Untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilu Indonesia, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melakukan sidang ajudikasi untuk memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran administrasi pemilu. Sembilan partai politik menagih keadilan melalui “tangan baru” Bawaslu. Setelah menempuh proses selama 12 hari, Bawaslu membacakan putusannya terhadap sepuluh permohonan. Sembilan permohonan dikabulkan, sementara satu permohonan, yakni milik Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) pimpinan Haris Sudarno, ditolak.
Terhadap sembilan permohonan, Bawaslu mengemukakan tiga hal yang menjadi pokok pertimbangan dalam menyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan pelanggaran administrasi tentang tata cara dan prosedur pendaftaran partai politik peserta pemilu. Pertama, berkaitan dengan kewajiban Sistem Informasi Partai Politik (Sipol). Kedua, keputusan KPU yang dikeluarkan di tengah sub tahapan pendaftaran. Dan ketiga, surat penyampaian hasil pendaftaran partai politik tertanggal 20 Oktober 2017.
Kewajiban Sipol tak merunut Undang-Undang Pemilu
Kontra pewajiban Sipol yang telah ditunjukkan Bawaslu sebelum munculnya laporan aduan dugaan pelanggaran pemilu terhadap KPU menjelma menjadi putusan majelis yang bersifat final dan mengikat. Argumentasinya tak ada yang berbeda. Satu, posisi Sipol kontradiktif di dalam PKPU No.11/2017, yakni pada Pasal 1 dan Pasal 13. Dua, Pasal 13 a quo bertentangan dengan Pasal 176 ayat (2) UU No.7/2017. Tiga, sebab bukan produk derivasi dari UU Pemilu, Sipol tak dapat dijadikan acuan utama dalam menentukan keterpenuhan persyaratan pendaftaran.
(Komentar Bawaslu terhadap Sipol KPU sebelum sidang ajudikasi dapat dilihat pada link http://rumahpemilu.org/bawaslu-ri-sipol-tak-sesuai-dengan-syarat-pendaftaran-di-uu-dan-tak-bisa-diawasi/)
Argumentasi penolakan Bawaslu bertambah setelah proses pemeriksaan pembuktian, dengan kehadiran para saksi persidangan. Pewajiban Sipol dinilai terbukti merugikan hak partai politik yang mendaftarkan diri sebagai calon peserta pemilu. Para saksi mengaku bahwa Sipol sering mengalami mati-hidup, beberapa kali terjadi maintenance, serta adanya hilang dan migrasi data. Saksi juga mengeluhkan waktu pengisian Sipol yang terlalu singkat, kurangnya sosialisasi Sipol, serta kurang memadainya infrastruktur jaringan internet di daerah.
Keterangan saksi fakta yang dihadirkan para pemohon diperkuat oleh keterangan saksi ahli di bidang Teknologi Informasi, seorang doktor lulusan Delft University bernama Hasyim Gautama, yang dipanggil oleh Bawaslu. Hasyim mengatakan bahwa Sipol, sebuah sistem yang digunakan untuk data entry, akan berakselerasi lebih baik jika menggunakan bahasa pemrograman sekelas Java dan bukan PHP. PHP tak memiliki mekanisme konfirmasi untuk memastikan data yang dimasukkan telah sampai ke database tujuan. Sipol sebagai sistem yang tergolong beresiko tinggi dan strategis juga dinilai tak andal karena mengalami mati-hidup server selama kurang lebih dua jam dalam jangka waktu empat belas hari. Semestinya, kata Hasyim, hanya satu atau dua menit.
(Keterangan Hasyim Gautama dapat dilihat di sini http://rumahpemilu.org/id/hasyim-gautama-sipol-sistem-elektronik-strategis-mestinya-ikuti-aturan-permen-kominfo/)
Keterangan Hasyim Gautama menjadi bahan pertimbangan dominan dalam putusan Bawaslu untuk aspek teknis Sipol, terbukti dari Bawaslu yang tak pernah absen menyebutkan keterangan yang bersangkutan dalam pembacaan putusan.
Adapun keterangan lain yang menjadi bahan pertimbangan Bawaslu adalah keterangan seorang ahli hukum administrasi negara yang menjadi pengajar di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, W. Riawan Tjandra. Salah satu keterangan sang ahli, yakni bahwa Pasal 13 PKPU No.11/2017 bersifat menutup hak konstitusi partai politik—padahal tafsir konstitusi menghendaki pembukaan kesempatan seluas-luasnya untuk partai politik berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara, termasuk di dalamnya pemilu—dimuat di dalam putusan Bawaslu.
(Keterangan W. Riawan Tjandra dimuat di sini http://rumahpemilu.org/id/w-riawan-tjandra-pkpu-telah-sesuai-uu-72017-kecuali-pasal-13/)
Bawaslu juga mempersoalkan kebijakan yang dilakukan KPU pada masa akhir pendaftaran. Bawaslu menulis dalam putusannya, “Bahwa di dalam sidang, terungkap fakta dari keterangan lisan Terlapor (KPU) dan kesimpulan tertulis Terlapor bahwa Terlapor merubah kebijakan pengisian Sipol kepada pemeriksaan dokumen fisik.” Kebijakan tersebut dianggap Bawaslu mengadung nilai ketidakpastian hukum dan perlakuan tak sama kepada partai politik yang mendaftarkan diri di akhir masa pendaftaran.
Atas argumentasi tersebut, Bawaslu memerintahkan agar KPU memperbaiki tata cara dan prosedur pendaftaran partai pemohon perkara dengan menerima dokumen pendaftaran sesuai ketentuan Pasal 176 dan 177 UU No.7/2017.
KPU tak dibenarkan mengeluarkan keputusan di sub tahapan proses pendaftaran
Bawaslu menggunakan Pasal 176 dan Pasal 178 sebagai dasar hukum dalam menyatakan bahwa KPU tak dibenarkan mengeluarkan keputusan pendaftaran pada sub tahapan proses pendaftaran. Keputusan baru sah dikeluarkan apabila KPU telah melakukan penelitian adminsitrasi untuk memeriksa keabsahan dokumen pendaftaran. Oleh sebab itu, Bawaslu memerintahkan dalam putusannya agar KPU memeriksa kelengkapan dokumen fisik persyaratan pendaftaran partai pemohon.
“Pada sub tahapan pendaftaran partai politik, KPU tidak diberikan wewenang untuk melakukan penilaian atas persyaratan pendaftaran sekaligus menyatakan PKPI tidak dilakukan penelitian administrasi berdasarkan Pasal 176 UU No.7/2017. … Dengan demikian, KPU dalam melakukan penilaian persyaratan pendaftaran pada sub tahapan pendaftaran melanggar prosedur administrasi pemilu,” seperti termuat di dalam Putusan Bawaslu untuk perkara No.001.
Surat pemberitahuan hasil pemeriksaan pendaftaran cacat prosedur
Surat pemberitahuan perihal hasil pemeriksaan pendaftaran yang menerangkan bahwa partai politik para pemohon tidak memenuhi kelengkapan dokumen dan tidak dilakukan penelitian administrasi diputuskan oleh Bawaslu sebagai cacat prosedur. Argumentasi ini didapatkan dari keterangan saksi ahli Partai Bulan Bintang, Andi Muhammad Asrun, dan W. Riawan Tjandra.
Andi menerangkan bahwa surat keputusan yang diberikan KPU kepada partai politik semestinya diberikan setelah melewati fase administrasi, yakni setelah dilakukan penelitian administrasi kepada dokumen fisik pendaftaran dan disampaikan pada saat penyampaian hasil penelitian administrasi. Keputusan yang diambil hanya dengan mekanisme Sipol, terlebih Sipol tak dapat menilai keabsahan dokumen yang diunggah partai politik, merupakan produk kerja yang prematur.
“Jadi, surat itu baru bisa disampaikan pada saat penyampaian hasil penelitian administrasi. Jadi, bukan suatu tindakan yang prematur. Nah, hasil kerja Sipol itu hasil kerja prematur,” kata Andi.
Kemudian, Andi juga menegaskan bahwa sebelum keputusan diambil, KPU seharusnya memanggil partai politik yang bersangkutan. Partai politik memiliki hak untuk menjelaskan.
“Seharusnya sebelum dilakukan tindakan, KPU memanggil partai yang bersangkutan. Kalau tidak memanggil, keputusan itu cacat secara hukum. Jadi, keputusan KPU cacat prosedur,” tandas Andi pada sidang di kantor Bawaslu RI, Gondangdia, Jakarta Pusat (10/11).
Riawan, yang memberikan keterangan pada hari yang sama jam berbeda, mengkonfirmasi keterangan Andi. Menurutnya, jika merujuk pada prinsip perlindungan hukum, ada satu fase yang mesti dijalankan KPU sebelum mengeluarkan keputusan, yakni memanggil pihak yang bersangkutan. KPU pun mesti menuangkan keputusan dalam surat keputusan yang jelas agar partai politik dapat mengambil langkah hukum setelahnya.
“Sebelum, harus didengar pendapat dari pihak yang akan menerima putusan itu. Dan setelahnya, dia berhak untuk menjawab dan menggugat di pengadilan,” kata Riawan.
Sipol tetap dibutuhkan
Bawaslu tak beranjak dari pandangan awal bahwa penataan data partai politik dibutuhkan melalui Sipol. Namun, Sipol tak dapat menjadi penentu lolos atau tidak lolosnya partai dalam proses pendaftaran peserta Pemilu 2019. Oleh karena itu, Bawaslu memerintahkan agar partai politik pemohon perkara mengisi data di Sipol setelah dinyatakan lolos penelitian administrasi.
“Dibutuhkan alat bantu bagi KPU untuk mendokumentasikan data partai politik dan akses publik terhadap data partai politik,” tulis Bawaslu dalam putusan tertulis.
KPU diperintahkan oleh Bawaslu untuk melaksanakan putusan paling lambat tiga hari kerja sejak pembacaan putusan.