August 8, 2024

Melihat Sainte-Laguë Bekerja

DPR dan Pemerintah sepakat untuk mengesahkan RUU Pemilu jadi undang-undang (21/7). Salah satu pasalnya mengubah formula konversi suara menjadi kursi dari metode Kuota Hare menjadi metode Sainte-Laguë.

Jumat (21/7) dini hari itu, palu diketukkan Setya Novanto, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tanda paripurna menyetujui pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu. Ketukan palu itu juga tanda bahwa rapat paripurna memutuskan untuk memilih opsi A dalam lima isu krusial—salah satunya adalah konversi suara jadi kursi dengan metode Sainte-Laguë.

“Membagi suara sah setiap partai politik dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3; 5; 7; dan seterusnya,” sebagaimana dicuplik dari Pasal 420 draft RUU Pemilu per 24 Juli 2017.

Dalam pemilu proporsional (pemilu dengan lebih dari satu kursi yang diperebutkan di satu daerah pemilihan), dikenal dua rumpun metode konversi suara jadi kursi: kuota dan divisor.

Kuota

Kuota adalah angka atau harga minimum yang dibutuhkan partai atau kandidat untuk mendapat satu kursi. Di Indonesia, kuota juga dikenal dengan istilah BPP (bilangan pembagi pemilih). Ada beberapa metode untuk menentukan kuota, tetapi yang paling umum adalah Kuota Hare dan Kuota Droop.

Angka Kuota Hare didapat dengan membagi total suara sah dengan total jumlah kursi yang diperebutkan (Kuota Hare = Total Suara Sah / Total Kursi). Angka Kuota Droop didapat dengan membagi total suara sah dengan total jumlah kursi ditambah satu (Kuota Droop = Total Suara / (Total Kursi+1)).

Sementara, jumlah perolehan kursi masing-masing partai didapat dengan membagi suara sah masing-masing partai dengan angka kuota. Angka hasil pembagian tersebut biasanya memuat billangan bulat dan pecahan—sebagai sisa suara. Kursi dialokasikan terlebih dahulu sesuai dengan bilangan bulat. Sementara kursi yang belum dialokasikan diberikan pada angka pecahan atau sisa suara tertinggi. Hal inilah yang membuat metode kuota juga dikenal sebagai metode largest reminder.

Dari penelusuran Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), metode Kuota Hare sudah dirumuskan pada UU 27/1948 dan tidak berubah hingga UU 8/2012—meskipun frasanya berbeda-beda. Pemilu 2019, melalui RUU Pemilu yang akan disahkan, adalah pemilu pertama yang menggunakan metode Sainte-Laguë.

Sainte-Laguë

Sainte-Laguë adalah salah satu metode dalam keluarga divisor. Dalam metode divisor, total suara sah yang didapat partai dibagi dengan menggunakan bilangan pembagi tetap. Bilangan pembagi Sainte-Laguë terdiri atas 1,3,5,7, dst. Angka itu ditetapkan Andre Sainte-Laguë, matematikawan Perancis, pada 1910 silam. Sementara metode D’Hondt, metode lain dalam keluarga divisor, bilangan pembaginya terdiri atas 1,2,3,4, dst.

“Terdapat empat langkah yang perlu diperhatikan dalam menerapkan formula penghitungan suara Sainte-Laguë,” kata Heroik M. Pratama, peneliti pada Perludem, saat dihubungi (2/8).

Pertama, perolehan suara masing-masing calon anggota DPR dari partai dijumlah sehingga didapat jumlah total perolehan suara masing-masing partai. Kedua, jumlah total perolehan suara partai dibagi dengan bilangan ganjil dimulai dari angka 1,3,5,7 dan seterusnya. Ketiga, hasil pembagian diurutkan dari yang terbesar hingga terkecil. Keempat, hasil yang telah diurut tersebut digunakan sebagai basis pengalokasian kursi. Angka hasil pembagian terbanyak pertama mendapat kursi pertama, angka terbanyak kedua mendapat kursi kedua, dan seterusnya sampai jumlah kursi di daerah pemilihan habis terbagi.

Jumlah kursi yang diraih partai diberikan pada caleg-caleg yang meraih suara terbanyak di partainya.

Sebagai ilustrasi, mari kita andaikan ada 10 kursi yang mesti dibagi pada empat partai dengan perolehan suara masing-masing 25.000, 19.000, 12.000, dan 8.000. Hasil pembagian kursi pada partai-partai dapat dilihat di tabel berikut.

1 3 5 7
Partai A 25000 [1] 8333 [4] 5000 [7] 3571 [10]
Partai B 19000 [2] 6333 [6] 3800 [9] 2714
Partai C 12000 [3] 4000 [8] 2400 1714
Partai D 8000 [5] 2667 1600 1143

*Angka dalam tanda [] menunjukkan ranking atau urutan hasil bagi dari terbesar ke terkecil sesuai jumlah kursi yang dialokasikan.

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa Partai A mendapat empat kursi, partai B mendapat tiga kursi, partai C mendapat dua kursi, dan partai D mendapat satu kursi.

Tabel tersebut juga memperlihatkan bahwa kursi pertama, kedua, dan ketiga diberikan pada partai A, B, dan C secara berturut-turut. Sementara kursi keempat diberikan pada partai A. Partai D baru mendapat kursi kelima. Pemberian kursi dilakukan sesuai dengan urutan hasil bagi divisor dari yang terbesar hingga yang terkecil.

Hasil metode Sainte-Laguë lebih dekat dengan metode Kuota Hare dibandingkan metode hitung lain seperti D’Hondt ataupun modifikasi Sainte-Laguë. Simulasi konversi suara jadi kursi dengan berbasis pada hasil Pemilu 2014 yang dilakukan oleh Perludem menunjukkan pergeseran kursi DPR tidak signifikan.

No Partai Kuota Hare Sainte Lague Selisih
1 Nasdem 36 33 -3
2 PKB 47 48 1
3 PKS 40 39 -1
4 PDIP 109 110 1
5 Golkar 91 94 3
6 Gerindra 73 73 0
7 Demokrat 61 61 0
8 PAN 48 47 -1
9 PPP 39 39 0
10 Hanura 16 16 0
Total 560 560

August Mellaz, Direktur Eksekutif Sindikasi untuk Pemilu dan Demokrasi (SPD), menyebut metode Sainte-Laguë atau yang dipadankan dengan metode Divisor Webster (Amerika Serikat), memberikan jaminan dan perlakuan netral dan tidak berat sebelah kepada setiap partai politik dalam perolehan suara-kursi. Partai politik yang meraih suara besar secara otomatis dan harus meraih kursi lebih banyak. Sedangkan partai politik yang meraih suara sedikit harus dipastikan pula meraih suara sedikit. Dengan kata lain aspek prosposionalitas antara jumlah suara dengan jumlah kursi yang diperoleh partai harus sebanding.

“Partai besar, sekali lagi di dapil, akan diganjar kursi sesuai dengan porsi suaranya, sedangkan partai menengah kecil akan ditarik pada garis yang lebih netral,” kata August Mellaz, dalam keterangannya (22/7).