Pilkada Serentak 2018 di 171 daerah telah menyelesai- kan tahap pendaf- taran dan penetap- an pasangan calon, setelah terlebih dulu diperiksa pemenuhan persyaratannya oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Ini merupakan pilkada serentak yang tidak hanya jumlah daerahnya yang besar tetapi juga mencakup daerah-daerah yang dikategorikan memiliki bobot politik yang seksi dalam kalkulasi politik nasional. Daerah-daerah lumbung suara seperti Provinsi Jabar, Jatim, Jateng, Sumut, Sulsel, dan provinsi lainnya menjadi taruhan politik tidak hanya saat pilkada tapi juga Pemilu 2019, terutama untuk kepentingan pemilihan presiden.
Meskipun nampak berat, namun dari sisi pelaksanaan tak perlu kita menumpuk kekhawatiran yang berlebihan. Sebagai mantan penyelenggara, saya memiliki keyakinan bahwa dengan memiliki pengalaman panjang dengan sukses dalam melaksanakan pilkada maupun pemilu penyelenggara akan dapat melaksanakan tahapan Pilkada 2018 dengan sukses pula.
Saya justru memiliki kekhawatiran yang sangat dalam terkait potensi konflik pilkada. Apanya yang dikhawatirkan? Bukankah sejatinya konflik dalam pilkada atau pemilu merupakan hal yang lumrah dan niscaya karena keduanya merupakan arena kontestasi? Bukankah konflik dalam pilkada juga dapat menjadi bagian untuk mengukur sejauh mana proses demokrasi berjalan atau tidak, bahkan konflik dapat menambah bobot demokrasi itu sendiri?
Singkatnya, bukankah konflik secara fungsional dapat membangun kesimbangan (check and balances) yang dapat mencegah adanya dominasi salah satu pihak sehingga dapat mencegah tindakan yang menciderai prinsip pemilu yang bebas dan adil (free and fair election).
Kekhawatiran mengenai konflik ini terletak ada pada dua hal, yakni konflik tidak hanya melibatkan pihak-pihak yang berkontestasi tetapi melibatkan masyarakat secara intens dan mendalam dan konflik mestinya berhenti saat pilkada telah ditetapkan pemenangnya, tetapi berlanjut hingga selepas pilkada.
Politik kontestasi saat ini tidak lagi hanya dimonopoli oleh para kontestan, tetapi juga melibatkan masyarakat secara intens dan mendalam. Pada level ini sebetulnya terdengar menggembirakan dalam upaya memperdalam makna demokrasi dalam pemilu atau pilkada. Masyarakat sepertinya sudah berubah posisi dari sekadar obyek elektoral menjadi subyek yang ikut menentukan dalam kontestasi. Namun demikian, akhir-akhir ini persepsi ini mulai berubah seiring penampakan peran politik masyarakat.
Menguatnya politik primordial dengan isu SARA dan politik transaksional, keterlibatan masyarakat tidak pada penguatan strategi untuk mendorong proses kontestasi yang demokratis dan memilih kandidat yang paling baik. Keterlibatan masyarakat justru pada wilayah penguatan mobilisasi isu SARA di satu sisi, sementara masyarakat di sisi yang lain sudah berani menghalalkan dan menganggap sebagai keharusan memilih kandidat dengan motif materi.
Kecenderungan politik kontestasi semacam ini memperlihatkan bahwa konflik tidak lagi dimonopoli oleh antar peserta atau antara peserta dengan penyelenggara atau peserta dengan negara seperti kasus pada pemilu masa Orde Baru, tetapi telah menyeret masyarakat secara mendalam dan intens. Meskipun ada banyak pandangan yang mengatakan bahwa perilaku masyarakat tersebut sangat dipengaruhi oleh kepentingan elite sehingga perilaku seperti apapun yang ditunjukkan masyarakat merupakan cerminan perilaku elite. Dengan kata lain, pandangan ini mengatakan konflik di tingkat akar rumput merupakan akibat kehendak dan provokasi elite.
Konflik tidak lagi dimonopoli oleh antar peserta atau antara peserta dengan penyelenggara atau peserta dengan negara seperti kasus pada pemilu masa Orde Baru, tetapi telah menyeret masyarakat secara mendalam dan intens.
Bagi saya, pandangan ini bisa jadi masih memiliki alasan empiriknya, namun perlu perhatian serius jika kita mengikuti perbincangan publik di berbagai media sosial yang sangat nampak individu-individu dalam masyarakat sangat aktif melakukan penyerangan secara vulgar terhadap kandidat lawan dan pendukungnya serta pembelaan buta pada kandidat yang dipilihnya.
Pembelaan dan penyerangan ini sering kali dibungkus dengan menggunakan isu-isu SARA yang justru semakin membuat perbedaan semakin tajam dan berhadap-hadapan. Sebuah realitas yang benar-benar sangat mencemaskan dalam kehidupan sosial kita. Pembelahan masyarakat yang sangat tajam tidak dapat dihindari.
Potensial direplikasi
Pilkada atau pemilu sejatinya adalah sarana mengelola konflik agar persaingan politik berlangsung secara beradab. Idealnya melalui pemilu atau pilkada, potensi konflik politik dalam setiap pergantian kekuasaan hendak dilembagakan dalam sebuah mekanisme kompetisi yang fair. Dengan begitu, konflik dapat dikelola dan menegaskan bahwa pilkada atau pemilu merupakan unsur terpenting dalam demokrasi. Namun demikian, saat ini pemilu atau pilkada sebagai cara mengatasi konflik menghadapi tantangan yang tidak ringan.
Selain keterlibatan masyarakat secara mendalam dalam konflik politik itu, saat ini kita menghadapi kenyataan bahwa konflik terus terjadi meskipun pilkada telah usai. Seperti yang ditulis Snyder (2003) benar-benar terjadi, yakni gagasan demokratisasi melalui pemilu yang menjanjikan kedamaian, pada saat yang sama sering kali menimbulkan konflik yang berkelanjutan.
Jika diasumsikan bahwa pilkada adalah sarana mengelola konflik akibat kontestasi, mestinya setelah pilkada usai dan telah ditetapkan pemenangnya, konflik dengan sendirinya berhenti, apalagi sejak awal masing-masing kandidat dan pendukungnya berjanji siap memenangi pilkada dan siap pula menerima kekalahan.
Lagi-lagi kita mengambil contoh pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang telah usai, di mana gubernur terpilih telah bekerja dan pesaingnya telah mengakui calon terpilih, namun aroma dan perilaku masyarakat masih terbelah dan terus memeliharanya. Di sinilah letak kekhawatirannya. Apa yang terjadi di DKI Jakarta terus dipelihara kemudian oleh para petualang politik akan direplikasi pada pilkada-pilkada yang akan berlangsung di 171 daerah. Tidak berhenti di pilkada, proyek pecah belah akan dilanjutkan di Pemilu 2019, terutama pemilu presiden.
Bangsa ini mestinya dapat mengambil pelajaran atas pilkada DKI Jakarta dan pemilu-pemilu di banyak negara yang tidak dapat menghentikan konflik meskipun kontestasi telah usai. Masyarakat terbelah dan rezim baru hasil pemilu tidak seratus persen fokus menjalankan program-program yang telah dijanjikan tapi banyak disibukkan dengan urusan mengatas konflik lanjutan ini.
Kita harus berjuang bersama untuk mengembalikan cita-cita demokratis pemilu atau pilkada, yakni mengatur agar persaingan politik dapat dilaksanakan secara beradab dan menghasilkan pemimpin yang diterima semua pihak. Konflik harus diarahkan sebagai energi atau bahan bakar untuk membuat demokrasi semakin berjalan di rel yang benar, bukan sebaliknya, yakni konflik menjadi bara yang terus dipelihara dan dikipasi sehingga akan terus menjadi anomali dalam proses demokratisasi pilkada dan pemilu di Indonesia. []
JURI ARDIANTORO
DOKTOR ILMU SOSIOLOGI DAN KETUA KPU RI 2016-2017
Artikel ini bersumber dari rubrik Opini Harian Kompas 12 Maret 2018 dan rubrik Opini Kompas.id dengan tautan:
https://kompas.id/baca/opini/2018/03/12/anomali-konflik-pilkada/