Heboh Pemilu Presiden Amerika Serikat lahirkan penilaian terhadap sistem electoral college, termasuk pemerhati politik di Indonesia. Dalam obrolan WhatsApp dan media sosial, tak sedikit yang berharap Indonesia menerapkan sistem electoral college untuk pemilu presiden. Alasannya, “pemilu langsung tapi tak langsung” ini lebih adil dibandingkan sistem popular vote.
Kejadian Pilpres AS 2016 perlu menjadi pengingat kita terhadap pemilu sebagai syariat demokrasi. Kesetaraan antar individu berprinsip “one person, one vote, one value” (OPOVOV) dalam pemilu lah yang membedakan demokrasi dengan pemerintahan lainnya.
Dalam pemerintahan “dari, oleh, dan untuk rakyat”, identitas raja, pemuka agama, aristokrat, keningratan, pemilik tanah, kepala suku, gelar akademis, dan yang hirarkis lainnya melebur setara menjadi “rakyat”. Saat ada sistem pemilu yang mengesampingkan ini, perlu dicurigai sebagai manipulasi atas nama konstitusi bahkan demokrasi.
Gerrymandering
Dalam studi kepemiluan, terdapat istilah “Gerrymandering”. Ini merupakan rekayasa sistemik variabel sistem kepemiluan yang bertujuan menghasilkan konversi suara menjadi kursi yang mengunggulkan peserta pemilu tertentu.
Besaran daerah pemilihan (district magnitude) dalam Gerrymandering diutak-atik menyertakan penarikan garis atau luasan daerah dengan pertimbangan jumlah penduduk. Biasanya, alokasi kursi dan penetapan dapil praktek manipulatif ini mengesampingkan proposionalitas jumlah penduduk antar dapil.
Secara mudah, kita bisa menduga praktek Gerrymandering dalam suatu sistem pemilu. Secara kasat mata, ada dapil yang luasannya terpisah atau melompat. Di Indonesia, ini biasa disebut dapil Superman.
Kedua, diabaikannya proporsionalitas penduduk antar dapil. Ada dapil yang jika dibandingkan denga dapil lain, tak sesuai proporsi jumlah penduduk dan jumlah kursi/wakil-nya. Sehingga, ada dapil yang kelebihan representasi kursi/wakil, dan ada dapil yang kekurangan kursi/wakil.
Ketiga, terdapat ketaksesuaian antara hasil kemenangan pemilu dengan jumlah pemilu. Istilah “Gerrymandering” sendiri merupakan sebutuan satir Harian The Boston Gazette pada Maret 1812 untuk hasil Pemilu Gubernur Massachusetts saat masih jadi Koloni Inggris. Calon Gubernur Partai Republik Demokrat, Elbridge Gerry yang kalah telak perolehan suara malah memenangkan pemilu yang kemenangannya ditentukan perolehan sebaran daerah yang tak membedakan banyak/sedikit-nya penduduk.
Gerrymandering adalah penggabungan dua kata “Gerry” dan “Salamander”. Gerry maksudnya calon gubernur Elbridge Gerry. Sedangkan Salamander adalah sebaran daerah pemilihan sedikit penduduk yang dimenangkan Gerry yang alurnya menyerupai/diilustrasikan kadal raksasa. Mungkin pas jika pemilu saat itu kita simpulkan hasilnya “dikadalin Si Gerry”.
Manipulasi sistemik electoral college
Ada dugaan Gerrymandering dalam electoral college Pilpres AS. Selain inkonsistensi prinsip keterwakilan anggota kongres, sistem EC Pilpres AS bermasalah karena rentan perubahan hasil dan kecurangan. Sistem pemilu pluralitas berjenjang dengan memecah dapil berdasarkan negara bagian ini berpotensi besar diintervensi upaya rekayasa hasil pemilu.
Hasil survei sebelum pemungutan suara bisa dipetakan, negara bagian atau satuan dapil negara bagian yang selisih suaranya tipis. Prinsip “the winner takes it all” dari jumlah wakil negara bagian dimanfaatkan sebagai aspek yang menjadikan kemenangan calon sebagai sesuatu yang bisa dijungkirbalikan.
Hal itu bisa digambarkan sangat baik melalui film Recount (2008). Warga kulit hitam (yang bertradisi memilih calon presiden Partai Demokrat) dibuat tak mendapatkan layanan memilih yang tak akses. Mulai dari pendaftaran memilih sampai datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
Akhil Amar dan Vikram Amar dalam “The Electoral College Votes Against Equality” (2004) menjelaskan, sistem EC merupakan buah intervensi kekuasaan yang berkeberatan terhadap pengaruh populasi budak (kulit hitam) dan perempuan. Negara bagian yang sudah membolehkan budak dan perempuan memilih di pemilu memiliki jumlah pemilih 2 bahkan 3 kali lipat. Solidaritas identitas budak dan perempuan yang lintas negara bagian pun akan memenangkan pemilu berdasar popular vote.
Selain kasus yang bersifat diskriminatif dalam layanan pemilihan atau administrasi, ada juga kasus bersifat teknis. Kasus “butterfly ballot†di negara bagian Florida pada Pilpres 2000 membuat kemenangan Al Gore yang tinggal di depan mata, kandas. Hasil survei yang menginfokan Al Gore unggul dari George W. Bush dijungkirbalikan aspek teknis pemungutan suara.
Desain surat suara di negara bagian berwakil 29 itu membingungkan pemilih Gore. Penyebabnya, susunan daftar calon berkecenderungan membuat warga yang berniat memilih Gore akan memilih Pat Buchanan dari Partai Reformis. Hasilnya, suara yang harusnya untuk Gore menjadi milik Buchanan. Atau, jika pemilih sadar cara pilihannya salah, ia akan meralatnya. Tindakan memilih dua kali pada permukaan surat suara ini menjadikan suara tak sah.
Selain “butterfly ballot”, ada juga kasus teknis pencoblosan “chad” di Pilpres 2000. Jika pemilih kurang menekan tusukan pilihan pada surat suara, bagian kertas yang tertusuk tak akan lepas. Keadaan surat suara ini berkemungkinan tak sah dihitung mesin karena tak memenuhi ketentutan “chad”. Kasus ini banyak terjadi pada pemilih manula atau pemilih yang memang kurang menekan saat menusuk pilihan.
Di konteks Pilpres 2016, hal teknis dan administratif pun terjadi dan kemungkinan menjadi sebab hasil pemilu yang bertolak belakang dengan survei. Misal, hari pemilu yang bukan hari libur nasional membuat pemilu tak akses bagi masyarakat menengah bawah yang sensitif kebijakan populis.
Dalam sistem EC, mekanisme konversi suara menjadi kursi di konteks lokal terlalu kuat berpengaruh dan menentukan legitimasi nasional. Padahal, prinsip OPOVOV menempatkan legitimasi keterpilihan berdasar pada akumulasi pilihan individu.
Legitimasi nasional oleh sistem EC dibuat bergantung terhadap situasi lokal tiap-tiap negara bagian. Kedaulatan pemilih sebagai individu warga dihambat oleh satuan komunal berdasar dapil dan negara bagian.
Perbedaan hasil suara terbanyak dengan suara perwakilan Pilpres AS 2016 merupakan kali keempat sepanjang sejarah pemilihan presiden “Paman Sam”. Pertama, Pilpres 1876 Rutherford B. Hayes mengalahkan Samuel J. Tilden dengan hasil 185:184 (47.9%:50.9%). Kedua, Pilpres 1888 Benjamin Harrison mengalahkan Grover Cleveland dengan hasil 233:168 (47.8%:48.6%). Ketiga, Pilpres 2000 George W. Bush mengalahkan Al Gore dengan hasil 271:266 (47.9%:48.4%). Semua kasus, memenangkan calon dari Partai Republik terhadap calon dari Partai Demokrat.
Jadi, masih menilai electoral college AS sebagai sistem yang adil? Jika masih menilai adil, mungkin kalimat yang pas terhadap penilaian ini adalah “anda sudah dikadalin Si Gerry”. []
USEP HASAN SADIKIN