August 8, 2024

Beberapa Skenario Penundaan Pemungutan Suara Pilkada 2020

Penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) yang mengatur penundaan Pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 didesak. Beberapa opsi skenario waktu perlu disiapkan.

Penundaan empat tahapan Pilkada 2020 dan perpanjangan masa darurat Covid-19 berimbas pada mundurnya tahapan lain. Bukan tak mungkin, hari pemungutan suara—yang diamanatkan UU Pilkada Pasal 201 ayat (6)—digelar pada 23 September 2020 juga mesti mundur. Skenario pengunduran hari pemungutan suara menjadi wewenang penuh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Ini kita serahkan sepenuhnya kepada KPU. KPU melihat perkembangan kebencanaan ini—apakah sudah selesai sampai bulan Mei atau belum,” kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) sebagai wakil pemerintah, Sigit Pamungkas, dalam diskusi daring “Covid-19 Mewabah: Presiden Perlu Segera Terbitkan Perppu Penundaan Pilkada” (29/3).

Opsi terbuka

Di diskusi yang sama, Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas menilai Perppu tidak perlu menyebutkan waktu-waktu tertentu penundaan pilkada secara spesifik. Penyebutan waktu secara spesifik di tengah situasi ketidakpastiaan akhir pandemi Covid-19 ditakutkan akan membutuhkan Perppu penundaan kembali jika dalam waktu yang telah ditentukan Pilkada tak kunjung bisa dilaksanakan.

Perppu cukup menyebut, pemerintah menentukan dua bulan setelah tanggap darurat pandemi Covid-19 (status: keadaan tertentu bencana) dicabut, KPU diperintahkan menetapkan tahapan Pilkada.

“Pemerintah memberi delegasi kepada KPU untuk menyelenggarakan tahapan jika wabah telah selesai,” tandas Feri.

Tiga opsi KPU

KPU menyiapkan tiga skenario. Skenario pertama menyesuaikan pada situasi tanggap darurat pandemi Covid-19 yang diperpanjang hingga 29 Mei 2020. Dengan asumsi ini, hari pemungutan suara dilaksanakan Desember 2020.

Skenario kedua, hari pemungutan suara dilaksanakan Maret 2021—diundur enam bulan dari semula. Simulasi ini diambil dengan asumsi Covid-19 mereda pada September 2020 dan masyarakat sudah beraktivitas secara leluasa. Simulasi ini juga mempertimbangkan tahapan yang membutuhkan massa dalam jumlah banyak yang dimulai enam bulan sebelum hari pemungutan suara.

Skenario ketiga, hari pemungutan suara dilaksanakan September 2021—diundur satu tahun dari semula. Skenario ini disiapkan melihat perkembangan yang memprediksi bahwa Covid-19 akan berhenti di Oktober 2020. Skenario ini adalah skenario paling leluasa agar KPU tidak melakukan penundaan berkali-kali jika tidak cukup ruang.

“Kita perlu berkoordinasi dengan BNPB untuk memprediksi atau bahkan memastikan kapan bencana Covid-19 ini bisa selesai,” tegas Arief Budiman, Ketua KPU, pada diskusi yang sama (29/3).

Opsi penyesuaian dengan putusan MK

Selain tiga opsi yang disiapkan KPU, muncul juga opsi skenario penundaan Pilkada 2020 yang menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 55/PUU-XVII/2019. Dalam putusan yang membahas soal keserentakan pemilu ini, ada opsi pemilu serentak nasional-lokal. Pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota dilaksanakan beberapa waktu setelah pemilu serentak nasional. Dengan mengacu pada putusan tersebut, Pilkada 2020 diundur ke pertengahan tahun 2022—dua setengah tahun setelah Pemilu Nasional 2019.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai penyesuaian ini perlu kajian panjang penataan jadwal pemilu dan pilkada secara keseluruhan termasuk soal masa jabatan.

“Ini bisa dikaji bersama-sama apakah kita mau menyesuaikan Pilkada 2020 dengan model jadwal pemilu dan desain pemilu serentak yang sudah dibuka opsinya oleh MK,” kata Khoirunnisa N. Agustyati, Deputi Direktur Perludem (29/3).

Menurut Khoirunnisa, penataan jadwal ini lebih baik dibahas lebih lanjut pada revisi Undang-undang Pemilu dengan juga mengikutkan revisi Undang-undang Pilkada, bukan pada Perppu. Perppu cukup mengatur penundaan Pilkada 2020 karena ada hal ihwal kegentingan memaksa.

Keterbukaan pengambilan keputusan opsi penundaan

Dari berbagai opsi yang ada, pengambilan keputusan skenario mana yang dipilih perlu dilakukan secara transparan. Pemerintah atau KPU perlu membuka argumen-argumen yang mendasari pemilihan opsi penundaan. Dalam keputusannya, KPU perlu menjelaskan pendapat dari tenaga medis profesional dan juga pandangan dari seluruh aktor pemilu—penyelenggara di daerah, kandidat, partai politik pengusung, dan pemilih atau  masyarakat sipil.

“Yang terpenting informasi terkait penundaan pilkada ini harus dibuka transparan kepada masyarakat. Apalagi ini terkait pemenuhan hak politik masyarakat untuk memilih kepala daerah,” tegas Khoirunnisa.