Pemilu merindukan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pernyataan ini memang berlebihan secara redaksi. Tapi yang mau tulisan ini tekankan, pemilu Indonesia rindu pada kontestasi serta partisipasi partai dan massa berdasar ideologi. Jika ada yang menilai demokrasi kita masih prosedural, belum substansial, salah satu sebabnya karena kehambaran ideologi makin dirasa.
PKI merupakan partai dan partisipasi massa berdasar ideologi yang bisa membuktikan berpolitik dan bernegara dengan baik. Tak ada revolusi. Bukan dengan potong satu generasi. Apalagi kudeta. Ikut serta di Pemilu 1955 PKI meraih suara 6.179.914 suara atau 16,36% dari 37.774.535 suara sah (43.104.464 pemilih). Dengan jumlah suara ini PKI mendapat 39 kursi atau 15,17% dari 257 kursi parlemen. Persentase ini mendekati perolehan pemenang Pemilu 2014, PDI Perjuangan (18,95%). PKI menjadi empat besar partai parlemen dengan indeks ENPP (fragmentasi partai) hanya 6.
Tapi Dekrit Presiden Soekarno 1959 memusnahkan capaian berharga pemerintahan parlementer hasil Pemilu 1955. Sebagai partai massa kader dan ideologis, PKI jauh lebih siap menghadapi Pemilu 1960, yang tak sampai setahun lagi. Soekarno bukan hanya membubarkan parlemen hasil pemilu terbaik Indonesia tapi juga menggagalkan keberlanjutan pemerintahan parlementer yang ideologis ke pemilu berikutnya.
Indonesianis, Max Lane dalam “Malapetaka di Indonesia†(2012) menjelaskan, tragedi 30 September 1965, merupakan pembantaian ideologi dan massa komunisme, sekaligus. PKI menjadi kambing hitam kudeta pemerintahan Soekarno oleh Soeharto. Pemerintahan otoriter Orde Baru lalu membunuh ragam ideologi selain komunisme melalui Asas Tunggal Pancasila yang dilegitimasi pemilu yang pura-pura pemilu.
Padahal, para pendiri bangsa sebelumnya, yang berlatar ideologi berbeda, sudah mengaitkan sistem pemerintahan, sistem kepartaian, dan sistem pemilu dengan sangat baik. Indonesia seperti sadar dari awal bahwa kemajemukan Indonesia lebih baik difasilitasi dalam bernegara dengan pemerintahan parlementer dan multipartai. Meski mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, sistem pemilu mayoritas/pluralitas (sistem distrik) tak dipilih karena lebih berpeluang memenangkan partai seperti Masyumi secara mutlak. Pakar pemilu, Didik Supriyanto menyimpulkan konteks ini dengan redaksi “sistem pemilu proporsional bagi Indonesia sudah givenâ€.
Pendiri bangsa percaya diri bahwa kemajemukan ide dan massa perlu disalurkan melalui kontestasi pemilu yang menekankan pada pengorganisasian partai dan ideologi, bukan personal calon apalagi tokoh/popularitas. Kepercayaan diri ini terbukti di Pemilu 1955. Partisipasi pemilih di pemilu nasional pertama di Indonesia ini mencapai 91,4%. Kembali terbukti pada Pemilu 1999. Pemilu pertama Pasca-Reformasi ini menggambarkan antusiasme pemilih terhadap partai dengan partisipasi pemilih mencapai 92,6% (tertinggi sepanjang sejarah pemilu nasional Indonesia).
Tak tahu sejak kapan ada anggapan memilih presiden secara langsung lebih disukai masyarakat Indonesia. Partisipasi pemilih di pemilu presiden selama ini tak pernah menembus 80%. Pemilu Presiden 2004 sebagai pemilu presiden pertama persentase pemilihnya hanya 78,2% di putaran 1 dan 76,6% di putaran 2. Bahkan Pemilu Presiden 2014 menjadi pemilu nasional yang tingkat partisipasi pemilihnya terendah sepanjang masa, 69,58%.
Angka itu sebetulnya bisa dimaknai bahwa rakyat sebagai pemilih lebih apresiatif terhadap partai dibandingkan personal tokoh. Memang, jika kita tanya ke banyak orang apakah ingin memilih presiden langsung/melalui parlemen? Jawabannya pasti lebih banyak yang ingin memilih presiden langsung. Tapi jika pilihannya adalah, lebih rela mana: tak pilih presiden langsung atau partai di parlemen cuma dua partai? Warga Indonesia lebih tak suka jika cuma ada dua partai di parlemen.
Sayang jika dalam berdemokrasi melalui pemilu untuk mengisi lembaga pemerintahan kita lebih percaya personal calon dibandingkan pengorganisasian politik melalui partai. Di antara kita makin banyak yang emoh pemilu tapi anehnya di suatu pemilu bisa menjadi warga yang sangat antusias terhadap pemilu karena aspek yang artifisial dan temporer berbentuk mendukung calon. Sehingga amat lah pantas jika disimpulkan pemilu merindukan ideologi. Kita rindu saat orang datang ke TPS karena kedekatan pada komunisme, islamisme, nasionalisme, dan lainnya, bukan karena ganteng,ndeso, suka bikin taman, atau galak.
Perbincangan mengenai komunisme dan PKI di Pilpres 2014 hadir tapi lebih sebagai agitasi dan kampanye busuk. Sayangnya, Jokowi sebagai presiden terpilih hasil pemilu langsung terkesan tak berkepedulian menyelesaikan stigma buruk “komunisme†dan “PKIâ€. Padahal (jika sadar) Jokowi pun korban pembusukan nama PKI di fase kampanye Pilpres 2014.
Kita berharap, rekonsiliasi juga pengadilan HAM terhadap orang-orang yang menyelewengkan kewenangan pejabat negara di masa lalu bisa terus diupayakan. Salah satu konsekuensinya adalah pencabutan Ketetapan MPRS RI No.XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran PKI, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah NRI bagi PKI dan Larangan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Merupakan hal yang menyedihkan jika sebagai negara demokrasi Indonesia masih melarang ideologi yang dahulu melalui partai patuh terhadap demokrasi dengan mengikuti pemilu dan diapresiasi baik pemilih.
Komunisme dan PKI dahulu jauh lebih besar tapi pendiri bangsa percaya diri menerima terbuka dalam bingkai bernegara. Kenapa anak-anak bangsa malah takut? Biarkan komunisme dan PKI hadir kembali dan turut serta di pemilu. Biarkan partai dan massanya mengkontestasikan ide keadilannya. Seberapa laris, biar pemilu yang menentukan naik-turun suara/kursi-nya. Harus jelas kita tekankan tegas, pemilu merupakan syariat berkuasa dalam demokrasi dan ragam ideologi bukan lah keharaman. []
USEP HASAN SADIKIN