November 27, 2024

Kodifikasi UU Pemilu: Diapresiasi DPR, Diragukan Pemerintah

Kebutuhan Indonesia mempunyai satu naskah undang-undang kepemiluan semakin mendesak setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan pemilu serentak diselenggarakan di 2019. Urgensi satu naskah UU Pemilu tak hanya soal sinergitas ragam undang-undang kepemiluan dan kelestariannya tapi juga mutlak dibutuhkan sebagai pijakan hukum penyelengaraan pemilu eksekutif dan pemilu legislatif 2019 secara bersamaan. Advokasi Tim Kodifikasi UU Pemilu diapresiasi baik DPR tapi cenderung diragukan lembaga-lembaga pemerintah. Butuh kemauan politik yang kuat dari Presiden berdasarkan Nawa Cita dan janji kampanye.

Pakar pemilu, Didik Supriyanto menjelaskan, sejak Reformasi, penyelenggaraan pemilu yang sudah menghasilkan 12 undang-undang menghasilkan kompleksitas pada segi pengaturan, penyelenggaraan, dan pemerintahan hasil pemilu. Kompleksitas pengaturan berbentuk kontradiksi dan tumpang tindih pasal. Kompleksitas penyelenggaraan berbentuk tak terkelola baiknya penyelenggaraan pemilu dan irasionalitas pemilih. Sedangkan kompleksitas pemerintahan terpilih hasil pemilu berbentuk pemerintahan terbelah dan ketakberhubungan di nasional dan lokal.

“Pemilu Indonesia ini secara penyelenggaran sangat kompleks. Saya menyebut pemilu Indonesia saat ini dengan istilah unmanageable. Siapa pun yang menjadi anggota KPU, tak akan bisa (dengan baik) menyelenggarakan pemilu,” kata Didik mewakil Tim Kodifikasi UU Pemilu kepada Baleg DPR RI (15/9), Badan Pembinan Hukum Nasional (2/10), Menkopolhukam (13/10), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (26/10).

Tim Kodifikasi UU Pemilu terdiri dari para pakar pemilu serta LSM pemilu dan demokrasi. Naskah rancangan kodifikasi UU Pemilu menjelaskan empat tujuan kodifikasi undang-undang pemilu. Pertama, menjamin suatu undang-undang pemilu disusun berdasarkan standar dan parameter yang sama tinggi untuk semua jenis pemilu demi mewujudkan pemilu adil berintegritas. Kedua, menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu atas semua jenis pemilu demi mencapai tata politik demokrasi yang disepakati. Ketiga, mencegah duplikasi pengaturan atas materi yang sama dari satu undang-undang pemilu dengan undang-undang pemilu yang lain, sekaligus mencegah ketidakpastian hukum pengaturan pemilu sebagai akibat kekosongan hukum, ketidakkonsistenan, bahkan kontradiksi antara satu ketentuan dengan ketentuan lain. Keempat, menemukan masalah-masalah pengaturan aktor pemilu, sistem pemilihan, manajemen pemilu, dan penegakan hukum dalam satu undang-undang pemilu.

Banyak anggota DPR RI setuju kodifikasi undang-undang pemilu masuk rancangan undang-undang prioritas yang dibahas di Prolegnas 2016. Dewan menyadari kompleksitas pemilu Indonesia yang perlu disederhanakan secara sistem dan manajemen. “Saya, 100% setuju kodifikasi undang-undang pemilu,”kata anggota DPR RI Fraksi Partai Nas-Dem, Taufikul Hadi kepada Tim Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-undang Pemilu dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Badan Legislatif di DPR, Jakarta Selatan (15/9).

Pernyataan itu senada dengan dewan yang lain. “Saya setuju dengan Tim Sekretariat Bersama itu. Saya mengusulkan, ini dipresentasikan ke setiap partai juga,” kata anggota DPR RI Fraksi PPP, Asep Ahmad Maoshul Affandy. “Saya setuju dengan penyederhanaan pemilu. Saya sudah lama kenal Pak Didik. Dan ternyata apa yang Pak Didik bilang selama ini (tentang kompleksitas pemilu), adalah benar,” kata anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar, Endang Sutarti.

Yang disayangkan, ada keengganan dari pihak yang merepresentasikan pemerintah. Berdasarkan advokasi Tim Kodifikasi UU Pemilu, pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) belum menerima pertemuan dengan Tim Kodifikasi UU Pemilu. Sedangkan lembaga pemerintahan lainnya seperti Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia (Kemenkopolhukam), Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) belum kuat merespon.

Persoalan istilah

Menkopolhukam, Luhut Binsar Pandjaitan belum tegas menyepakati penyatuan undang-undang kepemiluan dengan istilah “kodifikasi”. “Saya setuju. Penyederhanaan regulasi itu penting. Jika disatukan, tidak tumpang tindih,” kata Luhut dalam pertemuan dengan Tim Sekretariat Bersama Kodifikasi UU Pemilu di Kemenko Polhukam, Jakarta (13/10). Luhut merujuk perbaikan regulasi di bidang perpajakan. “Di pajak saja, masalah yang ada ini imbas dari pemasalahan dan regulasi yang tumpang tindih. Menjadi lebih baik setelah regulasinya disederhanakan,” lanjut Luhut.

Sempat ada respon positif dari Ketua BPHN, Enny Nurbaningsih. Kandidat komisioner KPU 2012-2017 ini mengatakan, BPHN berdasarkan fungsinya akan mendukung prioritas pengesahan UU Pemilu. Seminar Kodifikasi UU Pemilu yang akan diselenggarakan pada 2015 nanti merupakan bagian dari dukungan. “Ada yang berpendapat kodifikasi ini akan dikaji kalangan akademisi di sejumlah kampus seperti UI, UGM, Unpad, dan lainnya. Tapi saya berpikir usulan dari NGO seperti Perludem ini yang lebih baik,” kata Enny (1/10).

Tapi kesan positif BPHN itu berubah di audiensi kodifikasi UU Pemilu yang difasilitasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Hotel Oria Jakarta Pusat (26/10). Perwakilan BPHN, Plh. Kapuslitbang, Agus Subandriyo mengatakan, upaya mewujudkan kodifikasi UU Pemilu tak realistis. Agus membandingkan dengan pembahasan KUHP. “Yang mungkin itu bukan kodifikasi, tapi simplifikasi,” kata Agus.

Direktur Politik dan Komunikasi Bappenas, Wariki Sutikno di temu itu menilai, advokasi kodifikasi UU Pemilu tak terlalu mendesak untuk masuk prolegnas 2016. Menurutnya, kodifikasi UU Pemilu bisa dimengerti kebermanfaatannya. Tapi Wariki masih menyimpulkan, alasan mengapa harus kodifikasi UU Pemilu menjadi rancangan UU yang harus diprioritaskan tak kuat untuk bisa diterima. “Saya kok masih gak melihat gongnya, gitu,” kata Wariki.

Istilah simplikasi pada bidang penyusunan regulisi tak punya rujukan. Kodifikasi menurut Kamus Hukum Black Law adalah proses mengumpulkan dan mengaturnya secara sistematis, biasanya berdasarkan subyeknya, hukum dari suatu negara, atau peraturan-peraturan yang mencakup suatu area hukum atau praktik tertentu. Ini membedakan pengertian omnibus sebagai for all, containing two or more independent matters. Unifikasi, yang berarti penyatuan sistem hukum untuk diberlakukan bagi seluruh warga negara di wilayah negara sebagai hukum nasional. Kompilasi, yang berarti sebuah buku hukum yang memuat bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum, atau peraturan hukum. “Simplifikasi tak ada rujukannya dalam legal drafting,” kata Didik, yang menyusun rancangan kodifikasi UU Pemilu (27/10).

Profesor bidang politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris menilai (27/10), istilah “simplifikasi” cenderung diartikan negatif. Menurutnya, penting untuk lebih memperluas pemahaman masyarakat dan pemangku kepentingan terhadap istilah dan penjelasan kodifikasi.

Didik mengingatkan lembaga pemerintah itu bahwa kodifikasi UU pemilu terkait dengan Nawa Cita Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.  Nawa Cita Ke-2 berbunyi, Kami memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.

Kalau kita merujuk kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014, Jokowi-JK lebih konkret menjelaskan Nawa Cita ke-2 itu. Jokowi mengatakan, pemilu akan dibuat serentak.

Merujuk legislasi undang-undang kepemiluan sebelumnya, UU Pemilu lama pembahasannya karena cenderung dihambat partai dan anggota DPR yang berkepentingan mempertahankan dapil dan kursinya. Di konteks advokasi kodifikasi UU Pemilu ini malah pihak pemerintah yang cenderung lama merespon. “Kalau bukan soal pemahaman yang baik, ini soal political will dari pemerintah,” kata peneliti Perludem, Heroik (26/10). []

USEP HASAN SADIKIN