August 8, 2024

Surat Suara Tidak Sah Atau Suara Politik Golput?

Menjelang Pemilu Serentak 2024 tanpa revisi Undang-Undang Pemilu, berbagai isu kepemiluan mengemuka. Tanpa revisi UU Pemilu, berbagai masalah pemilu memang akan kembali terulang: beban kerja yang berat, kompleksitas manajemen pemilu, dan isu daerah yang tertutup oleh isu nasional.

Muncul ke permukaan gagasan-gagasan untuk menyederhanakan pemilu. Pemilu harus dipecah menjadi pemilu serentak nasional dan daerah, teknologi informasi mesti dimanfaatkan untuk mengurangi beban kerja penyelenggara, juga desain ulang surat suara. Pekerjaan rumah pembuat undang-undang ditanggung oleh penyelenggara pemilu dan masyarakat sipil yang mesti memutar otak untuk membuat desain pemilu yang rumit menjadi sederhana dalam teknis penyelenggaraan, tanpa bertentangan dengan undang-undang.

Dari banyak isu yang mengemuka, tulisan ini hendak menyoroti masalah surat suara dan kaitannya dengan surat suara tidak sah. Jika banyaknya pemilu menyebabkan pemilih kebingungan, dan hal tersebut sering dinilai sebagai sebab tingginya surat suara tidak sah, pertanyaannya, apakah semua surat suara tidak sah dapat secara langsung diklaim sebagai tanda pemilih tak mengetahui dengan baik cara pemberian suara di lima pemilihan yang dilakukan secara serentak? Bukankah kita juga mengetahui adanya gerakan golput yang diantaranya mengimbau pemilih untuk sengaja merusak surat suara atau membuat surat suara tidak sah sebagai bentuk kritik terhadap pemilu yang tak memberikan ruang bagi partai politik dan kandidat alternatif? Saya adalah salah satu pemilih yang sengaja membuat surat suara saya tidak sah di Pemilihan Presiden dengan mencoblos foto kedua pasangan calon dan logo KPU.

Surat suara tidak sah di PKPU

Menurut Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.3/2019 Pasal 54, surat suara pemilihan presiden dinyatakan sah apabila terdapat tanda coblos pada nomor urut, foto, nama salah satu pasangan calon, tanda gambar partai politik, dan/atau gabungan partai politik pengusung pasangan calon. Dengan demikian, jika tak ada tanda coblosan pada surat suara, atau terdapat coblosan di lebih dari satu kolom pasangan calon, atau coblosan terdapat di bagian lain surat suara (selain di bagian kolom salah satu pasangan calon), maka surat suara menjadi tidak sah.

Masih di PKPU yang sama, pada pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), surat suara sah jika terdapat tanda coblos pada kolom satu calon perseorangan. Jika tak ada coblosan pada calon manapun atau terdapat beberapa coblosan di lebih dari satu pasangan calon, maka surat suara tidak sah.

Di Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPR Daerah (DPRD) Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, surat suara sah apabila terdapat tanda coblos pada nomor atau tanda gambar partai politik dan atau nama calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota di kolom yang sama. Tanda coblos pada dua caleg di partai yang sama juga dinyatakan sah. Atau, tanda coblosan apapun selama berada di satu kolom yang sama, dinyatakan sah untuk partai politik, kecuali surat suara robek.

Surat suara tidak sah dan kurangnya pemahaman penyelenggara pemilu

Selain karena intensi pemilih untuk membuat surat suara tidak sah atau pemilih tidak sengaja membuat suaranya tidak sah, pemahaman penyelenggara pemilu yang kurang terkait pemberian suara yang sah juga dapat menyebabkan surat suara dinilai tidak sah. Hal ini sangat mungkin terjadi ketika Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) tidak mendapatkan bimbingan teknis (bimtek) yang memadai, aturan di panduan bimtek kurang jelas, penerapan cara memilih yang baru, atau petugas TPS yang kurang cermat.

Di Pemilu Serentak 2019 dengan lima jenis surat suara yang mesti dihitung pada satu hari yang sama, kelelahan KPPS bukan tidak mungkin menyebabkan kesalahan dalam penilaian suara sah atau tidak sah. Berdasarkan penuturan mantan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Dimas Permana Hadi, proses penghitungan suara di semua TPS di Kecamatan Ngaglik rata-rata selesai pada pukul 11 hingga 12 malam. Padahal, KPPS telah bekerja sejak subuh hari untuk mempersiapkan TPS. Bahkan, kisah seorang mantan PPK Kecamatan Sukma Jaya, Kota Depok, Jawa Barat, Heri Darmawan, anggota KPPS di Kecamatan Sukma Jaya telah begadang jelang pemungutan suara lantaran mesti mengantre logistik TPS di kecamatan.

Karena berbagai sebab, bisa saja petugas KPPS menganggap bahwa tanda coblos pada garis kolom salah satu pasangan calon tidak sah. Atau, mencoblos bagian manapun di kolom salah satu pasangan calon dan mencoblos logo KPU juga dinilai tidak sah. Padahal, pencoblosan seperti ini masih dinilai sah atau setidaknya tidak dinyatakan tidak sah jika merujuk pada PKPU No.3/2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara di Pemilu 2019.

Kemudian pada Pemilihan DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, bisa jadi petugas KPPS menilai tidak sah surat suara yang terdapat tanda coblos untuk banyak calon di satu partai politik yang sama. Padahal, coblosan demikian sah untuk partai politik. Begitu pula sah untuk partai jika kasusnya ialah terdapat tanda coblos untuk calon yang dinyatakan tidak lagi memenuhi syarat atau meninggal dunia.

Dalam studi mengenai voter suppression, ketidakpahaman petugas pemilihan terhadap aturan suara sah dan tidak sah merupakan salah satu bentuk voter suppression. Sebab, ketidakpahaman tersebut menyebabkan suara pemilih menjadi hilang atau salah termaknai. Celakanya juga, bila pengawas TPS, dan saksi TPS sama-sama kurang memahami. Pemantau pemilu dan masyarakat tak boleh memasuki TPS. Tak ada cukup ruang untuk pemantau pemilu untuk betul-betul melihat mengapa surat suara menjadi tidak sah.

Bisakah kita memisahkan mana surat suara tidak sah karena kebingungan pemilih dan mana yang merupakan bentuk protes politik?

Dalam suatu obrolan di grup Whats App, terjadi diskusi mengenai bagaimana memeriksa surat suara tidak sah yang disengaja dan tidak disengaja. Memeriksa surat suara yang tidak sah di Pemilu 2019 mutlak diperlukan, namun, apakah metode yang digunakan untuk menilai intensi pemilih ialah cukup.

Ada empat kondisi surat suara yang menurut saya bisa menunjukkan bahwa pemilih sengaja membuat surat suaranya tidak sah. Pertama, jika tidak ada coblosan apapun selain pada logo KPU. Kedua, jika terdapat banyak tanda coblosan di banyak kolom partai politik atau seluruh pasangan calon. Ketiga, jika surat suara disobek. Keempat, jika surat suara terdapat coretan atau tulisan oleh alat tulis yang dibawa pemilih. Selebihnya, berbagai kemungkinan bisa terjadi akibat banyaknya jumlah surat suara yang harus dicoblos dan kebingungan pemilih di bilik TPS, seperti surat suara lain tak sengaja ikut tercoblos karena pemilih meletakkan surat suara lain dibawah surat suara yang tengah dibuka.

Melihat data persentase suara tidak sah pada Pemilihan DPR RI, tampaknya faktor tingginya suara tidak sah lebih kepada kebingungan pemilih. Sebab, pada Pemilu 1999, saat sistem proporsional daftar tertutup diterapkan, persentase jumlah suara tidak sah hanya 3,4 persen. Besar persentase meningkat pada Pemilu 2004 dengan sistem proporsional semi terbuka, yaitu 8,8 persen. Meningkat lagi di Pemilu 2009, 2014, dan 2019, dengan persentase suara tidak sah Pemilihan DPR RI terakhir sebanyak 11,1 persen.

Namun, asumsi ini pun masih harus diteliti lebih lanjut sebab masih ada kemungkinan suara protes yang juga meningkat seiring dengan banyaknya konten politik yang dapat ditemukan dengan mudah di media sosial oleh semua orang.

Protes politik melalui surat suara

Ketiadaan pilihan absen atau none of the above di surat suara yang menampung aspirasi politik pemilih yang memutuskan untuk tidak memilih kandidat atau partai politik manapun menyebabkan kekaburan antara ketidaktahuan pemilih akan cara pemberian suara dan protes politik. Selama tak ada fasilitasi tersebut di surat suara, akan selalu terjadi klaim mengenai pilihan sistem pemilihan legislatif yang salah, atau klaim protes politik yang tinggi.

Entah berapa total suara penolakan yang disampaikan melalui surat suara yang dirusak atau tidak sah lantaran Pemilihan Presiden tak menyediakan politik afirmasi apa pun terhadap perempuan, atau kekecewaan terhadap kondisi politik yang dirasa tidak demokratis, atau juga sikap tegas menolak oligarki.

Ketiadaan pilihan di surat suara untuk tidak memilih semua kandidat atau partai politik mestinya dipandang sebagai sesuatu yang kurang demokratis karena tidak menyediakan ruang bagi orang-orang yang memiliki hak pilih dan ingin menggunakan hak pilihnya untuk menyuarakan pendapatnya. Suara tidak memilih di surat suara telah menjadi isu yang dituntut oleh publik sehubungan dengan hak politik yang luas. Fasilitasi suara penolakan terhadap seluruh kandidat dan partai politik telah dilakukan di Yunani, Spanyol, Ukraina, Prancis, Kolombia, negara bagian Nevada di Amerika Serikat, dan India.

Memfasilitasi suara penolakan atau tidak memilih semua kandidat dan partai politik di surat suara akan memberikan dua hal. Pertama, ruang bagi seluruh warga berhak pilih untuk menyampaikan aspirasi politiknya dengan jelas. Kedua, menegaskan jumlah suara tidak sah akibat ketidaktahuan pemilih akan cara memberikan suara (berkaitan dengan kebijakan untuk mengubah sistem pemilu atau desain surat suara dan sosialisasi pemilu), dan protes terhadap partai politik dan pemerintah (berhubungan dengan pembenahan partai politik, demokrasi, dan isu-isu pemerintahan).

 

NURUL AMALIA SALABI

PENELITI PERLUDEM