Banyak kalangan mendorong agar Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU No 7/2017) segera direvisi atau bahkan diganti supaya Pemilu 2024 dipersiapkan lebih dini. Sebab, semakin banyak waktu persiapan pemilu, proses dan hasil pun bisa diharapkan akan lebih baik.
Sejalan dengan usaha menyegerakan pembahasan RUU Pemilu tersebut, diskusi tentang sistem pemilu menyeruak kembali. Perdebatan itu terfokus pada isu mempertahankan sistem proporsional daftar terbuka (open list) atau kembali ke sistem proporsional daftar tertutup (close list).
Padahal per definisi, sistem pemilu itu bukan hanya soal daftar terbuka atau daftar tertutup. Itu hanya sebagian dari pengertian sistem pemilu.
Tulisan berseri ini berusaha menjelaskan kerangka teori pemilu agar kita bisa mengikuti dan menelaah perdebatan secara rasional. Pembahasan dimulai dengan memahami apa dan bagaimana sistem pemilu, lalu dilanjutkan dengan implikasi-implikasi politik atas pilihan sistem tersebut.
Pengertian sistem pemilu menempatkan pemilu sebagai pusat sarana kedaulatan rakyat. Pemilu adalah instrumen untuk memastikan transisi dan rotasi kekuasaan berjalan demokratis. Pemilu juga merupakan sarana untuk mendorong akuntabilitas dan kontrol publik terhadap negara.
Para akademisi seperti Haywood (1992) menjelaskan fungsi pemilu dari dua arah, yakni bottom-up dari masyarakat terhadap negara dan top-down dari negara terhadap masyarakat.
Secara bottom-up terdapat tiga fungsi pemilu. Pertama, sebagai sarana rekrutmen politik, di mana setiap warga negara punya hak dipilih menjadi pejabat publik. Kedua, sebagai sarana pembentukan pemerintahan. Ketiga, sebagai sarana membatasi perilaku pejabat dan kebijakan.
Sedangkan secara top-down, pemilu punya empat fungsi. Pertama, sebagai sarana membangun legitimasi. Kedua, sebagai sarana penguatan dan sirkulasi elite secara periodik. Ketiga, sebagai sarana menyediakan perwakilan. Keempat, sebagai sarana pendidikan politik.
Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi tersebut, pemilu dilengkapi berbagai perangkat teknis pemilu atau variabel teknis pemilu. Dari sinilah pengertian atau definisi sistem pemilu itu disusun.
Sistem pemilu adalah hubungan berbagai variabel teknis pemilu untuk mengonversi suara (yang diberikan pemilih) menjadi kursi (yang diduduki calon terpilih). Dengan kata lain, sistem pemilu merupakan seperangkat variabel teknis yang mengatur kontestasi perebutan kekuasaan.
Para teoritisi pemilu seperti Rae (1967) mengidentifikasi empat variabel teknis pemilu, yakni besaran daerah pemilihan (district magnitude), metode pencalonan (candidacy), metode pemberian suara (balloting), dan formula perolehan kursi dan penetapan calon terpilih (electoral formula). Selanjutnya, Nohlen (2008) menambahkan ambang batas perwakilan (threshold).
Kelima variabel tersebut secara langsung mempengaruhi konversi suara menjadi kursi. Ilustrasinya adalah sebagai berikut ini.
Besaran daerah pemilihan (district magnitude) adalah jumlah kursi perwakilan yang tersedia di setiap daerah pemilihan.
Jika besaran daerah pemilihan tunggal atau satu daerah pemilihan hanya menyediakan 1 kursi perwakilan, maka perebutan kursi bagi kontestan sangat berat jika dibandingkan dengan besaran daerah pemilihan jamak atau satu daerah pemilihan menyediakan 2 atau lebih kursi perwakilan.
Sebab, untuk merebut kursi di daerah pemilihan tunggal, kontestan harus meraih 50 persen lebih suara, sedangkan di daerah pemilihan jamak, kontestan dapat meraih kursi meski suaranya kurang dari 50 persen. Semakin banyak jumlah kursi tersedia di daerah pemilihan, semakin kecil persentase suara yang perlu diraih untuk merebut kursi.
Itulah sebabnya mengapa partai kecil menyukai daerah pemilihan berkursi besar, sedang partai besar lebih menyukai daerah pemilihan berkursi kecil.
Peluang partai kecil merebut kursi di daerah pemilihan berkursi besar lebih terbuka daripada merebut kursi di daerah pemilih berkursi kecil. Sebaliknya, bagi partai besar merebut kursi di daerah pemilihan berkursi kecil lebih mudah, sehingga jika semua daerah pemilihan berkursi kecil, maka peluang merebut kursi lebih banyak lebih terbuka.
Metode pencalonan (candidacy) adalah cara mengajukan calon dalam kontestasi pemilu. Di sini dikenal dua jenis. Pertama, pada daerah pemilihan berkursi tunggal, partai mengajukan satu nama calon atau seorang mengajukan dirinya sendiri (baik atas dukungan partai atau bukan). Kedua, pada daerah berkursi jamak, partai mengajukan dua atau lebih calon yang disusun dalam daftar calon.
Baik metode pengajuan calon tunggal atau pengajuan calon banyak dalam satu daftar, masing-masing punya implikasi politik. Metode pertama cenderung memperkuat figur calon (terpilih) dan melemahkan partai, sedangkan metode kedua sebaliknya, cenderung memperkuat partai dan melemahkan calon (terpilih) nanti.
Sebagai contoh, calon-calon (terpilih) di Amerika Serikat dan Inggris lebih kuat posisinya daripada partai pendukungnya, sementara calon-calon (terpilih) di Belanda atau Jerman lebih lemah posisinya daripada partainya.
Metode pemberian suara (balloting) adalah cara pemilih memberikan suara saat di dalam bilik suara. Secara umum ada empat: pemilih memilih satu calon, pemilih memilih dua calon atau lebih, pemilih memilih partai, serta pemilih memilih partai dan calon.
Masing-masing metode memiliki konsekuensi sendiri-sendiri. Bagi pemilih, memilih satu calon sangat mudah dan cara ini memperkuat hubungan pemilih dan calon terpilih. Memilih dua calon atau lebih merupakan metode yang jarang dipakai karena dianggap membingungkan pemilih, meskipun pemilihan ini meningkatkan kualitas keterwakilan.
Memilih partai memudahkan pemilih tapi memperkuat partai. Sedangkan memilih partai dan calon adalah kombinasi untuk memberi opsi kepada pemilih. Jika percaya partai, silakan memilih partai; jika percaya partai dan calon, bisa memilih calon yang diajukan partai.
Ambang batas perwakilan (threshold) adalah batas minimal raihan suara partai politik untuk bisa merebut kursi parlemen. Variabel ini diterapkan setelah semua suara dihitung secara nasional.
Secara matematika ambang batas suara untuk mendapatkan kursi sebetulnya bisa dihitung dengan rumus matematika. Misalnya, pada daerah pemilihan berkursi tunggal atau satu kursi, ambang batasnya adalah 50 persen suara, sedangkan daerah pemilihan dengan 4 kursi ambang batasnya adalah 15 persen suara.
Jika ambang batas suara meraih kursi di daerah pemilihan bisa diketahui dengan rumus matematika, untuk membatasi jumlah partai yang masuk parlemen tidak terlalu banyak, maka partai yang raihan suaranya tidak signifikan disaring melalui ambang batas suara nasional.
Meskipun dengan menggunakan rumus proporsionalitas ambang batas suara nasional bisa dihitung, namun pembuat undang-undang biasanya secara semena-mena menetapkan besaran persentase ambang batas suara tersebut: 1 persen, 2 persen, 3 persen, 4 persen, dan seterusnya.
Dengan adanya ambang batas perwakilan ini, maka meskipun partai mendapatkan kursi pada hitungan di daerah pemilihan, namun apabila raihan suara secara nasional tidak mencapai ambang batas perwakilan yang ditentukan, maka kursi tersebut hilang atau jatuh ke partai lain.
Sebab, begitu diketahui raihan suara partai tidak melampaui ambang batas perwakilan yang ditentukan undang-undang, maka partai itu tidak disertakan dalam penghitungan perolehan kursi di semua daerah pemilihan.
Formula perolehan kursi dan penetapan calon terpilih (electoral formula) adalah rumus untuk menentukan pemenang dalam perebutan kursi. Formula ini sangat tergantung pada besaran daerah pemilihan.
Pada daerah pemilihan berkursi tunggal berlaku formula mayoritas. Formula ini terbagi dalam dua jenis. Pertama, mayoritas mutlak (absolute majority) dengan rumus A>B+C+D+E, di mana A pemenang. Kedua, mayoritas sederhana (simple majority), dengan rumus A>B>C>D>E di mana pemenang A.
Pada formula mayoritas mutlak, rumus A>B+C+D+E itu berarti pemenang meraih suara lebih dari 50 persen. Jika tidak ada pemenang yang meraih suara lebih dari 50 persen, maka dilakukan pemilihan putaran kedua yang menyertakan peraih suara terbanyak pertama dan kedua.
Pada besaran daerah pemilihan tunggal, calon (baik diajukan partai politik atau mengajukan dirinya sendiri) yang meraih suara terbanyak dengan sendirinya ditetapkan sebagai calon terpilih.
Sementara itu, pada daerah pemilihan berkursi jamak (dua kursi atau lebih), berlaku formula proporsional. Formula ini memastikan bahwa perolehan kursi dihitung secara proporsional sesuai dengan raihan suara. Maksudnya kalau partai meraih 30 persen suara maka partai tersebut mestinya juga meraih 30 persen kursi.
Banyak ahli pemilu mengajukan rumus perolehan kursi secara proporsional. Namun secara umum dikenal dua formula, yakni formula kuota dan formula divisor.
Terdapat dua formula kuota yang paling dikenal, yaitu Formula Hare dan Formula Droop. Dua formula ini menghitung kursi secara bertahap; tahap pertama kursi utuh, dan tahap kedua kursi sisa.
Rumus Formula Hare adalah jumlah suara partai (vp) dibagi jumlah suara sah (vt) dikalikan jumlah kursi (s). Sedangkan Formula Droop adalah jumlah suara partai (vp) dibagi jumlah suara sah (vt) dikali jumlah kursi plus satu (s+1).
Sementara itu juga terdapat dua formula divisor yang terkenal, yaitu Formula d’Hont dan Formula St Lague atau Webster.
Rumus formula divisor adalah suara partai politik dibagi bilangan pembagi tertentu, lalu bilangan hasil bagi tersebut di-ranking: bilangan paling besar ranking pertama berarti kursi pertama, bilangan paling besar ranking kedua berarti kursi kedua, demikian seterusnya.
Bedanya, Formula d’Hont menggunakan bilangan pembagi 1, 2, 3, 4 dst, sedangkan Formula St Lague atau Webster menggunakan bilangan ganjil sebagai pembagi 1, 3, 5, 7, dan seterusnya.
Setelah perolehan kursi partai dihitung dengan menggunakan formula tersebut (tentu undang-undang memilih salah satu dari berbagai formula tersebut), maka langkah berikutnya adalah menentukan calon terpilih.
Pada daerah pemilihan berkursi tunggal, maka pemenang otomatis ditetapkan sebagai calon terpilih. Sementara pada daerah pemilihan berkursi jamak (dua atau lebih) berlaku dua metode penetapan calon terpilih sesuai dengan metode pencalonan dan metode pemberian suara.
Jika partai mengajukan daftar calon secara terbuka dan pemilih dipersilakan memilih salah satu calon, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak. Namun jika partai mengajukan daftar calon secara tertutup dan pemilih hanya memilih partai, maka calon terpilih ditetapkan berdasar nomor urut.
Nah, setelah mengetahui bagaimana setiap variabel teknis pemilu bekerja dalam mempengaruhi konversi suara menjadi kursi, maka secara garis besar bisa dipetakan bahwa hubungan antarvariabel tersebut menghasilkan dua jenis sistem pemilu: mayoritarian dan proporsional.
Sistem pemilu mayoritarian adalah kombinasi besaran daerah pemilihan tunggal dengan formula perolehan kursi dan penetapan calon terpilihnya menggunakan formula mayoritas. Sedang sistem pemilu proposional adalah kombinasi besaran daerah pemilihan jamak (dua kursi atau lebih) dengan formula perolehan kursi dan penetapan calon terpilihnya menggunakan formula proporsional.
Selanjutnya, dalam sistem pemilu proporsional, kombinasi antara variabel metode pencalonan, metode pemberian suara, dan formula penetapan calon terpilih menghasilkan sistem pemilu proporsional daftar terbuka dan sistem pemilu proporsional daftar tertutup.
Sistem proporsional daftar tertutup menggunakan daftar calon yang disusun berdasarkan nomor urut, pemilih memilih partai politik, dan calon ditetapkan berdasarkan nomor urut. Sedangkan sistem proporsional daftar terbuka menggunakan daftar calon yang disusun berdasarkan abjad atau undian, pemilih memilih calon, dan calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak.
Didik Supriyanto, peminat ilmu kepemiluan.
Artikel opini ini telah dipublikasi oleh Detik.com, pada 10 Februari 2020.