Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 14 partai politik (parpol) peserta Pemilu 2019 pada 17 Februari 2018. Meliputi Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrat, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai NasDem, Partai Hati Nurani Indonesia (Hanura), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Berkarya, Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Sedangkan Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan dan Keadilan Indonesia (PKPI) dinyatakan tak memenuhi syarat. Kepengurusan PBB di Provinsi Papua Barat TMS, dan kepengurusan PKPI di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah TMS atau tidak memenuhi syarat.
Membandingkan dengan Pemilu 2014, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi merumuskan, setidaknya ada enam hal yang perlu diantisipasi pasca-penetapan partai politik peserta pemilu demi pencapaian utuh kesetaraan dan keadilan pemilu.
1.Sengketa partai politik peserta pemilu
Sesuai ketentuan UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum, parpol yang tidak lolos bisa menempuh upaya hukum sengketa pemilu ke Bawaslu RI. Bawaslu RI yang akan menyidangkan dan membuat Putusan atas sengketa yang diajukan parpol yang tidak lolos ini.
Karena itu, adalah keniscayaan bagi KPU untuk mempersiapkan segala bukti, fakta-fakta, kronologis, dan argumentasi hukum yang kuat sebagai upaya untuk meyakinkan bahwa keputusan yang mereka buat adalah benar adanya. Sengketa penetapan parpol peserta pemilu adalah medium paling kongkrit untuk menguji kredibilitas, profesionalisme, dan kemandirian KPU selaku penyelenggara pemilu di dalam menyelenggarakan tahapan pemilu serentak 2019.
Bawaslu juga diharap bersikap dan bertindak profesional dalam menangani sengketa yang masuk kepadanya. Sidang sengketa harus terbuka, transparan, akuntabel, dan tidak boleh ada diskriminasi. Bawaslu harus menjalanan persidangan secara adil dan tidak berat sebelah, tentu dengan tetap menjaga keadilan dan kemandiriannya sebagai pemutus sengketa.
2. Transparansi dan akuntabilitas sumbangan dan belanja kampanye
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu meningkatkan batasan sumbangan dana kampanye. Dibanding UU No.8/2012, batasan sumbangan perseorangan diubah dari Rp 1 M menjadi Rp 2,5 M sedangkan batasan sumbangan kelompok/perusahaan diubah dari Rp 7,5 M menjadi Rp 25 M.
Peningkatan batasan itu membuat sumbangan dana kampanye Pemilu 2019 seakan-akan tanpa pembatasan. Fungsi pembatasan dana kampanye bagi penyumbang adalah untuk menghindari mengumpulnya nilai dana pada beberapa penyumbang. Meningkatkan batasan dari nilai sekian hingga nilai sekian membuat pembatasan tak berfungsi.
3. Politik uang
Segala bentuk politik uang harus dicegah dan ditindak demi pencapaian utuh pemilu setara dan adil. Selain pemberian uang secara lansung dari peserta/tim sukses pemilu ke pemilih, politik uang yang melibatkan struktur dan pejabat pemerintahan pun harus dilawan.
Partai politik dan politisinya beserta tim sukses amat mungkin memberikan uang kepada pejabat pemerintahan daerah hingga desa. Kewenangan kepala daerah, camat, kepala desa, dan ketua RW/RT mengakses fasilitas pemerintah dan mengerahkan birokrasi serta mobilisasi aparatur sipil negara (ASN) bisa digunakan partai politik berkampanye.
4. Kampanye di frekuensi publik
Kampanye pemilu yang setara dan adil bisa tak tercapai utuh jika tak mengatur dengan baik kampanye di frekuensi publik. Televisi dan radio merupakan menggunakan medium milik publik yang terbatas sehingga berbeda dengan media cetak dan daring yang tak punya batasan ruang dan izin.
Ketidakadilan kampanye di televisi dan radio terjadi dalam berbagai bentuk. Pertama, iklan kampanye parpol yang tak imbang serta melanggar batasan slot dan durasi. Kedua, konten pemberitaan yang mengandung unsur kampanye.
Ketiga, terlalu melebihkan satu parpol peserta pemilu dalam pemberitaan dibanding parpol lain. Keempat, dihadirkannya identitas parpol atau unsur kampanye parpol dalam program media.
5. Alat peraga kampanye illegal di ruang publik
Pemasangan alat peraga kampanye illegal di ruang publik setidaknya menghadirkan dua permasalahan. Pertama, praktek pemasangan yang jor-joran tanpa menyertakan transparansi dan akuntabilitas sumbangan dan belanja kampanye lebih menghasilkan ketimpangan kontestasi. Kedua, ruang publik yang harusnya diperuntukan kepentingan bersama malah dikotori oleh pemasangan alat peraga kampanye sembarang kepentingan parpol tertentu.
Mencegah dan menindak pelanggaran dalam pemasangan alat peraga kampanye di ruang publik akan menjamin kesetaraan dan keadilan kontestasi pemilu. Penegakan hukum dalam hal ini pun akan menjaga kebersihan sampah reklame politik di ruang publik.
6. Penggunaan kekerasan dan ujaran kekerasan
KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun harus menjamin tak adanya penggunaan kekerasan dan ujuaran kekerasan di dalam kampanye peserta Pemilu 2019. Ini berlaku bagi di dunia nyata maupun di dunia maya internet, termasuk media sosial.
Diserentakannya pemilu presiden dan pemilu partai politik dalam Pemilu 2019, akan meningkatkan sentimen kontestasi antar peserta, tim sukses, pendukung, dan pemilih. Satu pemahaman antar pemangku kepentingan dalam pemilu beserta aparat penegak hukum dalam mengartikan serta mengatur bentuk kekerasan dan ujaran kekerasan harus dicapai. Penegakan hukum dari tindaklanjut kesepemahaman tersebut menjadi syarat sukses pemilu yang setara, adil, dan tanpa kekerasan. []