August 8, 2024

Politik Uang vs Budaya Hukum

Survei yang dilakukan Polling Center bersama The Asia Foundation pada 2017 menujukkan, masyarakat cenderung sangat permisif dengan politik uang. Bahkan sebanyak 59 persen responden menilai politik uang adalah rezeki. Singkatnya, jika masyarakat kelas menengah-bawah masih berkutat pada persoalan untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam kelangsungan hidup maka selama itu pola praktik politik uang akan selalu diterima sebagai rezeki. Di sisi lain, para kandidat calon, menjadikan masyarakat menengah-bawah sebagai objek politik uang.

Sejumlah fakta di daerah menggambarkan kuatnya politik uang. Di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, empat anggota tim sukses pasangan calon membagi uang berjumlah Rp 372,8 juta ke calon pemilih di enam belas desa. Di Pati, Jawa Tengah, ribuan amplop berisi uang Rp 15 ribu telah disita dari 12 kecamatan. Di Pangkalpinang, Bangka Belitung, modus politik uang berupa pembagian beras. Di Kulonprogo, DIY, politik uang dilakukan dengan modus pemberian kalender, biskuit, dan uang (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi,04/14/2017).

Soal pilkada langsung/tak langsung?

Fakta maraknya politik uang dalam pilkada langsung memungkinkan kita kembali pada perdebatan pilkada langsung/tak langsung. Sebelumnya, ada pemahaman bahwa pemilihan kepala daerah melalui DPRD menyertakan politik uang untuk mengkondisikan para dewan memilih calon tertentu. Ternyata, implementasi pilkada langsung berdasar UU 32/2004 hingga UU 10/2016 tidak menjadikan secara mutatis mutandis persoalan politik uang terhenti.

Praktik politik uang dari 2005 ke 2018 dalam pilkada langsung, lahirkan serangan balik. Pilkada tak langsung terus memungkinkan dibahas menggantikan pilkada langsung salah satunya beralasan untuk mengatasi politik uang secara sistemik.

Rancang-bangun hasil amendemen UUD NRI 1945 tahun 2000 dalam Pasal 18 ayat (4) menormakan kepada daerah “dipilih secara demokratis”. Konsekuensi logis dari frase dipilih secara demokratis paling tidak dapat dilacak dalam ratio decidendi putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013, di mana makna frasa dipilih secara demokratis melahirkan dua konsep sistem pemilihan kepala daerah (pilkada). Pertama, dapat dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat. Kedua, dapat dilakukan pemilihan tidak langsung melalui DPRD.

Apabila ditelusuri dengan menggunakan interpretasi original intent, lahirnya kata “demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 karena adanya dua barisan kelompok besar dengan pendapat yang berbeda mengenai format pilkada pasca-Reformasi yang akan dijalankan. Kelompok pertama, menghendaki pilkada dilakukan oleh DPRD. Kelompok kedua, menghendaki pilkada tidak langsung (Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Edisi Revisi, Buku V Pemilihan Umum, 2010).

Kata “demokratis” digunakan untuk menghindari deadlock amendemen UUD NRI 1945 dalam suasana Reformasi. Dalam aspek ketatanegaraan, implikasi yuridis penggunaan kata “demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 menjadikan ketentuan aturan pilkada sebagai opened legal policy dari pembentuk undang-undang yang sewaktu-waktu dapat berubah tergantung pada rezim yang berkuasa. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah baik dipilih langsung oleh rakyat maupun dipilih tidak langsung melalui DPRD pada prinsipnya memiliki dasar konstitusional yang sama-sama masuk kategori sistem demokratis sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945.

Budaya hukum

Perubahan sistem pemilihan, apapun itu, harus menyertakan budaya hukum dalam implementasinya. Budaya hukum yang belum cukup mengakibatkan substansi dan struktur hukum tak bekerja dalam penegakannya.

Menumbuhkan budaya hukum tentu tidak seperti membalikan telapak tangan. Dibutuhkan proses waktu dan komitmen yang gigih serta upaya nyata dari KPU dan Bawaslu dalam menumbuhkan budaya hukum dalam pendidikan politik. Tanggungjawab ini pun dimiliki partai politik. Sebagai penyuplai anggota ke kekuasaan legislatif, budaya hukum penting ditumbuhkan oleh partai politik dalam ikatan komunikasinya terhadap rakyat sebagai konstituen.

Budaya hukum yang tumbuh dari pendidikan politik akan menguatkan posisi rakyat sebagai pemilih. Dengan pemahaman hukum dan politik, pemilih akan lebih menjadi subjek sehingga posisinya tak rentan dijadikan objek politik uang.

Berdemokrasi pun membutuhkan kesabaran. Amerika Serikat yang sering sebagai mother of democracy pun membutuhkan waktu ratusan tahun dalam menumbuhkembangkan budaya hukum.

Belakangan pemerintah pusat dan daerah menekankan pentingnya meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatan investasi. Sepemahaman penulis, investasi yang sehat membutuhkan hukum yang sehat. Tak akan ada investasi yang meningkat bila budaya hukum kita rendah. []

M. REZKY HABIBI R.

Mahasiswa Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Demokrasi (Pusdikrasi)