August 8, 2024

Integrity: Para Pihak Tak Keberatan Syarat Wajib KTP El Dibatalkan

Selasa (26/3), pemohon perkara uji materi Undang-Undang (UU) Pemilu, yakni Perkara No.20/2019 menyerahkan kesimpulan sidang pleno yang digelar pada Senin (25/3) di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Gambir, Jakarta Pusat. Berkas dokumen kesimpulan pemohon, yang tiga di antaranya adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Hadar Nafis Gumay, dan Feri Amsari, diserahkan oleh kuasa hukum pemohon, yaitu Muhammad Raziv Barokah dan Wiganti dari Indrayana Centre for Government, Costitution, and Society (Integrity).

Dalam dokumen tersebut, pemohon menyimpulkan bahwa semua pihak, yakni Direktorat Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilihan Umum(Bawaslu) tidak menolak jika penggunaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik sebagai syarat memilih diperluas menjadi identitas lain seperti KTP non-elektronik, surat keterangan (suket) dari Dinas Dukcapil, akta kelahiran, kartu keluarga (KK), atau kartu pemilih yang diterbitkan oleh KPU. Sebagai antisipasi potensi terjadinya penggunaan hak pilih lebih dari satu kali, beberapa metode dapat dimanfaatkan, seperti mencelupkan jari ke dalam tinta dengan kualitas tinggi yang tidak dapat hilang selama beberapa hari setelah pemungutan suara, serta telah ada sanksi pidana penjara paling lama 18 tahun dan denda paling banyak 18 juta rupiah sebagaimana diatur dalam Pasal 516 UU Pemilu bagi pemilih yang memberikan suara lebih dari satu kali.

Pemohon mengkritik kebijakan Pemerintah yang menggabungkan layanan hak pilih warga negara dengan tata administrasi kependudukan. Pasalnya, meskipun Dukcapil telah berupaya merekam warga negara dengan strategi jemput bola, masih terdapat pemilih yang tak dapat melakukan perekaman di Dukcapil atau tak terjangkau layanan perekaman. Pemohon IV dan  V dalam Perkara No.20/2019 yang merupakan warga binaan hingga saat ini belum memiliki KTP elektronik dan tak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT) karena tak tersentuh layanan Dukcapil dan pencatatan sebagai warga berhak pilih.

“Buktinya, sampai saat ini, meskipun ikhtiar dan kerja keras pemerintah melalui DUKCAPIL harus juga diapresiasi, Pemohon IV dan Pemohon V tetap belum memiliki KTP elektronik dan karenanya tidak terdaftar dalam DPT,” sebagaimana tertulis dalam kesimpulan pemohon yang diterima rumahpemilu.org.

Pemohon juga menyatakan bahwa dari data KTP non elektronik yang disampaikan Pemerintah dalam penyampaian keterangan di hadapan Majelis Hakim Konstitusi, tak mungkin pemilih dapat memberikan suara lebih dari satu kali. Alamat seorang warga negara yang tertera di satu KTP non elektronik dengan KTP non elektronik lainnya berjauhan atau lintas provinsi.

“KTP non elektronik pertama beralamat di Aceh, kemudian KTP non elektronik gandanya berlamat di Jawa Barat. Tentu saja akan sulit, dan hampir mustahil, bagi pemilik KTP non elektronik tersebut dengan cepat pindah dari Aceh ke Jawa Barat dalam waktu satu hari untuk memilih lebih dari sekali.”

Dari keterangan yang disampaikan oleh Dirjen Dukcapil selaku perwakilan Pemerintah, pemohon menyimpulkan tak ada risiko konstitusional jika permohonan para pemohon, yakni agar KTP elektronik tak menjadi satu-satunya identitasyang dapat digunakan untuk memilih, dikabulkan oleh Mahkamah. Justru, para pemohon menilai, dengan dikabulkannya permohonan, Mahkamah akan menyelamatkan hak konstitusional 4,2 juta warga negara yang belum memiliki KTP elektronik.

Hakim MK Arief Hidayat, juga Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, dan hakim-hakim lainnya memberikan penekanan agar tak ada satu pun hak warga negara yang terciderai karena alasan administrasi kependudukan. Hakim memandang KTP elektronik tak boleh menghalangi hak pilih warga negara, tetapi pun tak ingin legitimasi hasil pemungutan suara terancam akibat adanya pemilih yang memberikan suara lebih dari satu kali.

“Bagi saya, satu suara pun, kalau dia terhalangi, berarti aturannya enggak bener. Itu inti dari putusan kita (dulu). Tapi sekarang, yang jadi masalah, kalau terjadi hal yang demikian, itu kan kita mendekatkan aturan-aturan prosedural, normatif. Itu 4,2 juta (orang) loh. Tadi ada warning dari Prof. Zudan, karena ada banyak orang dari 4,2 juta itu yang punya identitas ganda dan bisa memilih lebih dari kali sehingga bisa menggugurkan sahnya pemungutan uara di TPS (Tempat Pemungutan Suara). Nah, ini  gimana mempersempit potensi itu, agar tidak ada satu suara pun yang terabaikan,” kata Arief Hidayat.