August 8, 2024

Partai-partai Setelah Soeharto OLEH HENDARDI

Meski rezim Soeharto sudah tumbang, kekuasaan oligarki yang berwatak predatoris (predatory oligarchy) tetap bercokol. Oligarki—segelintir lapisan super kaya yang berkuasa—menemukan jalan untuk kembali dalam situasi politik yang berubah, yaitu mengisi perubahan institusi politik melalui partai politik, parlemen, dan desentralisasi.

Itu sebabnya mengapa partai-partai politik pasca-Soeharto berada dalam jangkauan faksi-faksi oligarki yang telah melakukan reorganisasi. Kini, tambahan partai baru peserta Pemilu 2019, juga tak lepas dari oligarki. Oleh karena itu, demokrasi elektoral haruslah dilihat sebagai “demokrasi oligarki” baik yang saling bersaing maupun berkoalisi untuk memanfaatkan kontestasi politik.

Cara memerintah

Usai jatuhnya Soeharto, relasi kuasa yang didominasi oligarki predatoris tak berubah. Tetapi, para elite negara dan politik tak bisa lagi memerintah dengan cara yang sama seperti sebelumnya (Hadiz: 2005). Mereka menghadapi tuntutan reformasi institusional baik di pusat maupun daerah.

Kekuasaan negara yang tersentralisasi di tangan rezim politik telah berakhir, terjadilah desentralisasi. Perubahan cara memerintah ini berjalan melalui beberapa realitas politik.

Pertama, desentralisasi kekuasaan negara berlangsung setelah diberlakukannya UUD 1945 hasil amandemen. Presiden tak lagi dipilih oleh MPR, melainkan langsung melalui pemilu presiden dan wakil presiden. Presiden tak dapat lagi membekukan atau membubarkan parlemen. Sebaliknya, wewenang DPR diperkuat.

Kedua, kenyataannya sejak hasil Pemilu 1999 hingga kini, tak satu pun partai menguasai mayoritas tunggal di parlemen sebagaimana Golkar pada masa Soeharto. Implikasinya, setiap calon presiden dibatasi oleh koalisi dalam membentuk pemerintahan. Politik transaksional tak terhindarkan.

Ketiga, amandemen UUD 1945 juga telah meningkatkan independensi kekuasaan kehakiman (MA dan MK) serta BPK. Dengan independensi ini maka kekuasaan Presiden juga dibatasi, yaitu secara resmi tak boleh mencampuri atau mengendalikan wewenang dan fungsi kedua lembaga negara tersebut.

Keempat, distribusi kekuasaan bertambah seiring terbentuknya sejumlah lembaga negara penunjang (state auxiliary bodies) seperti KPK, KPU dan Komnas HAM yang independen dan tidak berada di bawah wewenang presiden.

Kelima, desentralisasi kekuasaan negara pun meluas dengan otonomi yang lebih besar terhadap pemerintahan daerah yang diberlakukan sejak Januari 2001. Pada paruh 2005, kepala-kepala daerah—gubernur, bupati dan walikota—mulai dipilih secara langsung, tak lagi melalui DPRD atau ditunjuk Presiden.

Dengan begitu, desentralisasi kekuasaan negara telah tersebar ke banyak lembaga, tak lagi tersentralisasi dan terkonsentrasi di tangan Presiden. Parlemen dan kepala-kepala daerah juga bisa mengalokasi sumber daya negara sesuai otoritas mereka.

Partai oligarki

Setelah dihantam gelombang krisis finansial, pemerintah kesulitan menarik investasi. Sehingga terpaksa kompromi dengan para konglomerat yang terlibat skandal BLBI untuk restrukturisasi utang dan memberi izin mereka membeli aset-aset yang disita BPPN dengan harga lebih murah.

Cara memerintah seperti itu rawan dibajak oleh oligarki. Kerawanan ini menguat ketika elemen-elemen masyarakat sulit bangkit dari kondisi disorganisasi. Apalagi reformasi institusional politik tidak melibatkan lapisan masyarakat yang sebelumnya tenggelam dalam represi panjang Orde Baru.

Disorganisasi masyarakat menjadi pintu masuk oligarki dari rezim Soeharto untuk kembali berkuasa dalam pola akumulasi kekayaan yang bersifat predatoris dan pemburuan rente (Evans: 1989). Dari pintu-pintu reformasi institusional ini pula oligarki bergerak mengontrol politik dan pemerintah.

Kehilangan patron utama Soeharto juga ditandai dengan perubahan tipe oligarki, dari oligarki bertipe sultanistik menjadi penguasa kolektif (Winters: 2011). Tipe ini buah dari reorganisasi kekuasaan predatoris yang lebih terdesentralisasi melalui jaringan patronase yang tersebar, koalisi-koalisi cair, bahkan saling bersaing.

Partai politik

Salah satu institusi sebagai jalur untuk menguasai aparatur negara adalah partai politik. Maka beberapa faksi oligarki menyusup ke partai. Golkar adalah partai rezim Soeharto yang sebagian dikuasai pengusaha-politik, mudah menyesuaikan diri dalam format politik baru. PDIP dan PAN juga menarik masuk sejumlah pengusaha sebagai pengurus.

Partai Demokrat yang melenggang menjadi partai yang memerintah (the ruling party) sama saja. Lebih belakangan, Partai Gerindra langsung dipimpin oleh figur dari keluarga konglomerat. Menyusul Partai Nasdem yang dikuasai konglomerat media dan properti. PKB dan Hanura pun ikut menarik pengusaha.

Kekuasaan oligarki di dalam partai bertambah dengan hadirnya Partai Perindo yang berada di tangan konglomerat media dan properti. Sambung menyambung oligarki semakin menguat dengan Partai Berkarya besutan keluarga Cendana. Begitu juga Partai Garuda yang disebut-sebut ada keluarga Cendana di belakangnya.

Dari realitas itu, oligarki tak hanya berada di balik partai-partai, personifikasinya pun ada di depan mata. Dalam pemilu legislatif, mereka saling bersaing. Tetapi dalam pemilu presiden, mereka berkoalisi.

Dengan banyaknya partai yang dikuasai atau dikendalikan oligarki sebagai jalur menuju aparatur negara, pemerintah dan parlemen akan sulit lepas dari cengkeraman oligarki dalam berebut sumber daya negara. Begitu pula pemerintah daerah dan DPRD. Sialnya, kekuasaan oligarki predatoris makin membuat “negara korup”.

Politik seperti itu memang bisa disebut “demokrasi oligarki” karena mengabdi pada kepentingan oligarki predatoris. Karena itu, diperlukan politik tandingan untuk memutus kondisi disorganisasi berbagai elemen masyarakat agar bangkit dan berjuang untuk redistribusi kekayaan publik. []

HENDARDI,

KETUA BADAN PENGURUS SETARA INSTITUTE

Artikel ini bersumber dari rubrik Opini Harian Kompas (12 Maret 2018) dan Kompas.id, 12 Maret 2018

https://kompas.id/baca/opini/2018/03/12/partai-partai-setelah-soeharto/