August 8, 2024

Menjaga Kedaulatan Rakyat dalam Pilkada Calon Tunggal

Mahkamah Konstitusi (MK) memutus daerah bercalon tunggal berhak mengikuti pemilihan kepala daerah serentak. Putusan ini mesti diikuti regulasi teknis yang jelas dan sosialisasi masif sistem baru Pilkada calon tunggal.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dalam keterangan tertulis di persidangan uji materi di MK, mengakui keadaan calon tunggal merupakan kondisi yang tidak terprediksi pembuat regulasi ketika merumuskan UU 8 Tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pasal 48, 49, 50, 51, 52 dan 56 selalu menekankan “menetapkan dua pasang calon.”

Jika dua pasang calon tidak terpenuhi, solusi yang ditawarkan UU hanya menunda penetapan dan membuka kembali pendaftaran. Tidak ada solusi jika pembukaan pendaftaran kedua kalinya ternyata masih menghasilkan calon tunggal.

Dalam pemahaman Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Husni Kamil Manik, pelaksanaan pilkada serentak merupakan pelaksanaan yang bersyarat. Salah satu satu syarat yang harus terpenuhi mengenai ketersediaan calon.

Meski demikian, berbeda dengan pembuat UU yang tidak menyadari kemungkinan calon tunggal, KPU justru menyadari munculnya calon tunggal meskipun pendaftaran telah dibuka kembali. Sehingga dalam PKPU 12 tentang pencalonan, KPU menawarkan solusi menunda pelaksanaan pilkada daerah bercalon tunggal ke pilkada selanjutnya.

Solusi penundaan ini sangat beralasan, meskipun setelah dinilai oleh sejumlah pihak tidak tepat. Husni mengatakan, dalam  Pasal 56 UU 8/2015 telah ditegaskan syarat dilaksanakannya Pilkada, harus terdapat dua pasang calon. Kemudian pasal ini dikuatkan oleh pasal 120 yang menyatakan apabila syarat dilaksanakannya pilkada tidak terpenuhi maka dilakukan pemilu lanjutan dengan mengundurnya ke pilkada 2017.

“Kami hanya melengkapi pendapat itu, harus ada sekurang-kurangnya dua pasang calon, dan itu dikuatkan pasal 120,” kata Husni.

KPU akhirnya memberlakukan pasal penundaan terhadap tiga daerah yang masih bercalon tunggal setelah pembukaan pendaftaran masih menyisakan calon tunggal. Tiga daerah tersebut adalah Tasikmalaya, Blitar, dan Timor Tengah Utara.

Penundaan Meniadakan Hak Pilih

Dalam pandangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), pelaksanaan Pilkada merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diatur melalui UU 8/2015. Sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat, maka Pilkada tidak boleh mengabaikan bahkan meniadakan hak dipilih dan memilih masyarakat.

Hakim MK, I Dewa Gede Palguna, mengatakan, rumusan norma UU 8/2015 jika diterjemahkan secara sistematis terlihat nyata mengharuskan adanya dua pasang calon. Akan tetapi UU tidak memberi jalan keluar jika dua pasang calon tidak terpenuhi. Sehingga hal ini berpotensi menimbulkan kekosongan hukum apabila terjadi kondisi calon tunggal.

Kekosongan hukum yang terjadi mengancam hak dipilih dan memilih masyarakat sebab pilkada tidak akan berlanjut. Majelis hakim menganggap bahwa kondisi ini bukanlah yang dikehendaki UU, sebab semangat dihadirkannya UU tersebut adalah untuk menjamin terselenggaranya hak warga negara.

“Menunda Pilkada sama saja dengan tidak terpenuhinya hak memilih dan dipilih. Mahkamah tidak boleh membiarkan terjadinya pelanggaraan dengan membiarkan norma dalam UU tidak konsisten, apalagi bersangkut paut pada pelaksanaaan kedaulatan rakyat yang akan berdampak luas,” katanya.

Upaya KPU yang mencoba menjawab kebuntuan UU, terlepas dari maksud baik dan rasa tanggung jawab KPU, dianggap tidak menyelesaikan persoalan. Solusi yang ditawarkan KPU tidak meyelesaikan persoalan jika tidak terlaksananya hak rakyat untuk dipilih dan memilih.

“Andai kata penundaaan dibenarkan, tidak ada jaminan hak dipilih dan memilih bisa terlaksana dengan tetap adanya ketentuan yang mensyaratkan dua pasang calon dalam kontestasi,” katanya.

Hakim MK lain, Suhartoyo, juga menegaskan persyaratan yang diatur semestinya tidak menyandera hak masyarakat yang dijamin dalam konstitusi. Sehingga mahkamah menganggap penundaan pilkada bertentangan dengan semangat UUD 1945.

“Pilkada harus tetap dilaksanakan meskipun hanya ada satu pasang calon setelah dilakukan upaya yang sungguh-sungguh untuk memenuhi dua pasang calon,” katanya.

Upaya sungguh-sungguh yang dimaksud adalah dibukanya kembali pendaftaran selama tiga hari. Setelah pembukaan pendaftaran masih tetap bercalon tunggal, maka KPU harus menetapkan satu pasang calon sebagai peserta pilkada.

Pilkada Setuju/ Tidak Setuju

Pelaksanaan pilkada bercalon tunggal kemudian dilakukan dengan mekanisme setuju/tidak setuju terhadap pasangan calon tunggal. Apabila pilihan setuju lebih banyak, maka calon tunggal ditetapkan sebagai kepala daerah. Akan tetapi jika pilihan tidak setuju lebih banyak, maka pilkada ditunda ke pemilihan selanjutnya.

“Karena rakyat yang memutuskan penundaan melalui pilihan tidak setuju, maka ini lebih demokratis dari pada aklamasi,” katanya.

Hakim mengatakan belum sependapat dengan solusi bumbung kosong yang dimohonkan Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryanduru. Solusi setuju/tidak setuju lebih tepat menghadapi kondisi calon tunggal, dimana mekanisme pemilihan akan didesain lewat surat suara.

Dengan demikian seluruh pasal yang mengatur penetapan dua pasang calon dianggap inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai termasuk menetapkan satu pasang calon setelah tiga hari pembukaan pendaftaran terlampaui tetapi masih terdapat satu pasang calon.

Putusan MK terhadap kondisi calon tunggal menjadi sejarah baru dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Dalam waktu yang relatif  singkat, KPU di kabupaten Blitar, Tasikmalaya, dan Timor Tengah Utara mesti melanjutkan kembali tahapan yang telah tertunda.

Pascaputusan MK, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan harus ada pengaturan teknis yang jelas dan sosialisasi yang masif soal sistem baru ini. “Bukan hanya kelompok buta aksara bisa jadi mendapatkan kesulitan karena tidak mampu membaca tulisan “setuju” dan “tidak setuju”, tapi juga karena memang ini hal baru pada sejarah Pilkada,” kata Titi.

KPU perlu sesegera mungkin mengeluarkan PKPU khusus yang disesuaikan dengan mekanisme calon tunggal untuk mengatur pencalonan, kampanye, sosialisasi dan partisipasi, pemungutan dan penghitungan suara, sampai dengan rekapitulasi hasil penghitungan suara dan penetepan hasil.

Misalnya dalam mekanisme kampanye, kampanye seperti apa yang bisa dilakukan oleh pasangan calon tunggal. KPU juga perlu mengkaji lebih jauh dengan para pemerintah dan pihak terkait dengan kemungkinan adanya ruang kampanye “tidak setuju” untuk memilih calon tunggal.

“Hal ini menjadi penting karena putusan MK melegalkan adanya pilihan tidak setuju dalam pilkada dengan calon tunggal,” kata Titi.

Menurut Titi, putusan MK sudah tepat dalam memandang penyelenggaraan pilkada harus tetap berjalan meski bercalon tunggal. Dengan demikian, masyarakat tetap diberi kesempatan berpartisipasi dalam pilkada, memberikan legitimasi kepada calon yang mengajukan diri, dan kesempatan untuk menolak calon yang maju dalam pemilihan.

“Saya kira putusan MK soal calon tunggal ini adalah keputusan yang baik. MK mengakomodir harapan agar putusan MK tidak menghilangkan hak warga negara untuk melakukan koreksi langsung atas kepemimpinan lokal melalui penggunaan hak pilihnya di pilkada,” katanya,

Opsi untuk langsung menetapan calon tunggal sebagai calon terpilih secara aklamasi menurutnya harus dihindari. Demikian pula dengan opsi mengembalikan pemilihan kepada DPRD yang otomatis menghilangkan hak pilih warga negara untuk memilih calonnya, apalagi jika menunda pilkada.

DEBORA BLANDINA