Demokratisasi Indonesia mengalami kesadaran penting di Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014. Pilpres langsung ketiga NKRI ini untuk pertama kalinya di putaran pertama hanya ada dua pasangan calon. Para pihak berperhatian terhadap pemilu berbeda pendapat. Apakah keterpilihan presiden langsung ditentukan suara terbanyak? Apakah keterpilhan presiden tetap menyertakan syarat sebaran suara provinsi layaknya putaran pertama di pilpres 2004 dan 2009? Apakah betul demokrasi beserta pemilu mutlak berpegang dan lebih mengutamakan suara terbanyak?
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 6 (A) ayat (3) bertuliskan, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Sebuah ayat beredaksi gamblang dan jelas sekali. Ada dua syarat keterpilihan presiden dan wakil presiden di ayat ini, suara terbanyak dan sebaran daerah.
Lalu ayat (4) bertuliskan, dalam hal tidak adanya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pertanyaannya: jika di putaran pertama cuma ada dua pasangan lalu pasangan yang memperoleh suara terbanyak tak memenuhi syarat minimal sebaran wilayah, apakah wajar jika kita memilih lagi presiden dan wakil presiden yang sama untuk kedua kalinya di putaran dua? Menjawab wajar tak wajar, kita perlu tahu hal prinsipil apa yang menjadi semangat amandemen untuk pemilihan presiden secara langsung.
Asal dan penerapan syarat sebaran daerah
Pakar hukum tata negara, Saldi Isra menceritakan (Media Indonesia 9/6’14), ketika membahas materi sistem pilpres dalam amandemen UUD 1945, pengubah konstitusi tak hanya berdebat pada angka minimal 50 persen tambah satu untuk menentukan pasangan terpilih. Menurut profesor hukum Universitas Andalas ini, dalam risalah amandemen dapat dilacak, pengubah UUD 1945 pada 2001 juga memikirkan masalah sebaran pendudukan yang tak merata di Pulau Jawa dengan di luar Pulau Jawa.
Pakar pemilu, Ramlan Surbakti pun mengatakan itu. Dalam diskusi syarat keterpilihan pilpres yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum di Jakarta Pusat (12/6’14), Ramlan yang di 2001 terlibat sebagai salah satu dari tim perumus pilpres langsung menekankan, keterpilihan presiden Indonesia harus mewakili suara Indonesia secara nasional.
Profesor bidang politik dari Universitas Andalas ini mengingatkan, awalnya perolehan lebih dari 50 persen suara diikuti dengan komposisi sebaran suara minimal 20 persen provinsi yang tersebar di dua pertiga (bukan setengah) dari jumlah provinsi. Tim perumus beralasan persyaratan seperti itu ditujukan agar proses pemilu dan kampanye tak terkonsentrasi di Pulau Jawa tapi juga mengharuskan setiap calon berkampanye dan mencari dukungan dari luar Pulau Jawa.
Penyertaan syarat keterpilihan melalui suara terbanyak dan sebaran daerah merupakan hasil studi tim perumus di Nigeria. Dipilih Nigeria karena konteksnya sangat mirip dengan Indonesia. Negara federal ini di bagi 36 daerah (negara bagian) beserta kompleksitas kebhinekaannya. 9 etnis utamanya merupakan 90 persen jumlah penduduk dan 10 persen penduduk sisanya merupakan ragam etnis minor. Dua agama utamanya, Islam dan Kristen berimbang jumlahnya dan berdampingan dengan agama lainnya serta keyakinan lokal. Sebagian wilayah mengalami konflik berkepanjangan dan berkeinginan lepas dari Republik Nigeria.
Selain keragaman SARA-nya, salah satu pertimbangan penting merujuk ke Nigeria adalah banyaknya jumlah penduduk. Saat tim perumus berstudi banding di 2001, jumlah penduduk Nigeria 130-an juta (Indonesia +206 juta). Nigeria pun mengalami ketimpangan sebaran penduduk yang lebih banyak di daerah pusat pemerintahan/kota. Keterwakilan sebaran daerah di parlemen diakomodir dengan senator atau dewan wakil negara bagian.
Sedangkan keterwakilan daerah untuk presiden dipilih rakyat secara langsung melalui penghitungan suara mayoritas dan sebaran daerahnya. Ada ambang batas negara bagian (states threshold) keterpilihan presiden sebesar 25 persen dari jumlah total negara bagian. Jika tak ada pasangan calon yang memenuhi kedua syarat itu, pilpres diulang diikuti dua pasangan calon bersuara terbanyak [inecnigeria.org, nigeriaelections.org].
Dalam teori sistem pemilu, konsep jumlah keterpilihan daerah (electoral vote/electoral collage) yang diterapkan dalam sistem mayoritas (majority system) merupakan pijakan terdekat untuk menjelaskan dasar sebaran atau persentase daerah dijadikan syarat keterpilihan presiden (juga dewan). Sistem yang relatif cocok untuk dua peserta terkuat ini berprinsip menjaga keutuhan pemerintahan nasional yang terbagi oleh banyak negara bagian atau provinsi [Gianfranco Baldini and Adriano Pappalardo: 2009]. Sistem ini pun berprinsip menjaga nilai kesetaraan dalam fragmentasi wilayah untuk mencegah dominasi pusat yang berpenduduk mayoritas.
Dalam sistem ini, provinsi/negara bagian berpenduduk banyak dengan berpenduduk sedikit nilai suaranya sama. Sistem ini diterapkan Amerika Serikat dalam pemilu presiden. Format first past the post (FPTP), membuat Al Gore (Demokrat) yang meraih suara terbanyak nasional (popular vote) di Pilpres 2000 harus mengakui kemenangan Bush (Republik) yang lebih sedikit meraih suara nasional tapi lebih banyak raihan sebaran daerahnya [Electoral System Design, IDEA 2008].
Mengambil semangat demokrasi dari Nigeria dan Amerika Serikat bukan karena menilai lebih bagus dari Indonesia. Pun bukan berarti kita tak perlu mempertimbangkan semangat demokrasi negara lain karena Indonesia lebih bagus. Selain menguatkan pentingnya kebhinekaan untuk harus dipertimbangkan dalam pemilu, semangat demokrasi di Negeria telah menguatkan pemahaman, demokrasi bukan hanya soal suara terbanyak. Terkait pemilihan presiden, ini bukan soal berapa banyak pasangan dan berapa kali putaran pemilihan harus dilakukan.
Ini soal bagaimana “dari, oleh, dan, untuk rakyat†dimaknai sebagai keadaan sekaligus upaya agar mayoritas dan minoritas merupakan entitas setara dalam proses dan tujuannya. Legislatif telah dipilih suara terbanyak dan sebaran daerah melalui format DPR/D dan DPD. Jelas merupakan kebutuhan penguatan eksekutif bagi Indonesia yang bersistem pemerintahan presidensial agar presidennya juga dipilih berdasarkan suara terbanyak dan sebaran daerah yang merata.
Proyeksi Pilpres 2014
Pentingnya syarat sebaran suara bisa nampak dalam proyeksi Pilpres 2014. Berdasarkan data situs KPU (13/6) tercatat 190.307.134 nama pemilih pada daftar pemilih tetap (DPT). Ini sudah termasuk pemilih luar negeri berjumlah 2.038.711. DPT total Pulau Jawa adalah 108.904.238 dengan rincian tiap provinsinya: Banten 7.985.599, DKI 7.096.168, Jabar 33.045.082, Jateng 27.385.217, DIY, 2.752.275, dan Jatim 30.639.897. Artinya lebih dari setengah pemilih ada di Pulau Jawa.
Dari total 33 provinsi di Indonesia, lebih dari separuh total pemilih hanya ada di 6 provinsi. Syarat sebaran wilayah tampak penting di keadaan ini. Kalau pun Pulau Sumatera yang berjumlah 9 provinsi dihitung, jumlahnya provinsinya tetap tak lebih dari setengah dari total provinsi di Indonesia. Sedangkan jumlah pemilihnya makin menggambarkan ketimpangan jumlah penduduk antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur. Aceh 3.330.719, Sumut 9.902.948, Sumbar 3.611.551, Riau 4.208.306, Jambi 2.480.927, Sumsel 5.865.025, Bengkulu 1.379.067, Babel 925.058, dan Kep. Riau 1.323.627. Total, DPT Pulau Sumatera adalah 33.027.228.
Jika keterpilihan presiden hanya bersyarat suara terbanyak, jelas keterpilihan adalah bagaimana mengamankan suara Pulau Jawa saja atau Pulau Jawa dan Pula Sumatera. Jika ini dibiarkan akan mendorong pola penguasaan politik yang mengesampingkan pulau yang lebih banyak tapi penduduknya jauh lebih sedikit.
Lalu bagaimana dengan keadaan Pemilu 2014 yang hanya dua pasangan calon dan kedua capresnya orang Jawa? Dengan Prabowo Subianto dan Joko Widodo, apakah masih relevan mempertimbangkan keterwakilan etnisitas di luar Jawa? Jawabannya, kita perlu mengingat bahwa keterwakilan bukan hanya soal identitas terberi seperti perempuan, lelaki, suku, dan ras. Keterwakilan pun bukan juga soal identitas memilih seperti ideologi, agama, dan antar golongan. Keterwakilan pun juga soal aspirasi.
Jika keterwakilan identitas terberi dan memilih tak bisa dipenuhi peserta pemilu yang ada, tinggal bagaimana aspirasi rakyat yang banyak, berbhineka, dan tersebar bisa diwakili peserta pemilu. Demokrasi menjadi kuat substansinya saat memberikan ruang kepada pemilih untuk melihat kemungkinan tiga variabel keterwakilan itu.
Prabowo dan Jokowi, keduanya muslim. Dan keduanya berupaya menunjukan identitas Islam simboliknya untuk bisa dinilai mewakili Islam bagi rakyat mayoritas. Tapi identitas pilihan ini (yang berbeda dengan identitas terberi seperti etnisitas) pun memungkinkan multi-makna keterwakilan. Di antara Prabowo dan Jokowi bisa dimaknai pemilih sebagai perbedaan mencolok dengan pertanyaan, siapa yang mewakili Islam tertentu dan Islam atau kelompok lainnya yang lebih bhineka? Dan keterwakilan capres pun sangat mungkin dipertimbangkan bukan hanya diri si capres saja tapi juga diri cawapres dan para orang-orang yang mendukungnya dalam tim kemenangan.
Selain itu, hendaknya idealisme nilai dalam demokrasi dan pemilunya harus bisa diterapkan dalam bernegara. Semangat kebebasan, kesetaraan, dan keadilan di Undang-Undang Dasar sebisa mungkin tercermin dalam redaksi pasal dan ayatnya sehingga memang tak lekang dimakan waktu dan keadaan. Etnisitas Jawa dan Islam dari kedua capres di Pemilu 2014 mungkin ada yang menilai tak relevan jika keterpilihannya menyertakan syarat sebaran daerah.
Tapi bagaimana jika pilpres berikutnya di putaran pertama cuma ada dua pasangan calon berikut: No. 1, Jawa-Islam dan Sumatera-Islam sedangkan No. 2, Papua-Protestan dan Bali-Hindu? Kita mau membiarkan pola penguasaan politik hanya di Jawa dan Sumatera (15 provinsi) dan keterpilihan pemilu yang hanya ditentukan suara terbanyak? Jika kita mengatakan pengandaian pasangan itu tak mungkin secara realitas, kita telah diskriminatif dalam alam pikir saat peluang kemungkinan itu dituangkan pada konstitusi. []
USEP HASAN SADIKIN