August 8, 2024

Ancaman Pseudo Democracy Pemilu 2019

Pemilihan umum adalah instrumen politik paling sahih dalam Negara demokrasi. Pemilu bahkan dinilai sebagai manifestasi kedaulatan masyarakat dalam rangka melakukan rekrutmen kepemimpinan di daerahnya masing-masing. Maka dari itu, penyelenggaraan Pemilu sudah seharusnya bersifat inklusif terhadap seluruh elemen masyarakat.

Gagasan Pemilu sebenarnya merupakan proses lanjut dari keinginan kuat untuk memperbaiki kualitas demokrasi yang berlangsung di dunia ketiga, sekaligus sebagai upaya lain untuk menghindari adanya praktek demokrasi semu (pseudo democracy) yang dapat memberangus demokrasi itu sendiri. Pemilu juga dimaksudkan untuk memenuhi hak-hak individu agar terdapat peluang yang lebih terbuka dan partisipatif dalam menentukan pemimpin sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan. Artinya, Pemilu merupakan upaya dalam memberi kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat untuk terlibat di dalam berbagai proses politik.

Kendati demikian demokratisasi membutuhkan evaluasi yang terus menerus serta berkesinambungan. Khususnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat sekaligus memajukan demokrasi itu sendiri.

Salah satu ancaman terhadap demokrasi khususnya dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 ini adalah pseudo democracy. Meminjam istilah pakar politik asal Denmark George Sorensen, inilah yang disebut dengan masa frozen democracy. Demokrasi yang terjadi adalah democracy pseudo. Semu dan beku. Dimana yang menikmati demokrasi ini hanya segelintir kaum elite saja. Potensi ini rentan terjadi pada Pemilu 2019.

Pseudo dan Ilusi Pemilu dalam Ketimpangan Ekonomi

Akar penyebab kemunculan pseudo democracy adalah ketimpangan ekonomi yang selama ini menjadi patologi dan menghambat laju demokratisasi di Indonesia. Berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Kondisi ini hanya lebih baik dibanding Rusia, India, dan Thailand.

Laporan dari Badan Pusat Statistik, per Maret 2016 Indeks Gini Ratio di Indonesia berada di angka 0,397. Meski mengalami penurunan, tingkat ketimpangan tersebut masih jauh dari target pemerintahan. Pada 2019, pemerintah menargetkan nisbah Gini turun hingga 0,36 persen.

Data di atas menunjukkan bahwa demokratisasi di Negara berkembang mengalami perjalanan yang dinamis, salah satunya adalah bangkitnya tatanan kekuatan ekonomi-politik pasca pemilihan langsung tahun 2004. Semakin terbukanya demokrasi, turut mempengaruhi preferensi politik yang semakin ekonomis.

Meningkatnya pragmatisme dalam Pemilu pun ditunjukan dengan rasionalitas ekonomi yang menguat. Salah satu kekhawatiran dalam Pemilu 2019 adalah semakin maraknya politik uang dalam pseudo democracy. Bagaimana tidak, hampir setiap perhelatan demokrasi elektoral yang melibatkan massa selalu ditemukan praktik politik uang.

Survei JPPR pada Pemilu 2014 menemukan indikasi pelanggaran pemilu dalam bentuk money politic mencapai 10 persen dan kemungkinan tindakan manipulasi suara mencapai 34 persen. Maraknya tindak politik uang dalam Pemilu dominan terjadi di daerah, hal ini senada dengan hasil penelusuran Bawaslu RI dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) tahun 2018. Bawaslu RI menemukan sekitar 58 Kabupaten/Kota yang rawan pelanggaran Pemilu terjadi. Terdapat enam wilayah yang masuk kerawanan tinggi antara lain Kabupaten Mimika (3,43), Kabupaten Panial (3,41), Kabupaten Jayawijaya (3,40), Kabupaten Puncak (3,28), Kabupaten Konawe (3,07), dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (3,05).

Terjadinya kerawanan pelanggaran Pemilu salah satunya disebabkan oleh rendahnya tingkat ekonomi yang termanifestasikan di dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) sebagai alat dalam mengukur dinamika Pemilu di daerah. Hal ini membuktikan bahwa ada korelasi yang kuat antara ketimpangan ekonomi dengan perilaku politik uang yang marak di setiap Pemilu. Apalagi dalam masyarakat pedesaan tindakan vote buying dalam Pemilu kerap kali dilakukan oleh patron di desa – oknum elite pedesaan. Jarang sekali politik uang yang dilakukan oleh oknum elite dalam Pemilu menyasar masyarakat yang tergolong pada strata menengah ke atas.

Mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk terlibat dalam Pemilu dan tingginya ketimpangan pendapatan yang terjadi membuat demokrasi hanya dinikmati oleh segelintir elite kelas menengah. Demokrasi belum menjangkau kelas-kelas bawah utamanya yang tinggal di kawasan pedesaan. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar dalam tataran elite. Kondisi ini yang kemudian berpotensi melahirkan oligarki-oligarki elite di dalam pemerintahan.

Tak dapat kita hindari bahwa modernisasi sosial dan ekonomi menghasilkan kekuatan demokrasi. Pemerataan ekonomi kemudian menjadi salah satu kunci dalam memastikan demokratisasi menjangkau seluruh elemen masyarakat.

Ketimpangan ekonomi yang terjadi menjadi problem utama yang harus teratasi, jika kemudian hal ini diabaikan maka Pemerintah sedang menghadirkan pseudo democracy tengah masyarakat. Pemilu yang seharusnya dapat menjadi kendaraan untuk membawa aspirasi dan kedaulatan masyarakat dalam dunia politik, justru menjadi ilusi dan tidak berdampak apa-apa bagi perubahan kehidupan masyarakat.

Menanti Keseriusan Pemerintah

Dari apa yang terjadi, patut kita akui bahwa Indonesia masih terjebak dalam demokrasi minimalis – lebih banyak memahami demokrasi sebagai sebuah pengklasifikasian secara umum dan prosedural sejak masa reformasi sampai sekarang. Kita sama sekali belum mencapai ranah-ranah substantif dalam iklim demokrasi seperti persaingan yang terbuka dan luas antara individu dan kelompok untuk semua posisi elektif, tingkat partisipasi politik yang inklusif dan menjamin kebebasan sipil.

Bahwa demokrasi sebagai sebuah sistem yang kita anut justru jauh dari kesempurnaan dan hakekat. Demokrasi di dalam ketimpangan ekonomi hanya sekedar mitologi dan mistifikasi yang dibesar-besarkan oleh kelempok tertentu yang sebenarnya sangat berkepentingan atas isu seperti ini. Terlebih juga sebenarnya Pemerintah tidak bersungguh-sungguh menerapkan demokrasi yang lebih sesuai dengan konteks zaman atau tetap me-reinterpretasi kembali hakikat demokrasi sehingga menemukan formula dan substansi dari demokrasi yang lebih sesuai dengan kondisi bangsa dan masyarakat kita hari ini.

Kendati demikian, sebenarnya pemerintah masih perlu merefleksikan dan mengidentifikasi formulasi yang tepat untuk memanifestasikan demokrasi secara substantif ke tengah masyarakat dan mengatasi ketimpangan ekonomi yang terjadi. Ada beberapa pendekatan yang menjadi strategi untuk mencapai asumsi yang diinginkan. Pendekatan tersebut adalah pendekatan partisipasi politik, pendekatan perubahan sosial dan pendekatan pemberdayaan masyarakat.

Pendekatan-pendekatan tersebut dimaksudkan untuk memberikan wawasan kepada masyarakat terhadap aturan-aturan yang mengikat terhadap peserta pemilu dan relasi ideal yang harus terbentuk antara peserta dan pemilih. Hal ini penting untuk dilakukan agar dapat mendegradasi pragmatisme dalam pemilu yang muncul akibat ketimpangan ekonomi. Ini adalah upaya awal untuk menangkal perluasan dampak sosial dari penyalahgunaan wewenang dari kekuasaan hasil dari Pemilu yang transaksional serta merupakan cara untuk menghindari potensi pseudo democracy terjadi.

Namun jika pemerintah masih saja melakukan pengabaian dan kemudian Pemilu 2019 tetap dilaksanakan dengan kondisi demokrasi yang seperti ini, maka bukan tidak mungkin bahwa kita sedang menjalankan demokrasi yang semu. Sebab secara prosedural kita menjalankan demokrasi, namun demokrasi yang dijalankan adalah demokrasi tanpa substansi ia hanya menjadi ilusi dan gagal untuk hadir merangkul seluruh elemen masyarakat. []

YAYAN HIDAYAT

Pegiat bidang politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)