August 8, 2024

Kekerasan Seksual oleh Penyelenggara Pemilu Meningkat

Data Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menunjukkan adanya peningkatan kasus kekerasan seksual yang ditangani oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sejak 2017. Selama lima tahun, yakni 2017-2022, terdapat 25 kasus kekerasan seksual. 21 kasus dijatuhi sanksi pemberhentian tetap, sementara 4 kasus lainnya peringatan keras. Angka ini meningkat pada 2023, dengan 54 kasus.

“Kami dinotifikasi oleh DKPP. Tolong diperhatikan adanya peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan oleh penyelenggara pemilu. Ini tidak bisa kita biarkan. Harus ada sosialisasi dan perbaikan terhadap hubungan kerja dan kinerja di antara sesama penyelenggara pemilu, berbasis gender. Jadi agar jangan sampai ada peningkatan,” tandas Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, pada diskusi “Distorsi Keterwakilan Perempuan & Meningkatnya Kekerasan Terhadap Perempuan oleh Penyelenggara Pemilu” (1/7).

Melengkapi data Bawaslu, Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan mengatakan bahwa mayoritas terlapor kasus kekerasan seksual yang diadukan kepada DKPP ialah anggota dan staf Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sepanjang 2017-2023, pelaku kekerasan seksual penyelenggara pemilu yakni sebagai berikut. 9 ketua/anggota Bawaslu daerah. 14 ketua/anggota KPU daerah. 1 sekretariat Bawaslu kabupaten. 1 ketua KPU RI, 2 ketua/anggota KPU. 2 sekretariat/staf KPU RI.

“Terlapornya ini, memang lebih banyak KPU. Hampir semua kasus berdimensi relasi kuasa. Nah, untuk kasus kekerasan seksual, kami berharap DKPP memutus sanksi maksimal. Karena kalau tidak maksimal, tidak ada efek jera, memastikan tidak jatuh korban berikutnya, dan kalau di level pimpinan tidak pemberhentian tetap, sementara sudah terbukti melakukan kekerasan seksual, nanti yang di kabupaten kota, yang predator seksual akan semakin leluasa, karena yang pimpinan saja tidak diapa-apain kok,” tegas perwakilan Koalisi, Wahidah Syuaib, pada diskusi yang sama.

Lebih lanjut, Wahidah membeberkan salah satu modus kekerasan seksual yang ditemukan di daerah. Gratifikasi seks diminta oleh oknum penyelenggara pemilu kepada peserta seleksi penyelenggara pemilu.

“Ada kasus yang tidak ramai, tetapi terjadi di daerah. Bagaimana seorang penyelenggara pemilu menelepon peserta seleksi. Halo, ini sudah sampai sekian. Mau lolos gak. Nah, kalau mau lulus, lakukan dulu gendong. Gendong itu melakukan hubungan seksual. Dia minta gratifikasi seksual. Ini kan mengerikan,” ungkap Wahidah.

Ia berharap KPU dan Bawaslu melakukan sejumlah langkah untuk mencegah kekerasan seksual dalam instansi dan tahapan rekrutmen, serta tahapan pemilu dan pilkada. Salah satu yang didorong yaitu, tidak memilih tim seleksi dan peserta seleksi yang memiliki rekam jejak sebagai pelaku kekerasan atau pelecehan seksual. []