Peraturan Komisi Pemilihan Umum No.6/2016 tentang Pilkada Aceh, Papua Barat, dan DKI Jakarta merupakan wujud nyata perbaikan pilkada. Melalui kewenangannya dalam membuat peraturan itu pun KPU menjamin kepastian hukum pemilu yang terhubung dengan undang-undang. Dibanding Pilkada 2012 yang mengalami kekosongan hukum pada putaran kedua, penyelenggara pemilu pada Pilkada 2017 jauh lebih mencerminkan wujud profesionalitas KPU yang secara konstitusional bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
“Jika kita sudah merujuk pada Peraturan KPU dan Undang-undang Pilkada, kebutuhan tahapan penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta putaran kedua sudah terjawab,” kata direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini di Tebet, Jakarta Selatan (2/3).
PKPU No.6/2016 memastikan kampanye merupakan salah satu dari empat tahapan Pilkada DKI Putaran Kedua. Pasal 36 ayat (2) menjelaskan mengenai putaran kedua pilkada yang harus diadakan jika diputaran pertama tak ada pasangan calon yang meraih suara 50% lebih.
Sedangkan ayat (3) bertuliskan, tahapan Pemilihan putaran kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup:
- pengadaan dan pendistribusian perlengkapan penyelenggaraan Pemilihan;
- Kampanye dalam bentuk penajaman visi, misi dan program Pasangan Calon;
- Pemungutan dan Penghitungan Suara; dan
- Rekapitulasi hasil perolehan suara.
Tertulis kata “kampanye” pada huruf b sebagai bagian dari tahapan pilkada putaran kedua. Sehingga, PKPU 6/2016 menjadi wujud nyata penjamin kepastian hukum dalam pilkada putaran kedua.
Abdullah Dahlah selaku koordinator bidang korupsi politik Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Pilkada 2012, mengingatkan buruknya kekosongan hukum soal kampanye. Karena tak adanya aturan kampanye di putaran kedua membuat petahana kepala daerah tak diharuskan cuti.
Terjadi banyak pelaporan masyarakat mengenai penggunaan fasilitas pemerintah daerah untuk kepentingan kampanye. Selain itu, pelaporan pun ada seputar aparatur sipil negara (ASN) yang dimobilisasi untuk kepentingan pemenangan petahana kepala daerah.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz berpendapat, ada catatan terhadap profesionalitas KPU DKI Jakarta yang tak memastikan kampanye di putaran kedua. Adanya pendapat putaran kedua tak ada tahap kampanye merupakan gambaran begitu dibutuhkannya kepastian hukum mengenai kampanye sekaligus cuti bagi petahana kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Sikap akhir KPU DKI Jakarta untuk memastikan adanya kampanye dalam putaran kedua merupakan bukti dari profesionalitas KPU DKI Jakarta. KPU RI telah membuat PKPU 6/2016 tentang Pilkada Aceh, Papua Barat, dan DKI jauh hari sebelum tahapan penyelenggaraan Pilkada 2017 dimulai. KPU DKI Jakarta sebagai bagian kelembagaan KPU yang menurut Undang-undang Dasar 1945 bersifat nasional, tetap, dan mandiri, mesti menjalankan PKPU 6/2016, di antaranya penyelenggaraan kampanye sebagai tahapan di putaran kedua.
“Perdebatannya bukan pada ada/tidak adanya kampanye di putaran kedua. Tetapi, seperti apa penajaman visi-misi dan program pasangan calon,” tegas Masykurudin.
Ketua KPU DKI, Sumarno menjelaskan, penajaman visi-misi dan program disampaikan melalui semua bentuk kampanye, kecuali rapat umum dan pemasangan alat peraga oleh pasangan calon dan tim sukses. Penajaman visi-misi dan program pasangan calon penting juga kontennya dimaknai dari masing-masing pasangan calon yang bisa disampaikan dalam ragam metode kampanye yang dibolehkan.
“Tahap kampanye berlangsung 7 Maret sampai 15 April. Debat publik yang ditayangkan di televisi juga akan ada di minggu terakhir sebelum hari pemungutan suara. Melihat antusiasme pemilih di putaran pertama dan begitu berpengaruhnya debat pada partisipasi memilih, debat akan diadakan juga pada tahap kampanye putaran kedua,” jelas Sumarno (5/3).
Pilkada DKI Jakarta 2017 putaran pertama memiliki angka partisipasi pemilih 75,75%. Persentase ini merupakan angka tertinggi sejak pemilihan gubernur-wakil gubernur ibu kota negara diterapkan secara langsung. Pada Pilkada 2012, keterpilihan Jokowi-Ahok di putaran kedua angka partisipasi pemilih keseluruhannya adalah 68% dan 65% di putaran pertama. Pada Pilkada 2007, satu putaran hanya menghasilkan partisipasi pemilih 65%.
Anggota Bawaslu DKI Jakarta, M. Jufri mengingatkan, antusiasme warga DKI Jakarta untuk memilih jangan sampai tak terlayani baik dalam proses penetapan daftar pemilih putaran kedua dan dalam proses pemungutan suara. Partisipasi memilih di putaran pertama tinggi, tapi banyak juga yang tak terlayani hak pilih karena kesalahan KPU DKI Jakarta dan jajarannya hingga tingkat TPS.
“Di 19 April nanti, harus ada perbaikan dari sejumlah catatan di putaran pertama. Jangan lagi ada kesalahpahaman dan perbedaan pemahaman peraturan yang justru terjadi pada petugas TPS,” kata Jufri (4/3). []