Tanpa seujung kuku pun hendak menafikan upaya maksimal yang sudah dilakukan banyak pihak di Pemilu 2019, sistem pelaksanaan pemilu serentak sebaiknya ditata ulang. Sisi manajemen pelaksanaan pemilu jadi irisan utama yang mendapat sorotan dalam penyelenggaraan pemilu serentak. Ribuan tempat pemungutan suara (TPS) mesti melaksanakan pemilihan susulan.
Ratusan TPS juga diperintahkan melaksanakan pemungutan suara ulang. Distribusi logistik pemilu membuat banyak pihak kewalahan. Penghitungan suara baru bisa dituntaskan lewat tengah malam. Ada mitigasi permasalahan yang tak maksimal dari lembaga penyelenggara pemilu dalam memanajemen logistik pemungutan suara.
Puncaknya, 424 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan 11 anggota kepolisian berpulang dalam tugas mulia melaksanakan proses demokratisasi di Indonesia. Meski ajal sepenuhnya otoritas Sang Pemilik Kehidupan, rasio beban kerja anggota KPPS dan petugas keamanan pada peristiwa sebesar pemilu serentak tidak bisa dilepaskan dari kelelahan. Mengatur lima jenis pemilu dalam waktu bersamaan jelas menimbulkan banyak masalah.
Jika ada yang bertanya, kenapa terlalu terburu-buru mengevaluasi pemilu serentak, jawabannya singkat: kita sudah berhasil mendesain pemilu legislatif berbarengan dengan pemilu eksekutif (presiden), tetapi menyisakan lubang menganga dalam tata kelola. Namun, tata kelola itu sangat bergantung sepenuhnya kepada jadwal pelaksanaan pemilu.
Mungkin saja ini terlalu cepat. Namun, merawat demokrasi memang membutuhkan suatu sistem hukum dan politik yang kuat. Oleh sebab itu, siapa pun nanti presiden terpilih, seusai dilantik pada 20 Oktober 2019, penataan sistem pemilu dan sistem politik diharapkan menjadi salah satu agenda paling atas dari sekian banyak pekerjaan rumah presiden periode 2019-2024. Serentak nasional,
Serentak lokal
Melakukan pemilu dengan lima jenis surat suara pada waktu yang bersamaan bukan pekerjaan mudah. Bagi penyelenggara pemilu, mengelola lima jenis pemilihan cukup memberatkan.
Untuk urusan logistik pemilu, misalnya, Komisi Pemilihan Umum mesti mengadakan dan mendistribusikan 2.558 varian surat suara untuk pemilu legislatif. Jumlah ini terdiri dari 80 varian surat suara untuk daerah pemilihan DPR, 272 varian surat suara untuk daerah pemilihan DPRD provinsi, dan 2.206 varian surat suara untuk daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota.
Jumlah ini belum ditambah 34 varian surat suara untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan satu varian surat suara untuk pilpres. Logistik ini harus disebar ke 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota, terus hingga level kecamatan, kelurahan, lalu terakhir ke TPS. Jumlah pemilih yang akan dilayani 190 juta orang lebih untuk dalam negeri dan lebih dari 2 juta orang untuk luar negeri.
Oleh sebab itu, jika ada titik-titik tertentu memunculkan persoalan logistik pemilu yang terlambat, rusak, kurang, dan bahkan tertukar, sadar atau tidak, hal itu jelas sesuatu yang sudah dapat diduga dari awal jika melihat kerumitan penyelenggaraan pemilu serentak ini.
Selain soal logistik pemilu, kerumitan berikutnya terdapat pada manajemen pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di TPS. Pemilihan dengan lima kotak ini membuat anggota KPPS dan pengawas TPS mesti bekerja hingga larut malam, bahkan mendekati pagi.
Apalagi, tiga di antara lima jenis pemilihan itu butuh tingkat kehati-hatian tersendiri dalam melakukan penghitungan suara, yakni untuk pemilu legislatif. Dalam melakukan penghitungan terhadap surat suara legislatif, KPPS mesti menentukan apakah suara yang diberikan oleh pemilih akan dihitung untuk parpol atau diberikan kepada calon anggota legislatif (caleg).
Bekerja hingga larut malam, untuk urusan sepenting pemilu, tentu bukan yang ideal. Apalagi anggota KPPS sudah mulai bekerja beberapa hari menjelang hari pelaksanaan pencoblosan 17 April 2019. Pekerjaan seperti mempersiapkan pembentukan TPS tentu sudah dimulai lebih awal.
Artinya, apa yang dilakukan anggota KPPS dapat dinilai sebagai tugas yang di luar batas maksimal daya tahan kemampuan manusia dalam bekerja. Paling tidak ini dihitung dari proses persiapan TPS hingga menyelesaikan proses penghitungan suara. Sekali lagi, adanya kesalahan penghitungan suara dalam proses penghitungan suara adalah sesuatu yang bisa diperkirakan.
Namun, terhadap kondisi adanya kekeliruan dan kesalahan penghitungan suara, jika penyelenggara pemilu meminta pemilih dan peserta pemilu memaklumi kesalahan dan kealpaan yang terjadi, tentu tidak sesederhana itu. Sebab, dalam setiap detail tahapan pelaksanaan pemilu, penyelenggara pemilu dituntut nihil kesalahan. Ini tuntutan profesionalitas kepada setiap organ penyelenggara pemilu dari level paling atas hingga ke tingkat KPPS.
Penataan jadwal
Selain dari aspek penyelenggara pemilu, upaya mendorong pemilih bisa secara efektif mengetahui caleg yang akan dipilih merupakan aspek yang perlu diperhatikan dalam konsepsi pemilu serentak. Dengan pemilu lima kotak secara sekaligus, mustahil jika berharap pemilih dapat satu per satu mengetahui siapa caleg yang akan dipilih.
Padahal, sistem pemilu proporsional daftar terbuka membuka peluang untuk meneguhkan prinsip daulat rakyat agar para pemilih bisa secara langsung tahu dan bisa menentukan siapa orang yang akan menjadi wakilnya di lembaga perwakilan.
Namun, ketika sistem proporsional daftar terbuka itu dilekatkan dengan jadwal pemilu lima kotak sekaligus, esensi kesempatan pemilih mengetahui siapa caleg yang akan dipilih menjadi hambar. Kondisi semakin berat karena ”gemuknya” besaran daerah pemilihan (dapil). Untuk pemilu DPR, besaran dapil 3-10 caleg.
Artinya, minimal jumlah kursi per dapil adalah tiga dan maksimal sepuluh kursi. Untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, besaran dapil lebih besar, yakni 3-12 caleg. Artinya, kursi paling sedikit adalah tiga dan kursi paling besar yang diperebutkan adalah 12.
Jika mengambil contoh jumlah maksimal kursi di satu dapil, dengan total partai politik peserta pemilu ada 16, untuk DPR, pemilih akan dipaparkan pada 160 caleg. Untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota lebih banyak lagi. Kalau memakai jumlah kursi maksimal di suatu dapil, pemilih akan disodorkan pada 192 calon untuk DPRD provinsi dan jumlah sama pula untuk calon anggota DPRD kabupaten/kota.
Artinya, untuk pemilu legislatif DPR serta DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota saja, pemilih mesti melihat lebih kurang 544 orang di satu waktu yang bersamaan di bilik suara. Ini tentu membebani pemilih. Oleh sebab itu, untuk manajemen teknis logistik pemilu, penataan jadwal mesti menjadi hulu dari perbaikan.
Di tengah kondisi ini, menyodorkan gagasan pemilu serentak nasional dan serentak lokal menjadi sangat relevan. Ke depan, pemilu serentak dapat dibagi menjadi dua bagian. Serentak nasional untuk memilih DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden. Lalu baru satu setengah tahun atau dua tahun setelah pemilu serentak nasional, dilaksanakan pemilu serentak lokal untuk memilih DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, bersamaan dengan pemilihan kepala daerah.
Ada dua capaian yang akan didapat dengan model pemilu serentak ini. Pertama, manajemen teknis pemilu, terutama logistik pemilu, serta proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS akan lebih proporsional dilakukan. Potensi keliru karena beratnya beban tugas bisa ditekan.
Kedua, model serentak nasional dan serentak lokal merupakan ikhtiar untuk membuat pemilih bisa lebih mungkin mengetahui siapa caleg di dapilnya. Sebab, ketika keserentakan pemilu sudah dibagi dua, jumlah calon yang harus dilihat dan dipilih masyarakat tak sebanyak sekarang.
Gagasan pemilu serentak nasional dan serentak lokal ini sudah pernah disampaikan oleh beberapa kalangan. Artinya, jika hendak mendetailkan gagasan ini, sudah barang tentu banyak konsep, ide, dan referensi yang bisa ditinjau kembali oleh pembuat undang-undang.
Semoga presiden terpilih bersama DPR yang baru dapat menjadikan pembenahan sistem pemilu dan sistem politik sebagai prioritas di nomor atas. Persoalan ini sudah lama terlupakan untuk dibahas serius dan dikuatkan.
Fadli Ramadhanil Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)