Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (gabungan UU 8/2012, UU 42/2008, dan UU 15/2011) “menguntungkan” Badan Pengawas Pemilu. Pertama adalah waktu penanganan pelanggaran yang bertambah tadinya 5 (lima) hari menjadi 14 (empat belas) hari.
Kedua, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk menerima, memeriksa, mengkaji dan memutus pelanggaran yang bersifat administrasi Pemilu. Bentuknya pun persidangan terbuka seperti pengadilan umum maupun mahkamah konstitusi, bukan lagi rapat kajian yang hanya melahirkan sebuah rekomendasi ke pihak-pihak yang melanggar.
Contoh penanganan pelanggaran undang-undang sebelumnya, jika partai yang melanggar, maka panwas merekomendasikan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menegur partai tersebut. Jika Aparatur Sipil Negara yang melanggar, maka dilayangkan surat rekomendasi ke instansinya. Jika KPU yang melanggar, maka surat rekomendasi dilayangkan ke KPU.
Dan “keuntungan” ketiga, awalnya panitia pengawas pemilu di tingkat kabupaten/kota bersifat ad hoc (dibentuk jika ada pemilu/pilkada saja), saat ini dengan lahirnya Undang-Undang 7/2017 menjadi tetap atau permanen (5 tahun). Dalam segi waktu, lebih panjang.
Serta keuntungan selanjutnya adalah jumlah sumber daya manusia Bawaslu saat ini bertambah. Untuk Bawaslu RI berjumlah 5, Bawaslu Provinsi berjumlah 7, Bawaslu Kabupaten/Kota berjumlah 5, Panwaslu Kecamatan berjumlah 3, Panwaslu Kelurahan 1, Panwaslu LN 3, dan di setiap TPS 1 pengawas pemilu.
Namun, perihal pengawas TPS, meski menguntungkan, pengalaman empirik penulis sewaktu menjadi Ketua Panwas Kota Administrasi Jakarta Utara saat memberikan pelatihan untuk 2.150 pengawas TPS (banyaknya PTPS tergantung TPS) waktu Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, itu masih ditemukan pengawas yang kebingungan saat menjalankan tugas dilapangan. Padahal Bawaslu Provinsi DKI Jakarta sudah membekali pengawas TPS dengan memberikan buku saku pengawasan.
Hal ini dilakukan agar, jika pengawas TPS bingung dengan kejadian yang tidak lazim, bisa membuka buku saku tersebut. Namun tetap saja pada saat hari pencoblosan, masih saja ditemukan ada pengawas TPS yang membiarkan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) melakukan pelanggaran administrasi Pemilu.
Contoh kasus di TPS 17 Kelurahan Penjaringan. Ada 5 orang calon pemilih yang tak bisa memilih. Padahal sudah memenuhi syarat untuk memilih yakni memiliki KTP elektronik dan Kartu Keluarga, dan berdomisili di wilayah tersebut. Namun oleh KPPS tak diizinkan untuk memilih karena formulir Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) sudah habis. Kasus yang sama juga terjadi di TPS-TPS lainnya.
Penulis menilai, jika pengawas TPS mengerti dan membaca buku saku pengawasan, maka hal demikian tidak akan terjadi. Sebab mereka sudah memenuhi hak untuk memilih (KTP Elektronik dan Kartu Keluarga).
Teori kedaulatan rakyat meyakini, yang berdaulat dalam setiap negara adalah rakyat. Kehendak rakyat merupakan satu-satunya sumber kekuasaan bagi setiap pemerintah. Pemilu adalah wujud dari kedaulatan rakyat. Hak konstitusi warga untuk memilih dijamin oleh konstitusi dlaam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar tahun 1945.
Oleh karena itu, dalam mengawasi pemilu serentak tahun 2019, Bawaslu tidak bisa dibiarkan “sendirian”, seluruh rakyat Indonesia harus ikut bersama-sama memastikan bahwa pemilu harus berjalan berdasarkan asas jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia, serta memenuhi prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proposional, profesional, akuntabel, efektif dan efesien. Bagaimana mewujudkannya? Tentu dengan cara pengawasan berjamaah.
Jika seluruh masyarakat Indonesia sudah sadar akan pentingnya sebuah pemilu, maka hal tersebut akan segera tercipta. Akan tetapi fakta menunjukan, bahwa tingkat partisipasi masyarakat saat ini masih minim dalam segi pengawasan. Contoh kecil di Jakarta Utara. Pada putaran pertama hanya ada 3 pelapor. Sedangkan untuk putaran kedua hanya 4 pelapor. Dari ketujuh (digabung 3+4) pelapor ini semuanya tim sukses dan simpatisan. Dan mereka semua yang datang langsung ke kantor panwas.
Kita akui banyak masyarakat malah memilih media sosial untuk memberikan informasi kepada pengawas pemilu, dan itu boleh-boleh saja. Karena sebagai pengawas pemilu baik laporan ataupun informasi akan tetap ditangani. Namun yang harus diingat ada prioritas.
Intruksi dari Bawaslu Provinsi DKI Jakarta pada waktu itu, sebisa mungkin sang pemberi informasi adanya dugaan pelanggaran Pemilu, diarahkan menjadi laporan. Hal tersebut dilakukan untuk kemudahan pengawas dalam mengungkap informasi yang diberikan. Namun, banyak masyarakat yang mengaku tidak mengetahui bagaimana tata cara melapor langsung, dan selebihnya mereka takut untuk melapor. Oleh karenanya, publik berpikir bahwa dalam mengungkap dugaan pelanggaran lebih nyaman di media sosial. Padahal dalam memberikan informasi juga ada aturan mainnya seperti pertama batas waktu. Kedua, laporan paling sedikit memuat 5w + 1h, ketiga, identitas pelapor harus jelas (jangan menggunakan akun anonim), dan keempat terpenuhi syarat formil dan materiil.
Untuk tata cara melapor sesungguhnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7/2017 pasal 454 point 4 yang mengatakan, laporan pelanggaran Pemilu disampaikan secara tertulis dan paling sedikit memuat: nama dan alamat pelapor, pihak terlapor, waktu dan tempat kejadian perkara serta uraian kejadian. Di point 6 mengatakan, laporan pelanggaran Pemilu disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui terjadinya dugaan pelanggaran Pemilu.
Penulis harus akui, bahwa sosialisasi yang dilakukan pengawas pemilu selama ini dalam mencerdaskan masyarakat dalm kepemiluan dan pengawasan masih terhambat oleh anggaran. Pasalnya, negara membatasi jumlah peserta dan jumlah sosialisasi pengawasan partisipatif. Hal ini menyebabkan, hanya yang hadir dan memperhatikan saja yang paham. Selebihnya tidak.
Oleh karena itu, melihat potret tersebut sudah tepat Bawaslu memiliki selogan “Bersama Rakyat Awasi Pemilu. Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu”. Dengan melibatkan rakyat se-Indonesia, penulis pastikan para penjahat pemilu pasti akan berpikir ulang jika ingin melakukan pelanggaran.
Terakhir penulis berharap dengan hadirnya artikel ini, sedikit-banyak dapat membantu masyarakat Indonesia untuk lebih berani memberikan laporan secara langsung dengan mendatangi kantor-kantor panwas di wilayah masing-masing. Jika pun lebih memilih hanya memberikan informasi di media sosial tak mengapa, namun harus jelas dan memuat yang telah disampaikan di atas.
Bersama rakyat awasi pemilu. Bersama Bawaslu tegakkan keadilan pemilu. Salam awas!
AHMAD HALIM
Ketua Panwas Kota Administrasi Jakarta Utara.