Daerah pemilihan adalah wilayah perebutan suara dan kursi. Di dalam wilayah daerah pemilihan terdapat sejumlah penduduk. Jumlah penduduk ini menentukan jumlah kursi perwakilan yang tersedia di daerah pemilihan. Jadi kursi itu mewakili penduduk, meski hanya sekitar 70% penduduk yang memiliki hak memberikan suara. Sebab, kanak-kanak tidak ikut memilih.
Jumlah kursi perwakilan yang tersedia di daerah pemilihan menentukan sistem pemilu. Jika daerah pemilihan berkursi tunggal (1 kursi), maka menggunakan sistem pemilu mayoritarian; sedangkan jika daerah pemilihan berkursi jamak (2 atau lebih kursi), maka menggunakan sistem pemilu proporsional.
Misalkan Negara A yang memiliki 50 juta penduduk menetapkan 500 kursi parlemen. Jika Negara A menggunakan sistem pemilu mayoritarian, maka terdapat 500 daerah pemilihan. Sedangkan jika Negara A menggunakan sistem pemilu proporsional jumlah daerah pemilihan bervariasi, bergantung ketentuan jumlah kursi minimal dan maksimal yang disediakan di setiap daerah pemilihan. Katakanlah dirata-rata 10 kursi di setiap daerah pemilihan, maka terdapat 50 daerah pemilih.
Membicarakan daerah pemilihan berarti membicarakan dua hal: luas wilayah dan jumlah penduduk. Keduanya atau salah satu bisa berubah. Perubahan bisa terjadi karena jumlah total kursi perwakilan berubah. Jika jumlah total kursi perwakilan tetap, namun terjadi perubahan demografi (baik karena kelahiran, kematian, maupun perpindahan penduduk), maka bisa mengubah daerah pemilihan. Di sinilah masalahnya, apakah setiap kali pemilu daerah pemilihan diubah?
Demi menjaga hubungan konstituen dengan wakilnya, daerah pemilihan tidak boleh diubah setiap kali pemilu. Namun dalam kurun waktu tertentu pasti terjadi perubahan demografi, maka daerah pemilihan tidak bisa mengabaikannya. Oleh karena itu, lazimnya daerah pemilihan dievaluasi minimal setiap dua kali pemilu. Di banyak negara evaluasi itu dilakukan sejalan dengan sensus penduduk yang dilakukan setiap 10 tahun sekali.
Mengapa sensus penduduk menjadi dasar evaluasi daerah pemilihan? Jawabnya jelas, karena hasil sensus penduduk menunjukkan adanya perubahan demografi dalam 10 tahun terakhir. Perubahan demografi ini tentu bisa berdampak kepada perubahan daerah pemilihan, meskipun jumlah total kursi parlemen tetap.
Misalnya, Provinsi B ditetapkan memiliki 100 kursi untuk mewakili 10 juta penduduk, yang berarti 1 kursi mewakili 100 ribu penduduk. Daerah Pemilihan B-1 didiami 1,1 juta penduduk sehingga memiliki 11 kursi. Setelah hasil sensus diumumkan, ternyata jumlah penduduk di Daerah Pemilihan A-1 bertambah menjadi 1,2 juta. Dengan asumsi jumlah penduduk seluruh negara tidak berubah, apabila jumlah kursi perwakilan tetap 100, maka kursi di Daerah Pemilihan A-1 mesti bertambah jadi 12.
Bagaimana UU No 7/2017 mengatur pembentukan daerah pemilihan pemilu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota?
Pasal 186 UU No 7/2017 menetapkan jumlah kursi DPR 575. Lalu Pasal 187 mengatur pembentukan daerah pemilihan: pertama, jumlah kursi setiap daerah pemilihan 3-10; kedua, wilayah daerah pemilihan DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, gabungan kabupaten/kota, atau bagian kabupaten/kota. Namun dua ketentuan tersebut tak berarti sama sekali karena pasal ini menetapkan daerah pemilih DPR sebagaimana terdapat dalam Lampiran III undang-undang.
Masih di Pasal 187, ayat (4) menyatakan, “Penentuan daerah pemilihan anggota DPR dilakukan dengan mengubah ketentuan daerah pemilihan pada Pemilu terakhir berdasarkan perubahan jumlah alokasi kursi, penataan daerah pemilihan, dan perkembangan data daerah pemilihan.” Tidak begitu jelas apa maksud ketentuan ini. Rasanya tidak salah jika disimpulkan, bahwa daerah pemilihan DPR bisa diubah setiap kali pemilu.
Pengaturan daerah pemilihan DPRD provinsi kurang lebih juga sama dengan pengaturan daerah pemilihan DPR. Pasal 188 menetapkan jumlah kursi DPRD provinsi antara 35 sampai 120 bergantung pada jumlah penduduk. Kriteria jumlah penduduk untuk menentukan jumlah kursi DPRD provinsi di setiap provinsi ditentukan oleh pasal ini.
Selanjutnya Pasal 189 mengatur: pertama, jumlah kursi setiap daerah pemilihan DPRD provinsi adalah 3-12; kedua, wilayah daerah pemilihan DPRD provinsi adalah kabupaten/kota, gabungan kabupaten/kota, atau bagian kabupaten/kota. Berdasar ketentuan ini, UU No 7/2017 langsung mengunci sendiri dengan menetapkan daerah pemilihan DPRD provinsi di setiap provinsi sebagaimana tersebut pada Lampiran IV undang-undang.
Tidak ada ketentuan kapan dan bagaimana daerah pemilihan DPRD provinsi dievaluasi dan ditata ulang. Namun jika mengacu pada pengaturan daerah pemilihan DPR, maka daerah pemilihan DPRD provinsi bisa saja dievaluasi dan ditata ulang setiap kali menjelang pemilu.
Bagaimana dengan pengaturan daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota? Menurut Pasal 191 UU No 7/2017 jumlah kursi DPRD kabupaten/kota 20-55 sesuai jumlah penduduk. Selanjutnya pasal ini mengatur kriteria jumlah penduduk untuk menetapkan jumlah kursi DPRD kabupaten/kota. Pasal 192 mengatur: pertama, daerah pemilihan kabupaten/kota memiliki 3-12 kursi; kedua, wilayah daerah pemilihan kabupaten/kota adalah kecamatan, gabungan kecamatan atau bagian kecamatan.
Berbeda dengan daerah pemilihan DPR dan DPRD provinsi, UU No 7/2017 tidak menyertakan lampiran daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota di setiap kabupaten/kota. Undang-undang menyerahkan kepada KPU untuk mengatur dan membentuk daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota di setiap kabupaten/kota. Namun undang-undang ini juga tidak mengatur kapan dan bagaimana daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota dievaluasi dan ditata ulang.
Tentang basis data penduduk untuk membentuk daerah pemilihan DPR dan DPRD provinsi sebagaimana terdapat pada Lampiran III dan Lampiran IV undang-undang, UU No 7/2017 tidak menyebutkannya. Namun jika mengacu pada UU No 8/2012, data yang digunakan untuk membentuk daerah pemilihan DPR dan DPRD provinsi adalah data agregat kependudukan per kecamatan (DAKK) dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Oleh karena itu, dalam membentuk daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota, KPU juga menggunakan DAKK dari Kemendagri.
DAKK dioleh dari data kependudukan dalam sistem administrasi kependudukan yang disusun berdasarkan Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU No 23/2006). Menurut Pasal 3 undang-undang ini setiap penduduk wajib melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya kepada instansi pelaksana (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang ada di setiap kabupaten/kota) dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan. Tujuannya tentu saja agar status dan keberadaanya penduduk diketahui.
Yang dimaksud dengan peristiwa kependudukan diatur Pasal 1 nomor 11 UU No 26/2003. “Peristiwa Kependudukan adalah kejadian yang dialami Penduduk yang harus dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan/atau surat keterangan kependudukan lainnya meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap.”
Sedangkan yang dimaksud dengan peristiwa penting ditentukan oleh Pasal 1 huruf 17. “Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkahwinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.”
Nah, pertanyaannya apakah setiap penduduk yang mengalami peristiwa kependudukan dan peristiwa penting sebagaimana diatur oleh UU No 23/2006 segera melapor ke kantor catatan sipil terdekat? Jawabnya tidak!
Sebagian besar penduduk memang memenuhi perintah tersebut, tetapi tidak setiap penduduk. Banyak alasan mengapa ada penduduk yang tidak segera melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya. Apalagi, undang-undang ini tidak memberikan sanksi bagi penduduk yang tidak melapor. Fakta inilah yang menyebabkan mengapa data kependudukan kurang akurat jika digunakan sebagai basis data untuk pembentukan daerah pemilihan.
Akan lebih baik jika data hasil sensus penduduk yang digunakan sebagai basis data untuk pembentukan daerah pemilih. Sebab, sensus penduduk mencatat keberadaan dan status setiap orang. Metode sensus yang terus diperbaiki dari waktu ke waktu menjadikan data hasil sensus semakin akurat. Kenyataannya data hasil sensus digunakan sebagai basis untuk merancang berbagai program pemerintah.
Data hasil sensus penduduk tidak hanya diakui oleh negara atau lembaga-lembaga internasional, tetapi juga digunakan sebagai acuan kegiatan bisnis. Oleh karena itu, mestinya pembuat undang-undang tidak perlu ragu untuk menetapkan bahwa pembentukan daerah pemilihan menggunakan data hasil sensus penduduk.
Jika data hasil sensus penduduk digunakan sebagai dasar pembentukan daerah pemilihan, maka dengan sendirinya evaluasi dan penataan daerah pemilihan dilakukan setiap 10 tahun sekali, atau setiap dua kali pemilu. Ini tidak hanya lazim, tetapi juga lebih rasional daripada membuat ketentuan untuk melakukan evaluasi dan penataan daerah pemilihan setiap menjelang pemilu. Ketentuan ini seakan menasbihkan bahwa undang-undang pemilu harus diubah setiap lima tahun sekali.
Jaminan kepastian bahwa daerah pemilihan dievaluasi dan ditata ulang setiap dua kali pemilu tidak hanya mampu menjaga hubungan konstituen dengan wakil-wakilnya yang duduk di lembaga legislatif, tetapi juga memudahkan partai politik dan kader-kadernya untuk merancang strategi kampanye dalam usaha menarik suara pemilih. Data hasil sensus penduduk yang akurat dan kredibel tentu akan memudahkan pembentukan daerah pemilihan sekaligus menghasilkan daerah pemilihan yang baik. []
DIDIK SUPRIYANTO
Penasihat Yayasan Perludem