November 27, 2024

Pemilu Serentak yang Mana?

Secara akademis, konsep pemilu serentak hanya berlaku dalam sistem pemerintahan presidensial. Inti konsep itu adalah menggabungkan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dalam satu hari H pemilihan. Tujuannya untuk menciptakan pemerintahan hasil pemilu yang kongruen. Maksudnya, terpilihnya pejabat eksekutif yang mendapatkan dukungan legislatif sehingga pemerintahan stabil dan efektif.

Dalam sistem pemerintahan parlementer, tidak perlu pemilu serentak, karena sekali pemilu, sudah memilih anggota legislatif sekaligus pejabat eksekutif. Sebab, partai politik atau koalisi partai politik yang menang pemilu atau menguasai mayoritas kursi parlemen, berhak menunjuk perdana menteri beserta pejabat eksekutif lainnya.

Meskipun sistem pemerintahan presidensial menerapkan periode kekuasaan pasti (fix system), dan sistem pemerintahan parlementar sewaktu-waktu bisa bubar akibat eksekutif tidak lagi mendapat dukungan parlemen, namun sejarah menunjukkan justru sistem pemerintahan parlementer lebih stabil dan efektif daripada sistem pemerintahan presidensial. Sebabnya jelas, eksekutif mendapat dukungan legislatif.

Stabilitas dan Efektivitas

Stabilitas dan efektivitas pemerintahan pascapemilu inilah yang menjadi dasar pelaksanaan pemilu serentak (Mark Pyane dkk, 2002). Konsep dan desain ini lahir berdasarkan pengalaman negara-negara Amerika Latin yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial, tetapi justru pemerintahan tidak stabil akibat pertikaian antara presiden terpilih dengan parlemen yang mayoritas anggotanya tidak berasal dari partai presiden atau partai koalisi pendukung presiden.

Pemilu serentak mulai diterapkan di Brasil sejak awal 1994 dan berhasil menstabilkan dan mengefektifkan pemerintahan, sehingga dalam kurun 15 tahun kemudian, Brasil menjadi kekuatan ekonomi dunia. Sukses Brasil kemudian diiukuti oleh negara-negara lain di kawasan itu, sehingga pemilu serentak berhasil mematahkan tesis Scot Mainwaring (1993), bahwa sistem pemerintahan presidensial tidak kompatebel dengan sistem multipartai dengan pemilu proporsionalnya.

Mengapa pemilu serentak yang menggabungkan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif berhasil menciptakan legislatif dan eksekutif yang kongruen? Shugart (1996) bilang, pemilu serentak menimbulkan coattail effect, di mana keterpilihan calon presiden akan mempengaruhi keterpilihan calon anggota legislatif. Maksudnya, setelah memilih calon presiden, pemilih cenderung memilih partai politik atau koalisi partai politik yang mencalonkan presiden yang dipilihnya.

Efisensi dan Jadwal

Perdebatan pemilu serentak di Indonesia belakangan ini, tidak mendasarkan pada konsep dan desain pemilu serentak sebagai rekayasa untuk menciptakan pemerintahn stabil dan efektif. Yang menjadi pijakan adalah efisiensi biaya. Oleh karena itu muncul beberapa varian pemilu serentak: pemilu serentak total nasional, pemilu legislatif dan pemilu eksekutif; pemilu legislatif, pemilu presiden, pilkada; pemilu legislatif, pemilu presiden, pilkada gelombang pertama, pilkada gelombang kedua, dst.

Bahwa pemilu serentak akan menghemat biaya, tidak perlu dipertanyakan lagi. Lebih dari 65% biaya pemilu digunakan untuk membayar honor petugas pemilu: anggota KPU dan Bawaslu beserta jajarannya sampai di desa/kelurhaan dan TPS. Honor petugas dibayar berdasarkan pergelaran pemilu, bukan berdasarkan bobot pekerjaan, sehingga semakin banyak pemilu digelar semakin besar biaya yang dikeluarkan.

Soal kedua yang diributkan adalah bagaimana menata ulang jadwal pilkada yang berserakan agar kekosongan masa jabatan kepala daerah tidak menimbulkan instabilitas politik lokal. Sesungguhnya, instabilitas politik lokal bisa terjadi apabila kekosongan masa jabatan kepala daerah itu tidak didesain sebelumnya. Namun jika sedari awal sudah direncanakan dan diumumkan, maka kekosongan masa jabatan kepala daerah akibat penataan jadwal pilkada tidak perlu dikhawatirkan. Pengalaman menunda pemilihan kepala daerah dari 2004 ke 2005, membuktikan hal itu.

Jadi, janganlah menganggap bodoh elit lokal atas kepentingan politik nasional. Yang penting pastikan jadwal pilkada dan mekenisme pengangkatan pejabat sementara kepala daerah. Jika demikain masalah memperpanajng dan memperpendak masa jabatan, demi menyerentakkan jadwal pemilu, akan mudah dilakukan.

Nah, yang jadi pertanyaan sekarang adalah, apakah kita hendak menjadikan pemilu serentak sebagai rekayasa untuk membentuk pemerintahan yang stabil dan efektif, atau sekadar untuk menghemat biaya. Jika pilihan pertama yang kita ambil, maka rekayasa ini membutuhkan pengertian dan pengorbanan banyak pihak, khususnya partai politik sebagai pelaku utama pemilu.

Namun jika hanya pilihan kedua yang kita ambil, tinggal hitung dan simulasikan. Toh, kita sudah terbiasa menganggap pemilu sebagai proyek! []

DIDIK SUPRIYANTO
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)