Selasa (21/5) dini hari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan hasil rekapitulasi perolehan suara nasional Pemilu Serentak 2019. Hasil rekapitulasi dituangkan dalam Surat Keputusan (SK) KPU No.987/2019 tanggal 21 Mei 2019. Jika dalam waktu 3 kali 24 jam setelah penetapan hasil rekapitulasi perolehan suara tak ada peserta pemilu yang melakukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK), maka KPU akan menetapkan hasil Pemilu berupa penetapan pasangan calon terpilih. Jika terdapat gugatan, maka penetapan pasangan calon terpilih akan dilakukan setelah ada putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
“Yang ditetapkan dalam jangka waktu 35 hari dari pemungutan suara adalah hasil pemilu nasional berupa perolehan suara. Jadi, sekarang ini, hasil pemilu masih berupa perolehan suara, belum sampai penetapan calon terpilih paslon Pilpres. Nah, dalam jangka waktu 3×24 jam terhitung sejak 21 mei 2019 jam 1.46 (24 mei 2019 jam 1.46) adalah masa pendaftaran gugatan PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) ke MK. Bila dalam jangka waktu 3×24 jak tersebut tidak ada paslon yang menggugat ke MK, KPU akan meminta atau mendapat konfirmasi dari MK tentang tidak adanya gugatan PHPU Pilpres. Setelah mendapat konfirmasi dari MK, kemudian KPU melangkah ke tahapan berikutnya, yaitu Penetapan Hasil Pemilu berupa Penetapan Paslon Terpilih dengan SK KPU,” jelas anggota KPU RI, Hasyim Asyarie kepada rumahpemilu.org(21/5).
Pemilihan Presiden (Pilpres)
Dari total suara sah 154.257.601, pasangan calon (paslon) nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amien memperoleh suara 85.607.362 atau 55,50 persen dari total suara sah nasional. Sementara paslon nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Shalahuddin Uno, mendapat perolehan suara 68.650.239 atau 44,50 persen dari suara sah nasional.
Jumlah suara sah dan tidak sah pada Pilpres adalah 158.012.506. Suara tidak sah mencapai 3.754.905 atau 2,37 persen dari total suara sah dan tidak sah Pilpres 2019.
Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI
Kurang dari total suara sah Pilpres, suara sah Pemilihan Anggota DPR RI yakni 139.971.260. Suara tidak sah Pileg mencapai 17.503.953 atau hampir 4 kali lipat dari suara tidak sah di Pilpres. Berikut perolehan suara 16 partai politik peserta Pemilu 2019.
- Partai Kebangkitan Bangsa (PKB): 13.570.097 atau 9,69 persen.
- Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra): 17.594.839 atau 12,57 persen.
- Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP): 27.053.961 atau 19,33 persen.
- Partai Golongan Karya (Golkar): 17.229.789 atau 12,31 persen.
- Partai NasDem: 12.661.792 atau 9,05 persen.
- Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda): 702.536 atau 0,50 persen.
- Partai Beringin Karya (Berkarya): 2.925.495 atau 2,09 persen.
- Partai Keadilan Sejahtera (PKS): 11.495.663 atau 8,21persen.
- Partai Persatuan Indonesia (Perindo): 3.738.320 atau 2,67 persen.
- Partai Persatuan Pembangunan (PPP): 6.323.147 ATAU 4,52 persen.
- Partai Solidaritas Indonesia (PSI): 2.650.361 atau 1,89 persen.
- Partai Amanat Nasional (PAN): 9.572.623 atau 6,84 persen.
- Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura): 2.161.507 atau 1,54 persen.
- Partai Demokrat: 10.876.507 atau 7,77 persen.
- Partai Bulan Bintang (PBB): 1095.845 atau 0,29 persen.
- Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI): 312.735 atau 0,22 persen.
Mengapa suara tidak sah di Pileg tinggi?
Menanggapi besarnya angka suara tidak sah, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Pratama berpendapat bahwa suara tidak sah dapat disebabkan oleh empat hal. Satu, pemilih berfokus pada Pilpres. Dua, pemilih mengetahui cara memilih tetapi bingung menentukan pilihan sehingga memasukkan surat suara ke dalam kotak suara tanpa mencoblos. Tiga, tak tahu cara memilih. Empat, sengaja merusak surat suara atau membuat suaranya tidak sah.
“Pemilu 2019 ini kan kompleks sekali. Pemilih mendapatkan lima surat suara sekaligus,danbesaran dapil (daerah pemilihan) juga besar. Nah, ditengah banyaknya jenis pemilihan dan banyaknya calon itulah, segala kerumitan teknis memilih terjadi di balik bilik suara,” kata Heroik kepada rumahpemilu.org (21/5).
Heroik mengatakan bahwa Perludem telah mengingatkan pembuat undang-undang pemilu sejak awal agar tak hanya mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi pemerintahan saat merumuskan desain pemilu, melainkan pula kemudahan bagi pemilih. Sistem pemilihan proporsional daftar terbuka pada Pileg telah diterapkan sejak Pemilu 2009, namun angka suara tidak sah pada Pileg selalu besar.
“Sejak 2009, kita sudah pakai sistem proporsional daftar terbuka. Jadi, kalau menduga tingginya angka suara tidak sah ini karena pemilih tidak tahu cara memilih, sebetulnya ini bukan hal yang baru. Nah, kenapa bisa sudah lama tapi masih salah milih?” tukas Heroik.
Angka suara tidak sah pada Pemilu 1999, saat sistem proporsional daftar tertutup, yakni 3.708.386 atau 3,4 persen dari total suara. Pemilu 2004, sistem proporsional semi terbuka, 10.957.925 atau 8,8 persen. Pemilu 2009, proporsional daftar terbuka, 17.540.248 atau 14,4 persen. Pemilu 2019, masih proporsional daftar terbuka, 17.503.953 atau 11,1 persen.
“Ke depan, kita harus mikir, kalau mau bertahan dengan daftar terbuka, pemilih harus dipikirkan kemudahannya. Jadi,saat kita merancang desain pemilu kita, harus dirumuskan tujuannya apa. Nah, salah satu yang harus dipikirkan adalah kemudan memilih,” tandas Heroik.
Kerumitan memilih di Pileg dapat diilustrasikan dengan pemilihan di Bogor. Untuk Pemilihan Anggota DPR RI, dengan besaran dapil 9 kursi, jika semua partai politik peserta pemilu mengusulkan calon lengkap, maka terdapat 144 pilihan calon DPR RI yang mesti dipilih pemilih. Untuk DPR Daerah (DPRD) provinsi Bogor, dengan 11 kursi, maksimal terdapat 176 calon. DPRD Kabupaten Bogor, 10 kursi, maka maksimal 160 calon. Total calon yang mesti dipertimbangkan pemilih di Kabupaten Bogor yakni 480 pemilih. Angka tersebut belum termasuk calon angota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).