Berbicara tentang pendidikan politik maka kita akan melihat salah satu serangkaian aktivitas yang terdengar asing jika tidak bisa dibilang mengerikan di telinga masyarakat awam. Bagaimana tidak? Ketika mendengar kata politik saja masyarakat sudah merasa jengah, yang terbayang adalah partai politik, korupsi, permainan kotor dan kekuasaan. Tidak heran jika para ahli politik membayangkan pada Pemilu 2014 angka golongan putih (golput) akan mengalami kenaikan signifikan karena masyarakat terutama sudah tidak percaya terhadap partai politik dan pejabat publik.
Sebelumnya jika dilihat dari angka golput pemilu legislatif mulai dari 1955 hingga 2009 maka dapat terlihat kecenderungan yang terus meningkat secara signifikan. Mulai dari 6,67% pada tahun 1955 hingga 39,22% pada tahun 2009 (Jurnal Perempuan, No. 63 Tahun 2009). Untuk persentase jumlah golput pada Pemilu Presiden secara langsung sejak 2004 dan 2009 juga mengalami kenaikan signifikan, pada tahun 2004 putaran 1 angka golput sebesar 21, 77%, putaran kedua sebesar 23, 37% dan pada pemilu 2009 angka golput mencapai 27,40%.
Direktur Center for Election and Political Party (CEPP-Universitas Indonesia), Reni C. Suwarso bahkan memprediksi, angka golput pasti meroket hingga bisa mencapai dua kali lipat dari tahun 2009, apalagi hampir 30 persen pemilih adalah pemilih muda. 17 sampai dengan 29 tahun, yang mayoritas educated, kritis, urban, tersentuh teknologi, dan apatis terhadap pemilu (rumahpemilu.org/20 Mei 2013).
Salah satu penyebab tingginya angka golput ini adalah karena hampir seluruh partai politik besar terlibat kasus korupsi di KPK. Sebagai contoh sebut saja Partai Demokrat, Golkar, PDIP, sampai Partai Keadilan Sejahtera (PKS) semuanya terjerat oleh KPK dalam kasus korupsi sehingga ini akan berdampak pada Pemilu 2014. Korupsi tersebut dilakukan oleh berbagai aktor di eksekutif dan legislatif dan selalu menjadi highlight di media massa. Tentu saja ada variable-variabel lainnya di dalam pendidikan politik yang mempengaruhi tingginya angka golput.
Hal ini terkait dengan kalkulasi dan teknis penyelenggaraan pemilu. Hal tersebut disebutkan oleh salah satu Komissioner KPU, Arief Budiman bahwa untuk menekan golput menurut Arief harus diadakan pendidikan politik, sosialisasi mengenai pemilu yang tidak dipandang rumit oleh masyarakat diantaranya sosialisasi, pendidikan politik, sistem pemilu yang mudah bagi pemilih, kandidat/ peserta pemilu yang berkualitas (rumahpemilu.org/15 Maret 2013)
Sayangnya partai politik merupakan kendaraan utama jika tidak bisa dibilang satu-satunya menuju proses demokrasi yang diatur di dalam negeri ini. Untuk menjadi pengambil kebijakan baik di dalam lembaga eksekutif dan legislatif seseorang harus maju melalui kendaraan partai politik. Oleh karena besarnya peran partai dalam fungsinya sebagai kanal dan kendaraan menuju proses legitimasi politik maka seharusnya partai politik juga melakukan pendidikan politik yang intens terhadap masyarakat. Sayangnya pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik seringkali bergerak ketika kampanye menjelang Pemilu.
Keyataannya partai politik masih lumpuh dalam melakukan pendidikan politik. Ini terlihat dari masih banyaknya partai yang belum melakukan pendidikan politik secara terstruktur, massif, dan intensif terhadap kader-kadernya, apalagi terhadap masyarakat awam. Terlebih-lebih partai-partai yang tidak memiliki ideologi yang kuat, mereka kerap luput dalam melakukan pendidikan politik dalam bentuk pengkaderan ini.
Hingga hari ini mungkin hanya partai-partai besar yang memiliki sistem pengkaderan yang cukup baik terhadap pendidikan politik. Beberapa dari mereka membangun organ mahasiswa seperti (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafiliasi pada PDIP, Persatuan Mahasiswa Muslim Indonesia (PMII) yang berafiliasi pada PKB, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang berafiliasi pada PKS dan Himpunan Mahasiswa Islam yang berafiliasi pada Golkar.
Sistem pengkaderan ini pun bisa dibilang masih terbatas karena seiring dengan perkembangan jaman peran mahasiswa di bidang politik pun semakin rendah. Berbeda dengan masa Orla, Orba sampai masa reformasi dimana darah mahasiswa masih sangat bergejolak untuk memperbaiki kondisi sosial, politik, masyarakat di Indonesia.
Kini seiring dengan tingginya biaya kuliah dan sistem pendidikan di Universitas yang menjadi semakin kompleks dan liberal mahasiswa dituntut untuk lulus tepat waktu untuk segera terjun ke dunia kerja. Tak heran jika terjadi penurunan jumlah mahasiswa yang menjadi anggota organ-organ ekstra kampus yang berafiliasi terhadap partai politik tersebut.
Politik, pendidikan, dan pendidikan politik memang, politik adalah segala bentuk tindakan yang disengaja dan dipandu oleh tujuan dan nilai-nilai. Dalam masyarakat majemuk. Pertanyaannya adalah bagaimana dan apakah mungkin untuk mencapai konsensus tentang nilai-nilai. Tetapi mereka yang bertanggung jawab untuk pendidikan politik harus memastikan bahwa nilai-nilai yang digunakan adalah nilai-nilai sah yang terlegitimasi dan diupayakan terkonsentrasi pada nilai-nilai positif.
Untuk semua ini, politik tidak boleh dipahami sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang paling penting, melainkan sebagai cara mengatur konflik dan sebagai perjuangan untuk mencapai sistem terbaik berdasarkan tujuan umum yang dapat dianggap sebagai pedoman yang mendasari sebuah proses yang tidak pernah berakhir (Bernhard Sutor, Theoretical Fundamentals; in: Wolfgang W. Mickel 58, Bonn 1999, p. 66-67)
Jika partai politik memiliki good will untuk memperbaiki diri maka tentunya sebagai salah satu instrumen penting dalam pendidikan politik masyarakat,parpol dapat memberikan kontribusi nyata terhadap perubahan dan perbaikan. Tidak hanya menekan angka golput dan huru hara pada saat pemilu, pendidikan politik yang baik bahkan dapat mendorong tingginya angka keterwakilan perempuan seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat dan meningkatnya keinginan dan kapasitas perempuan, baik kader partai maupun non partai, untuk terjun di dalam politik. Salah satu yang paling essensial adalah bahwa partai politik juga berperan dalam membangun karakter bangsa.
Pendidikan politik yang diberikan sejatinya dapat memperkental karakter toleransi dan kekeluargaan sehingga dapat meningkatkan nasionalisme dan penerimaan atas keberagaman. Â Dengan demikian jika fungsi pendidikan politik ini dijalankan secara maksimal maka tidak hanya dapat merekrut kader atau simpatisan partai tetapi juga dapat dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terutama pemilih pemula terhadap urgensi keterlibatan mereka di dalam proses-proses politik seperti di dalam Pemilu dalam membangun masa depan bangsa. []
DIAH SETIAWATY
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)