August 8, 2024

Kesalahan Peraturan MK Soal Pemohon Kolom Kosong

Mahkamah Konstitusi dalam peraturannya mengatur tentang pihak yang punya kedudukan hukum (legal standing) bagi pemohon dari kolom kosong dalam perselisihan hasil pilkada dengan satu pasangan calon. Tapi, ketentuan yang diatur dalam PMK 5/2020 ini, punya kesalahan mengenai pengertian dari pemohon yang tidak terhubung dengan ketentuan dalam UU Pilkada.

Peraturan MK 5/2020 memuat ketentuan legal standing sebagai Pemohon dalam pilkada bercalon tunggal, yaitu pemantau pemilihan. Pasal 4 ayat (1) d bertuliskan:

“Pemohon dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan adalah: pemantau pemilihan dalam hal hanya terdapat satu pasangan calon.”

Lalu, ayat Pasal 4 (2) bertuliskan penjelasan bahwa, Pemantau Pemilihan yang bertindak sebagai Pemohon dalam perselisihan hasil pilkada yang hanya terdapat satu pasangan calon, adalah Pemantau Pemilihan yang terdaftar dan memperoleh akreditasi dari Bawaslu. Jika konteks pemilihan gubernur-wakil gubernur, maka akreditasi dari Bawaslu provinsi. Jika konteks pemilihan bupati-wakil bupati/walikota-wakil walikota, maka akreditasi dari Bawaslu kabupaten/kota.

Ketentuan PMK 5/2020 Pasal 4 ayat (2) itu tidak sesuai dengan peraturan perundangan-undangan di atasnya, yaitu UU Pilkada. Menurut UU Pilkada, pendaftaran dan akreditasi Pemantau Pemilihan di Pilkada merupakan kewenangan KPU. Akreditasi Pemantau Pemilihan gubernur-wakil gubernur, berasal dari KPU provinsi. Akreditasi Pemantau Pemilihan bupati-wakil bupati/walikota-wakil walikota, berasal dari KPU kabupaten/kota.

UU 10/2016 Pasal 54C bertuliskan pilihan “kolom kosong” pada surat suara pilkada bercalon tunggal. Memang, UU Pilkada ini tak menyertakan ketentuan legal standing bagi pihak yang mau mengatasnamakan kolom kosong untuk mengajukan permohonan perselisihan hasil pilkada dengan satu pasangan calon.

Tapi, UU Pilkada mempunyai ketentuan mengenai pemantau terakreditasi. UU 1/2015 Pasal 89 ayat (7) bertuliskan:

“Pemantauan pemungutan suara dilaksanakan oleh pemantau Pemilihan yang telah diakreditasi oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.”

Lalu UU Pilkada Bab XVII tentang Pemantau, mengatur lebih rinci mengenai pemantau pemilihan. Di antaranya adalah Pasal 123 ayat (3) yang bertuliskan,

“Lembaga pemantau Pemilihan harus memenuhi persyaratan yang meliputi: a. bersifat independen; b. mempunyai sumber dana yang jelas; dan c. terdaftar dan memperoleh akreditasi dari KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan cakupan wilayah pemantauannya.”

Tergambar jelas ketaksesuaian antara PMK dengan UU Pilkada. Ketaksesuaian antara peraturan pelaksana dengan undang-undang yang menjadi acuannya. Hal ini jelas merupakan permasalahan dalam hierarki peraturan perundangan-undangan.

Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 8 UU 12/2011 dengan pemaknannya berkesimpulan bahwa PMK merupakan peraturan perundang-undangan selain yang dimaksud dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Tetapi, PMK 5/2020 merupakan peraturan yang terikat peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam hal ini adalah UU Pilkada.

Dengan keadaan hukum tersebut, para pemangku kepentingan terkait harus menyadari ketaksesuaian pemahaman ini. Mahkamah Konstitusi sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan PMK 5/2020 harus merevisi ketentuan akreditasi pemantau pemilihan sebagai pihak yang mempunyai kedudukan hukum dalam permohonan perselisihan hasil pilkada. KPU dan Bawaslu menyertai pelibatan KPU dan Bawaslu di kabupaten/kota yang berpilkada dengan satu pasangan calon pun harus mengetahui ini dan menyampaikan kebutuhan kepastian hukumnya ke MK.

Berdasar konstitusi, MK merupakan lembaga yang berwenang mengatasi perselisihan kewenangan antarlembaga negara. Tapi, karena PMK 5/2020, MK malah menciptakan perselisihan kewenangan antara KPU dan Bawaslu dalam memberikan akreditasi pemantau pemilihan sebagai pihak pemohon kolom kosong yang berselisih hasil di pilkada dengan satu pasangan calon. []

USEP HASAN SADIKIN