Mahkamah Konstitusi (MK) mempertanyakan kerugian hak konstitusional penyelenggara ad hoc ketika pemilu dilakukan secara serentak dengan model lima kotak seperti di Pemilu 2019. MK mempertanyakan hal tersebut pada sidang perdana uji materi tentang keserentakan pemilu yang diajukan mantan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) pada Pemilu 2019.
“Kerugian konstitusional yang dimohonkan untuk legal standing ini apakah sudah tepat? Saya belum bisa memastikan itu. [Dalam] penyelenggaraan pemilu kan hak konstitusional itu lancarnya hak-hak para pemilih atau hak-hak mereka yang dipilih,” kata Manahan MP Sitompul, hakim MK, saat sidang pendahuluan perkara nomor 16/PUU-XIX/2021 (9/6).
Beban kerja yang dialami pemohon sebagai penyelenggara pemilu ad hoc dinilai belum bisa memperlihatkan bahwa pemohon mengalami kerugian konstitusional. Poin-poin penjelasan kerugian hak konstitusional di dalam permohonan belum merujuk hak-hak warga negara pada pasal-pasal yang tercantum di Undang-undang Dasar.
“Kerugian hak konstitusional itu hak-hak apa dalam Undang-undang Dasar yang pemohon itu dirugikan haknya kalau ini tidak dikabulkan. Harus merujuk pada ketentuan berapa [di dalam Undang-undang Dasar]. Itu harus dicantumkan benar atau tidak benar ada kerugian hak konstitusional,” tegas Saldi Isra, hakim MK, saat memimpin sidang (9/6).
Uji materi tentang keserentakan pemilu ini adalah uji materi kedua setelah pada tahun 2019 Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan permohonan serupa. Bedanya, pada 2019 Perludem mendasarkan gugatannya pada ketidaksinkronan antara tujuan penyerentakan pemilu dengan hasil di lapangan. Sementara gugatan yang diajukan oleh mantan penyelenggara ad hoc ini mendasarkan gugatannya pada beban berat penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak.