Pada sidang pemeriksaan pendahuluan perkara No.19/2019 yang diajukan oleh dua orang mahasiswa, hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat mengatakan bahwa permintaan agar pemilih pindahan mendapatkan semua jenis surat suara merupakan permintaan yang luar biasa. Permintaan akan menimbulkan kerumitan teknis bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebab KPU mesti memindahkan surat suara dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) asal ke TPS tujuan memilih.
“Yang dituntut itu luar biasa. Saya terdaftar di DPT (Daftar Pemilih Tetap (DPT) Semarang. Kalau saya tidka milih di sana, apakah surat suara yang di Semarang harus disiapkan di sini? Saya kan gak bisa milih untuk kepentingan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dapil DKI Jakarta. Jadi, ada kendala teknis luar biasa untuk memenuhi hak konsitusional,” kata Arief pada sidang pemeriksaan pendahuluan di gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat (14/3).
Para hakim MK memutuskan untuk mudik ke kampung halaman pada 16 April demi menunaikan hak pilih pada 17 April 2019. Hakim MK tak ingin merepotkan KPU dengan kendala teknis penyelenggarana pemilu dan tak ingin kehilangan hak.
“Tanggal 16 April, kami akan mudik ke kampung halaman agar tidak merepotkan teknis penyelenggara pemilu dan tidak kehilangan hak. Jadi, secara sadar, kita memang harus begitu,” tandas Arief.
Dua orang mahasiswa yang mengajukan uji materi, yakni Joni Iskandar dan Roni Alfiansyah Ritonga merupakan mahasiswa yang sedang menempuh studi di Kebupaten Bogor, Jawa Barat. Joni adalah warga Dusun I Desa Kuang Dalam Barat, Kecamatan Rambang Kuang, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Joni telah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik, tetapi tak terdaftar di DPT. Sedangkan Roni telah terdaftar di TPS 002, Desa Padang Matinggi, Kecamatan Rantau Utara, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara. Keduanya ingin pindah memilih di TPS sekitar kampus, karena terganjal biaya untuk pulang kampung. Joni dan Roni mengatakan ingin memberikan suara di Pemilihan Legislatif (Pileg) sebab telah memiliki preferensi pilihan politik.
“Pemohon bisa saja pulang kampong untuk dapat memilih di TPS sesuai asal atau alamat yang tertera pada e-KTP. Akan tetapi situasi, kondisi, dan terutama biaya tidak memungkinkan Pemohon I untuk pulang kampung hanya sekadar untuk memilih,” sebagaimana dikatakan Roni saat sidang.
Sama seperti pemohon perkara No.19/2019, pemohon perkara No.20/2019 juga meminta agar MK menyatakan norma mengenai aturan pemberian surat suara bagi pemilih pindahan dalam Pasal 348 ayat (4) Undang-Undang (UU) Pemilu dinyatakan inskonstitusional. Pemilih pindahan dinilai semestinya dapat diberikan semua jenis surat suara yang tersedia di TPS tujuan memilih.
(Baca: http://rumahpemilu.org/uji-materi-uu-pemilu-mk-beri-sinyal-akan-putuskan-cepat/)