Pengajar Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menyebutkan sepuluh faktor penyebab semakin banyaknya daerah yang memunculkan pasangan calon (paslon) tunggal di Pilkada. Faktor pertama yakni, keinginan untuk mengamankan kemenangan sejak awal. Pertarungan mendapatkan tiket pencalonan dinilai lebih mudah dibandingkan memperebutkan suara pemilih. Dengan memborong dukungan partai, kemenangan dapat dipastikan sejak awal.
Faktor kedua, syarat pencalonan yang semakin berat, baik jalur perseorangan maupun dukungan partai. Undang-Undang (UU) Pilkada No.1/2015 mensyaratkan bakal calon jalur perseorangan untuk mengumpulkan dukungan sebanyak 3 hingga 6,5 persen dari jumlah penduduk. Namun dengan UU No.10/2016, syarat meningkat menjadi 6,5 hingga 10 persen. Dari jalur dukungan partai, syarat dukungan partai yang semula 15 persen kursi di DPRD, menjadi 20 persen kursi atau 25 persen suara sah hasil pemilu DPRD terakhir.
“Jadi, memang barrier to entry-nya semakin besar,” tandas Titi pada diskusi daring “Menggugat Calon Tunggal Pilkada Serentak 2024” (4/8).
Faktor ketiga yaitu hegemoni kekuatan petahana. Sumber daya politik, sosial dan ekonomi yang dimiliki petahana membuat figur lain enggan untuk bertarung, di tengah biaya politik yang besar. Lebih dari 80 persen calon tunggal merupakan petahana.
Faktor keempat, adanya sentralisasi pencalonan di pilkada. Mekanisme syarat rekomendasi tiga pintu yang diwajibkan oleh regulasi dalam pemilihan wali kota atau bupati dinilai memberatkan kader partai. Dewan Pimpinan Pusat (DPP) pun kerap memotong akses pencalonan di level provinsi dan kabupaten/kota, apabila pimpinan di daerah mengusung calon yang tak disetujui oleh DPP.
“Kalau dia maju di kabupaten/kota, dia harus dapat rekomendasi dari pengurus partai di kabupaten/kota, provinsi, dan wajib dari DPP. Kalau di provinsi, dari provinsi dan DPP. Bahkan DPP bisa mengambil alih pencalonan kalau pengurus di daerah tidak mau mengusulkan calon yang didukung oleh DPP,” tutur Titi.
Faktor-faktor lain yang menyebabkan paslon tunggal meningkat yakni, mahar politik, kaderisasi yang berorientasi pada segelintir elit, selisih elektabilitas bakal calon yang terlampau jauh, internal partai yang tidak solid, politik biaya tinggi, dan pragmatisme partai politik. Partai mesti berhitung antara mengeluarkan uang untuk kontestasi atau membangun posisi tawar dengan calon yang kuat. Perilaku partai yang gemar berbagi kue politik telah terjadi di berbagai daerah paslon tunggal.
“Karena harapannya bagi-bagi kue politik, seperti blocking proyek daerah. Ini dikonfirmasi oleh korupsi politik yang tinggi yang dilaporkan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),” tegasnya. []