August 8, 2024

Politik Uang dan Profesionalitas Penyelenggara dalam Perselisihan Hasil Pilkada

Pasca-PSU, tercatat hingga akhir Juni 2021, Mahkamah telah memutus 9 Perkara perselisihan hasil pilkada (PHP). Mayoritas Mahkamah menolaknya. Terdapat dua perkara yang dikabulkan oleh Mahkamah, yakni Labuhan Batu dan Yalimo. Secara umum, pemohon mendalilkan pelanggaran yang tidak berbeda dari PHP Jilid I, seperti politik uang, pelanggaran teknis/administrasi pemilihan, hingga keberpihakan penyelenggara.

Dalam PSU sebelumnya, Mahkamah kerap memerintahkan penggantian penyelenggara. Ini dikarenakan penyebab PSU, biasanya akibat pelanggaran yang sengaja dilakukan petugas. Oleh karenanya, untuk menjamin PSU berjalan dengan baik, Mahkamah sangat berfokus pada personalia penyelenggara.

Profesionalitas Penyelenggara

Fungsi penyelenggara sangat vital dalam pemilihan yang disusun oleh KPU, Bawaslu, DKPP, hingga Sentra Gakkumdu, untuk menjamin prinsip Luber Jurdil. Namun, banyaknya pelanggaran disinyalir akibat tidak optimalnya penyelenggara secara institusional, maupun individunya. Terlihat dari dalil tentang keberpihakan penyelenggara yang tetap muncul.

Pasca-PSU, permohonan PHP Labuhan Batu dapat menjadi contoh. Pemohon mendalilkan pemilih yang menggunakan Kartu Keluarga (KK) sebagai identitas. Mahkamah kemudian menyatakan bahwa KK tidak sah digunakan sebagai bukti identitas pemilih.

MK juga menyoroti inkonsistensi PKPU 3/2019 yang mengizinkan penggunaan KK sebagai identitas pemilih. MK menyatakan PKPU tersebut bertentangan dengan UU 1/2015. Secara substantif, penggunaan KK juga berbahaya karena rawan disalahgunakan untuk penggelembungan suara.

Selain itu, terdapat dua permohononan yang mendalilkan keberpihakan penyelenggara. Memang Mahkamah menolak seluruhnya, dengan menyandarkan sikapnya pada pembuktian dan pernyataan Bawaslu. Namun, independensi dan profesionalitas penyelenggara perlu jadi perhatian.

Dalil-dalil sejenis, sering muncul di permohonan PHP. Artinya, isu keberpihakan penyelenggara masih belum selesai. Main mata penyelenggara dan paslon, terutama petahana, disinyalir masih sering terjadi. Ini bermuara pada pelanggaran lainnya seperti politik uang, penyalahgunaan bansos, netralitas ASN, hingga pelanggaran teknis pemilihan.

Dalil Politik Uang

Salah satu dalil yang sering muncul di PHP adalah pelanggaran politik uang. Fenomena politik uang terjadi akibat partai politik dan para kandidat jauh dari akar rumput. Mereka juga tidak memiliki identitas yang jelas secara ideologis ataupun visi politik. Partai politik bahkan bertransformasi menjadi perahu bagi segelintir orang, dengan menghilangkan ide, dan paradigma politik filosofis seperti masa Orde Lama (Feith & Castle, 1970). Tercerabutnya politisi dan partai politik dari akar rumput, memaksa mereka menarik simpati pemilih dengan uang. Politik uang juga berdampak pada politik berbiaya tinggi.

Ironisnya, para kandidat acapkali bersekongkol dengan pihak yang memiliki kepentingan buruk untuk pendanaan politiknya. Mereka mencari sumber-sumber pendanaan yang kuat dan membangun jaringan dengan pihak-pihak yang memiliki kekuatan finansial. Para kandidat dianggap dapat menjamin kepentingan klien atau donatur mereka. Menurut Falguera, dampaknya adalah politisi yang memiliki kekuasaan membentuk kebijakan atau regulasi, bekerja dan menguntungkan donatur bukan untuk rakyat (Falguera et.al, 2014). Oleh karenanya, akibat politik uang, fungsi pilkada yang harusnya menjadi sarana masyarakat untuk menghukum para elit politik, malah  berbalik merugikan masyarakat itu sendiri.

Pelanggaran politik uang memerlukan perhatian lebih, terutama soal penanganannya. Namun, nyatanya pelanggaran politik uang sangat sulit untuk dilaporkan dan dibuktikan. Bila melihat dalil politik uang di PHP, mayoritas sebetulnya sudah dilaporkan kepada Bawaslu daerah masing-masing. Sayangnya, Bawaslu lebih banyak mengatakan laporan tidak memenuhi syarat materiil dan/atau syarat formil, atau laporan tidak memenuhi unsur pelanggaran.

Pada PHP Jilid II Mandailing Natal misalnya, Bawaslu menyatakan laporan pelanggaran politik uang tidak memenuhi syarat materiil. Kemudian pada PSU Rokan Hulu, terhadap dalil politik uang, Bawaslu menyebutkan alat bukti yang minim dan fakta hukum yang tidak sesuai dengan keterangan yang diberikan. Terakhir di Halmahera Utara, Bawaslu menyatakan terhadap laporan pelanggaran politik uang sudah dilakukan penelusuran, dan dinyatakan dugaan tersebut bukan merupakan pelanggaran pemilihan.

Terhadap dalil politik uang, sikap Mahkamah konsisten untuk menolak dan putusannya seolah memiliki pola. Misalkan Putusan MK No. 143/PHP.BUP-XIX/2021 perihal PHP Kada Halmahera Utara. Pada Paragraf [3.14.1], Mahkamah lebih banyak melihat pembuktian Bawaslu, termasuk Berita Acara Pleno Nomor 6/BA.Pleno-/PILKADA/PSU/HU/IV/2021. Selain itu, berdasarkan penelusuran lanjutan Bawaslu, memutuskan laporan tersebut bukan pelanggaran Pilkada.

Bila diperhatikan lebih jauh paragraf tersebut, Berita Acara Bawaslu dan keterangan pihak terkait menjadi pertimbangan yang determinan. Keduanya jelas disebut oleh Mahkamah dan tidak terlihat bukti-bukti yang diajukan pemohon disebutkan pada paragraf yang sama. Dapat disimpulkan, Mahkamah acapkali menyandarkan sikapnya pada pernyataan Bawaslu semata dan pembuktian dari pemohon kesannya tidak banyak digubris. Padahal, persidangan terikat asas audi et alteram partem. Artinya hakim harus mendengarkan seluruh pihak dan semua yang disampaikan memiliki derajat yang setara, serta sama menentukannya. Dengan fakta tersebut, dalil politik uang menjadi sulit dibuktikan.

Paradigma MK

Persoalan politik uang juga diperumit oleh sakleknya paradigma Hakim Konstitusi. Nomenklatur “Perselisihan Hasil” dalam wewenang MK, membuat Mahkamah hanya mememeriksa dalil-dalil yang berpengaruh langsung terhadap hasil suara. Terlihat pada PHP Jilid I, semua perintah PSU hanya disebabkan pelanggaran-pelanggaran seperti penggunaan KK, perusakan suara, syarat pencalonan kandidat, atau manipulasi suara di tingkat TPS. Bahkan pasca-PSU, permohonan yang dikabulkan karena mendalilkan pelanggaran sejenis.

Sikap Mahkamah kerapkali menganggap politik uang tidak mempengaruhi perolehan suara. Misalnya pendapat MK Pada Putusan MK No. 139/PHP.BUP-XIX/2021 perihal PHP Kada Kabupaten Mandailing Natal. Pada Paragraf [3.12.3] bagian Pertimbangan Hukum, Mahkamah menyebut tidak mendapat bukti yang meyakikan bahwa dugaan politik uang tersebut berhubungan dengan perolehan suara. Padahal, politik uang merupakan ancaman terhadap kesakralan pilkada, sehingga berdampak pada seluruh aspek pilkada, termasuk perolehan suara.

Sebetulnya MK pernah mengabulkan dalil politik uang pada PHP untuk Pilkada Kotawaringin Barat 2010. Pemohon mendalilkan adanya pelanggaran politik uang, beserta intimidasi dan teror sejenis. Dalam pertimbangannya, Mahkamah meneliti seluruh bukti yang diajukan para pihak, hingga pernyataan tiap saksi pemohon yang jumlahnya 68 orang. Pada Paragraf [3.25] Putusan MK No. 45/PHPU.D-VIII/2010, Mahkamah menyebutkan laporan tindak pidana politik uang yang sudah diajukan ke Polres sudah banyak, namun belum ditindaklanjuti. Karena pemohon juga mengajukan bukti yang meyakinkan, Mahkamah kemudian menyatakan terdapat pelanggaran politik uang yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.

Progresivitas Mahkamah

Pasca-Putusan MK No. 45/PHPU.D-VIII/2010, banyak yang menganggap MK menyatakan terjadi politik uang secara sepihak (Noorwahidah, 2011). MK dianggap tidak memiliki kompetensi untuk mengadili pelanggaran politik uang.

Namun ada beberapa alasan kuat, mengapa MK memiliki kewenangan untuk memutus pelanggaran politik uang. Misalnya, MK berwenang memutus perselisihan hasil pemilu, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi perolehan suara. Alasan lainnya, selain bukti pemohon yang kuat, laporan pelanggaran politik uang juga belum diproses hingga penetapan hasil oleh KPU (Noorwahidah, 2011).

Anggapan-anggapan tadi tidak digubris. MK bahkan mendiskualifikasi paslon lawan yang terbukti di persidangan melakukan politik uang, sesuatu yang agaknya mustahil kita lihat hari ini.

Progresivitas MK waktu itu kemudian menjadi buah bibir. Adalah Mahfud MD yang kala itu memimpin MK, bahkan sempat disebut sebagai judicial heroes (Hendrianto, 2018).

Harusnya, semangat ini yang juga dibawa oleh MK era sekarang. Paradigma soal perselisihan hasil harus melihat pelanggaran politik uang, sebagai ancaman demokrasi, terutama dalam konteks elektoral. Artinya, politik uang akan mempengaruhi perolehan suara baik langsung maupun tidak langsung. Dengan paradigma ini, kita selangkah lebih maju dalam pemberantasan politik uang dan membersihkan demokrasi dari tumor-tumor ganasnya. []

KAHFI ADLAN HAFIZ

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)