August 8, 2024

Sengketa Pilkada Setengah Hati

Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Kepala Daerah 2015 tak banyak menjawab harapan para pencari keadilan. Ratusan sengketa harus mentah di tahap pemeriksaan pendahuluan, terganjal syarat formil.

Masyarakat mendorong sengketa pilkada diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Publik masih meyakini MK sebagai pintu terakhir mencari keadilan dalam sengketa pilkada. MK akhirnya diberi kewenangan sementara menyelesaikan sengketa.

Agar MK bekerja optimal dan manusiawi, masyarakat juga mengajukan judicial review masa penyelesaian sengketa agar diperpanjang. Akhirnya, dari 45 hari kalender, menjadi 45 hari kerja.

Namun, harapan masyarakat kepada MK untuk memeriksa sengketa pilkada mesti kandas. Pemeriksaan sengketa pilkada justru terhalang sejumlah syarat formil dan dipersulit Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) sendiri. MK memilih konsisten dengan syarat formil dari pada menjawab harapan masyarakat agar melakukan terobosan hukum, seperti sediakala yang melahirkan istilah Terstruktur, Masif, dan Sistematis (TSM).

MK begitu ketatnya menangani sengketa hasil Pilkada 2015 yang diajukan pasangan calon (paslon). Dari 147 paslon yang mengajukan sengketa, hanya tujuh sengketa berhasil lolos hingga tahap pemeriksaan saksi dan ahli. Ratusan sengketa gugur karena tak memenuhi syarat formil.

MK begitu ketatnya menangani sengketa hasil Pilkada 2015 yang diajukan pasangan calon (paslon). Dari 147 pasangan calon (paslon) yang mengajukan sengketa, hanya tujuh sengketa berhasil lolos hingga tahap pemeriksaan saksi dan ahli. Ratusan sengketa gugur karena tak memenuhi syarat formil.

Nasib 140 perkara tersebut beragam. Sebanyak 35 sengketa ditolak karena melewati tenggat waktu pengajuan, lima permohonan ditarik kembali oleh pemohon tanpa alasan yang jelas, dan tiga pemohon salah objek. Paling banyak, 96 permohonan ditolak karena tidak memenuhi syarat selisih suara untuk mengajukan sengketa.

Untuk bisa mengajukan permohonan, pemohon harus melewati setidaknya empat syarat formil. Hakim MK, I Dewa Gede Palguna, mengatakan paslon harus memenuhi tenggat waktu 3×24 jam pengajuan sengketa setelah penetapan hasil, pemohon haruslah peserta pemilihan, objek sengketa menyangkut selisih penetapan hasil, dan harus memenuhi persentase maksimal selisih perolehan suara.

“Keseluruhan syarat ini harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang mengajukan pembatalan hasil pemilihan suara,” kata I Dewa Gede Palguna saat membacakan pertimbangan putusan.

Seluruh syarat dan ketentuan memang sudah diatur dalam UU 8 Tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah. MK kemudian menerjemahkannya dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).

Juru bicara MK, Fajar Laksono mengatakan kewenangan MK menangani sengketa pilkada adalah kewenangan sementara yang diberikan lewat UU Pilkada. Karena itu, MK mutlak memutus sengketa berdasarkan UU Pilkada, tidak boleh mengurangi atau melebihi.

MK sebagai lembaga penjaga konstitusi, menurut Fajar, juga berbeda dalam memandang Pilkada. MK diberikan kewenangan menyelesaikan sengketa pemilu. Menurut MK, pilkada tidak bisa disebut sebagai pemilu karena dalam UUD, pemilu adalah Pemilihan DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, DPD serta presiden dan wakil presiden.

Menurut mahkamah, perbedaan ini bukan hanya dari segi istilah, melainkan meliputi perbedaan konsepsi yang menimbulkan perbedaan konsekuensi hukum. Terutama bagi mahkamah dalam memutus hasil perselisihan pilkada.

Beberapa alasan inilah yang menurut Fajar membuat mengapa MK begitu ketat menangani sengketa Pilkada. Salah satunya Pasal 158 yang menggugurkan sebagian besar sengketa yang diajukan calon.

Ketentuan 158 dengan jelas membatasi paslon yang bisa menggugat ke MK, yakni hanya peserta yang memiliki selisih dengan peraih suara terbanyak sebesar 0,5-2 persen suara, berdasarkan jumlah penduduk.

Meski ketentuan itu menuai kritik dari sejumlah pihak, MK justru memandang pasal 158 sebagai bentuk rekayasa sosial. Rekayasa yang dibentuk agar pasangan calon tidak sembarangan mengajukan sengketa dan MK tidak menjadi tong sampah perselisihan pilkada.

Sebelum memasuki tahapan sengketa pilkada, Pasal 158 dan PMK 5 sudah dikritisi sejumlah masyarakat sipil. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai pasal tersebut membatasi calon mendapat keadilan. Tidak boleh hak seorang warga Negara dihalang-halangi untuk melakukan upaya hukum dan memperjuangkan haknya, dalam hal ini menggugat hasil pilkada ke MK.

Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil mengatakan bisa saja pasangan calon mendapatkan suara dengan melakukan pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif. Akan tetapi karena tidak memenuhi syarat untuk disengketakan di MK, maka kecurangan tidak dapat dibuktikan di depan mahkamah.

“Hal ini tentu saja sangat disayangkan, karena terdapat beberapa permohonan yang meskipun tidak memenuhi syarat formil, namun sangat patut dipertimbangkan oleh MK”, katanya.

Salah satu contoh perkara yang tidak memenuhi syarat selisih adalah permohonan yang diajukan dari Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Terdapat dua pasangan calon berbeda, namun diusung satu partai politik yang sama. Hal ini menyalahi prinsip pencalonan, dimana satu partai politik harusnya hanya dapat memberikan dukungan kepada satu pasangan calon.

Ada juga persoalan mendasar di Asmat, Provinsi Papua, yakni terkait dengan cara pemberian suara. Daerah yang berada di daerah pesisir bukanlah daerah yang bisa melaksanakan pemilihan dengan mekanisme perwakilan kepada kepala suku, atau lebih dikenal sistem noken. Lewat surat edarannya, KPU Provinsi Papua juga mempertegas, Asmat bukanlah daerah yang melaksanakan pemilihan dengan mekanisme noken.

Namun faktanya, dari 19 distrik, terdapat 13 distrik yang justru melaksanakan dengan mekanisme noken. Namun sayang, karena keterlambatan mengajukan permohonan ke MK, fakta penting ini diabaikan oleh MK.

Menurut ahli Hukum Tata Negara, Saldi Isra, MK sebenarnya bukan tidak bisa mengesampingkan ketentuan yang membatasi peserta mengajukan sengketa. MK bahkan bisa mengeluarkan pseudo judicial review melalui putusannya, berdasarkan kasus konkrit. Hal ini pernah dilakukan MK ketika memutuskan pelanggaran dengan mengeluarkan istilah TSM.

Adanya pembatasan seperti saat ini, menurut Saldi, tak masalah sepanjang MK tidak menjadikannya sebagai syarat mutlak. Akan tetapi MK sekarang begitu konsistennya dengan UU Pilkada.

Revisi UU Pilkada

Mayoritas perkara yang tidak bisa dilanjutkan oleh MK terbentur selisih suara maksimal pasangan calon selaku pemohon dengan pihak terkait yang merupakan pasangan calon pemenang. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 158 UU Pilkada dan PMK Nomor 1-5 tahun 2015.

Saldi melihat, kedua aturan itu harus didiskusikan kembali dengan baik. Ia menekankan, MK harusnya bisa menerobos kedua aturan itu dan menitikberatkan persoalan TSM pada masing-masing perkara PHP.

“‎Sekarang kan straight ke Pasal 158 dan PMK Nomor 5. Ke depan harus didiskusikan dengan baik ini,” ujar dia.

Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis juga berpendapat Pasal 158 sangat jelas rumusannya sehingga sulit bagi MK berkreasi melampaui atau menciptakan hukum di luar Pasal 158. Margarito menganjurkan Pasal 158 perlu direvisi atau dihapuskan agar kemenangan diperoleh dengan cara benar, bukan dengan cara melawan hukum.

Ketentuan pembatasan dikhawatirkan membuka peluang orang mendapatkan suara dengan cara tidak sah dan melawan hukum. Paslon akan melakukan kecurangan masif untuk melampaui batasan ketentuan 0,5-2 persen. Dengan demikian, pihak yang kalah tidak bisa mengajukan sengketa hasil pilkada ke MK.

Fajar juga mengingatkan pasal 158 sudah pernah di-judicial review dan MK telah memutusnya sebagai open legal policy atau kebijakan terbuka pembuat UU. MK tidak mungkin mengubah PMK 5 jika pasal 158 tidak diubah.

DEBORA BLANDINA