Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menyampaikan pihaknya menemukan 42 kasus dugaan joki panitia pemutakhiran data pemilih (pantarlih) di DKI Jakarta. Joki pantarlih juga ditemukan oleh Bawaslu Nusa Tenggara Barat (NTB) di Kabupaten Lombok Timur. Temuan ini telah dilaporkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti.
“Saat melakukan audit terhadap kegiatan coklit (pencocokan dan penelitian), yang melakukan coklit di keluarga itu bukan pantarlih yang ditugaskan. Lalu pengawas desa melapor ke panwascam (pengawas kecamatan), panwascam kemudian memverifikasi di lapangan. Ternyata, setelah dikonfirmasi ke pantarlih yang bersangkutan, memang pantarlih meminta kakaknya untuk mengumpulkan KK (Kartu Keluarga) di tempat kerja. Nah, berdasarkan temuan itu, Bawaslu merekomendasikan ke KPU kabupaten,” urai Ketua Bawaslu NTB, Itratip, pada diskusi “Fenomena Joki Pantarlih Pilkada 2024” yang disiarkan oleh TVRI Nasional (22/7).
Pengawasan Bawaslu melalui pengawas desa terhadap proses coklit dilakukan dengan mekanisme uji petik sebanyak 10 KK per hari. Hasil pengawasan disampaikan kepada Bawaslu Kabupaten/Kota setiap minggu. Bawaslu Kabupaten/Kota kemudian menyampaikan saran perbaikan kepada KPU Kabupaten/Kota.
“Sebagai bentuk akuntabilitas kinerja, setiap satu minggu sekali, kami melakukan publikasi terkait temuan kita. Kami ada kok video-video konfirmasi yang sudah kami lakukan. Sudah didokumentasikan,” tandas Itratip.
Menurutnya, ada dua faktor yang menyebabkan munculnya fenomena joki pantarlih. Pertama, latar belakang pantarlih yang merupakan staf desa atau orang yang telah memiliki pekerjaan menyebabkan pantarlih hanya melakukan tugas di waktu luang. Kedua, honorarium pantarlih yang diseragamkan untuk semua TPS di seluruh Indonesia tak sepadan untuk pantarlih yang mesti bertugas di wilayah dengan tantangan geografis yang sulit.
“Di kota, hampir tidak ada kendala soal biaya mereka turun lapangan. Tetapi ketika bekerja di daerah pegunungan, di satu kabupaten yang jarak antar rumah itu satu kilo dua kilo, apakah honor satu juta itu sepadan atau tidak. Hal ini harus menjadi pertimbangan ke depan,” pungkas Itratip.
Menanggapi Bawaslu NTB, Anggota KPU RI, Betty Epsilon Idroos mengatakan pihaknya sedang melakukan konfirmasi ke KPU Kabupaten/Kota. Ia menyangsikan laporan yang disampaikan Bawaslu, sebab KPU telah menyediakan mekanisme pemantauan kinerja pantarlih melalui dua hal. Pertama, pertemuan mingguan di kelurahan untuk mengumpulkan semua pantarlih di satu kelurahan, sebagai forum untuk melaporkan perkembangan coklit di wilayah kerja masing-masing. Kedua, aplikasi e-coklit yang dapat memberikan informasi terkait pergerakan pantarlih dalam melakukan coklit, juga merekam data perkembangan coklit setiap hari.
“Secara prosedur, KPU di seluruh Indonesia menyiapkan tools. Minimum sekali seminggu mereka bertemu di kantor kelurahan untuk kroscek kerja-kerja pantarlih. PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) akan meneruskan ke KPU Kabupaten/Kota. Dari KPU RI, memang tidak semua TPS bisa terlihat secara langsung, tetapi gerakan longitudinal pergerakan pantarlih bisa dilihat dari e-coklit,” jelas Betty, pada diskusi yang sama. []