Keterbukaan laporan dana kampanye dari pemilu ke pemilu masih menjadi tantangan besar penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2024 masih menunjukkan adanya anomali dalam pelaporan dana kampanye, mulai persoalan buruknya pelaporan administrasi hingga dugaan manipulasi dokumen ditemukan baik pada pemilu presiden, legislatif, bahkan kepala daerah.
“Dana kampanye erat kaitanya dengan politik uang, biaya pemilu di Indonesia sangat tinggi, yang itu mendorong politik uang terus terjadinya, salah satunya lewat dana kampanye,” kata Peneliti ICW, Egi Primayogha dalam diskusi “Korupsi Pemilu: Menyoal Manipulasi Aturan, Politik Uang, dan Dana Kampanye” di Jakarta Pusat (27/8).
Egi memperkirakan laporan dana kampanye pada Pilkada 2024 akan serupa laporan pada Pemilu 2024, yang tidak transparan, tidak disampaikan dengan jujur, dan tidak aktual. Meskipun terdapat regulasi yang mengatur penerimaan dan pengeluaran dana kampanye, namun dalam pelaksanaannya masih jauh dari ideal. Padahal laporan dana kampanye sangat penting bagi pemilih untuk menentukan pilihan di Pilkada 2024.
“Biasanya hasil kejahatan politik pencucian uang, tindak pidana korupsi, kejahatan lingkungan mengalir untuk pembiayaan politik. Sayangnya pelaporan dana kampanye sangat tidak transparan dan tidak terbuka,” imbuhnya.
Berdasarkan temuan ICW dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) laporan dana kampanye Pemilu 2024 masih menunjukkan adanya ketimpangan yang signifikan antara laporan dana kampanye yang diserahkan oleh partai politik dan calon anggota legislatif dengan kenyataan di lapangan. Beberapa partai dan kandidat hanya menyampaikan laporan yang bersifat administratif, tanpa rincian yang jelas mengenai asal-usul dan penggunaan dana kampanye mereka.
Ketidaksesuaian dana kampanye menimbulkan kekhawatiran dana-dana gelap masih beredar dan tidak tercatat dalam laporan resmi, akhirnya bisa mengaburkan integritas proses pemilu. ICW dan Perludem menilai upaya Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih belum cukup efektif dalam mengawasi aliran dana kampanye, karena masih banyak pengeluaran yang tidak tercatat dengan jelas, dan beberapa sumber dana kampanye tidak dilaporkan secara rinci, yang seharusnya menjadi perhatian utama bagi kedua lembaga tersebut.
“Meskipun regulasi sudah mengatur batas maksimum sumbangan dari pihak ketiga, laporan menunjukkan bahwa masih ada potensi manipulasi melalui sumbangan yang tidak dilaporkan. Padahal dana gelap tidak hanya beresiko mencederai keadilan dalam pemilu, tetapi juga dapat menimbulkan ketidakpercayaan terhadap proses demokrasi,” tegasnya.
Peneliti Senior Perludem, Heroik Pratama menjelaskan dana kampanye mempunyai beberapa sumber penerimaan, yakni dari kantong pribadi pasangan calon, perseorangan, individu, kelompok, atau badan usaha swasta. Besaran maksimal sumbangan individu sebesar 75 juta, sementara untuk badan usaha swasta sebesar 750 juta. Pada pemilu sebelumnya, laporan sumbangan dana kampanye diumumkan di tengah-tengah masa kampanye beserta nama-nama pemberi sumbangan. Namun, pada Pemilu 2024, ketentuan pelaporan dan kampanye dianggap tidak jelas.
“Pada pemilu sebelumnya, laporan dana kampanye biasanya mencantumkan nama-nama penyumbang, kelompok, atau badan usaha swasta yang terlibat. Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) juga bisa memberikan gambaran tentang bagaimana pelaporannya dilakukan. Ketiga dokumen ini kemudian dipantau oleh penyelenggara pemilu, termasuk oleh masyarakat sipil,” jelas Heroik
Lebih lanjut, Heroik menjelaskan temuan pemantauan ICW dan Perludem juga menunjukkan peserta pemilu tidak melaporkan sesuai dengan realitas di lapangan. Ia menyebut, harusnya pelaporan dana kampanye dilakukan dengan lebih baik dan transparan, serta memperhatikan semua aspek yang diperlukan untuk memastikan integritas proses pemilu. Pada Pilkada 2024 seharusnya KPU bisa menyediakan kategori sumber penerimaan yang lebih rinci seperti pada pemilu sebelumnya.
“Nama-nama pihak penyumbang harus disertakan, meski tanpa perlu mencantumkan detail pribadi yang berlebihan,” ucapnya.
Ia menambahkan, untuk mengatasi permasalahan pelaporan dana kampanye, diperlukan mekanisme audit investigatif yang lebih kuat untuk memastikan kebenaran laporan yang disampaikan oleh peserta pemilu. Selain itu pengawasan yang lebih ketat juga perlu diterapkan, terutama dalam hal verifikasi jumlah billboard, status pengeluaran, dan penerimaan dana kampanye.
“Semua dokumen dan informasi ini seharusnya tersedia di website resmi agar publik dapat mengakses dan memverifikasinya secara transparan,” sambungnya.
Menanggapi hal itu Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Violla Reininda mengatakan, penting untuk melihat secara sistematis bagian keuangan kepemiluan dari hulu ke hilir, baik bagi penyelenggara maupun peserta pemilu. Selain itu, penegakan hukum juga harus menjadi prioritas agar semua aspek laporan dana kampanye terpotret dengan baik. Ia melihat dalam norma hukum UU Pemilu, ada beberapa hal berkaitan dengan dana kampanye tidak dibahas secara komprehensif dan tidak jelas tujuannya.
“Kita ketahui bahwa ada aspek filosofis dan sosial yang harus dijawab oleh pembentuk undang-undang, berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai melalui aturan tersebut. Namun, dalam UU Pemilu dan sederetan undang-undang partai politik, tidak ada kesungguhan untuk menjawab masalah yang seharusnya diatasi oleh peraturan tersebut,” terang Violla.
Violla memandang, sejak awal aturan yang ada tidak memiliki tujuan yang jelas. Problem lainnya yakni perubahan UU Pemilu sering kali tidak direncanakan dengan matang, melainkan didorong oleh kelompok masyarakat sipil melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Akhirnya, perubahan lebih sering merespon isu-isu tertentu, namun tidak menyentuh akar permasalahan lebih mendasar.
“Kurangnya political will menjadi salah satu kendala utama dalam menangani masalah keuangan kampanye ini. Penegakan hukum yang dilakukan juga lebih banyak membahas konflik vertikal, seperti pengawasan terhadap sosialisasi dan kampanye, tanpa menyentuh aspek-aspek yang lebih mendalam,” terangnya.
Menjelang Pilkada 2024, Violla mengkhawatirkan masalah dana kampanye akan kembali diabaikan karena lebih berfokus pada dukungan politik dari tiap-tiap kandidat. Ia berharap penyelenggaraan Pilkada 2024 tidak hanya terfokus pada koalisi politik atau dinasti semata, tetapi juga menekankan integritas dan kejujuran pemilu, termasuk isu money politics.
ICW dan Perludem merekomendasikan perlunya peningkatan regulasi yang lebih ketat dan jelas terkait pelaporan dana kampanye dan pengawasan KPU serta Bawaslu harus lebih proaktif dengan melakukan verifikasi lebih mendalam terhadap laporan yang disampaikan oleh partai politik dan kandidat. Selain itu, ICW dan Perludem juga mengusulkan mekanisme audit investigatif yang lebih kuat untuk memastikan semua dana kampanye dicatat dan dikelola sesuai aturan yang berlaku. []