Ada dua pasal mengenai pemilihan presiden (pilpres) dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu yang dinilai bermasalah, yakni Pasal 395 dan Pasal 203 ayat (5).
Pasal 395 dinilai inkonstitusional karena tidak mengakomodasi ketentuan syarat keterpilihan presiden dengan dua pasangan calon (paslon) yang diamanatkan Pasal 6A ayat (3) Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Putusan MK terkait ini menegaskan bahwa, dalam hal terdapat dua paslon, paslon terpilih adalah yang memperoleh suara 50 persen plus satu. Syarat lain, yaitu sebaran suara 20 persen di setengah dari jumlah provinsi di Indonesia, dinilai akan otomatis diraih sehingga pilpres dapat dipastikan satu putaran.
Namun, hal ini tidak terakomodasi dalam regulasi penentuan paslon presiden-wakil presiden terpilih yang dijabarkan dalam Pasal 395 RUU Penyelenggaraan Pemilu.
“Pasal 395 ini belum mengakomodasi syarat keterpilihan pilpres dengan dua paslon. Padahal jelas aturannya, kalau dua paslon berarti hanya ada satu putaran. Nah ini bagaimana tafsiran pasal ini menurut Pemerintah?†kata Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Veri Junaidi, pada diskusi “22 Pasal Inkonstitusional dalam RUU Penyelenggaraan Pemiluâ€, di Menteng, Jakarta Pusat (3/11).
Selanjutnya, Pasal 203 ayat (5) mengenai sanksi bagi partai atau gabungan partai yang tidak mengajukan calon presiden-wakil presiden dinilai sangat berpotensi di-judicial review. Pasal tersebut tidak adil dan bertentangan dengan prinsip pengajuan calon yang merupakan hak, bukan kewajiban, bagi masing-masing partai peserta pemilu.
“Mengajukan paslon adalah hak, tidak bisa dipaksakan. Yang seharusnya diformulakan adalah pencegahan terjadinya pilpres bercalon tunggal,†kata peneliti pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil.
Pasal 203 ayat (5) menyatakan bahwa partai atau gabungan partai yang tidak mengajukan paslon pada pilpres dikenakan sanksi yaitu tidak bisa mengikuti pemilu berikutnya.