres di tingkat pusat akan senada dengan koalisi politik di daerah-daerah untuk pemilihan kepala daerahnya, baik gubernur maupun bupati/wali kota. Koalisi permanen yang sejalan dan sebangun antara pusat dengan daerah-daerah di seluruh Tanah Air tersebut diharapkan mampu menyeragamkan visi pembangunan antara presiden/wapres terpilih dengan para gubernur serta bupati/walikota yang juga didukung koalisi politik yang sama di tingkat pusat dan daerah, sehingga eksekutif pusat dan daerah dapat melaksanakan pembangunan sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD).

Setidaknya koalisi permanen di tingkat pusat dan daerah ini akan berlangsung selama satu periode pemerintahan dan pada pemilu berikutnya komposisi koalisi politik ini dimungkinkan untuk berubah, namun tetap bersifat seragam untuk tingkat pusat dan daerah-daerah.

Penyelenggaran pemilu serentak yang memisahkan pemilihan untuk anggota legislatif dan jabatan eksekutif yang terpisah ini tentunya akan memberi jeda waktu bagi penyelenggara pemilu untuk melakukan tugasnya secara optimal. Jeda waktu ini dengan sendirinya akan mengurangi beban dan volume pekerjaan penyelenggara pemilu.

Pada sisi pemilih, pemisahan pemilu serentak untuk legislatif dan eksekutif di seluruh jenjangnya akan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mencari informasi sebanyak mungkin atas kandidat partai yang akan dipilihnya dalam kontestasi di pemilu eksekutif. Masyarakat pemilih akan lebih memahami pemisahan yang tegas antara kelembagaan eksekutif dan legislatif. Dengan demikian mereka akan bersikap rasional dalam berpartisipasi membangun sistem berdemokrasi di Indonesia yang lebih sehat.

Sementara dari perspektif penguatan sistem pemerintahan presidensiil, concentration of power among the president, efektivitas pemerintahan presiden terpilih dipastikan akan mendapat dukungan solid dari DPR mengingat bangunan koalisi antar-parpol yang dirancang saat pencalonan lebih bersifat permanen dan menyeragam dari tingkat pusat hingga daerah-daerah. Basis legitimasi presiden terpilih nantinya akan berjalan seiring-seirama dengan dukungan politik di DPR mengingat akan terjadi orkestra politik yang indah antara pilihan rakyat terhadap partai dan pilihan rakyat pada presidennya. Pada saat bersamaan akan terwujud pula penyederhanaan jumlah partai politik secara alamiah dan demokratis.

Namun demikian, model pemilu semacam ini juga menyimpan sejumlah kelemahan diantaranya para pemilih akan sulit membedakan para calon anggota legislatif dari berbagai tingkatan tersebut, yakni nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Penyiapan dan pengiriman logistiknya juga dipastikan akan rumit.

Memang hingga saat ini harus diakui bahwa bangsa Indonesia masih terus mencari sistem pemilihan umum yang bagaimana yang dapat menciptakan efektivitas pemerintahan, bukan saja pada tingkatan pusat, melainkan juga pada tingkatan daerah.

Tetapi yang jelas adalah pilihan atas sistem pemilu yang tepat dan dikombinasikan dengan kecermatan dalam mengatur waktu penyelenggaraannya akan memengaruhi efektivitas sistem pemerintahan presidensiil di Indonesia masa depan. []

HARDISOESILO

Anggota FPG DPR RI