August 8, 2024

Belajar dari Pemilu “Serentak” Filipina

Pemilu Filipina 2016 merupakan kali pertama bagi Filipina menyatukan penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu anggota parlemen. Ini pun merupakan kali pertama bagi negara-negara di regional Asia Pasifik. Penting menjadi pembelajaran bagi negara lain, khususnya yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial. Salah mempelajari, yang dihasilkan hanyalah penyelenggaraan pemilu yang bertambah kompleks.

Pada 9 Mei 2016, warga berhak pilih di Filipina yang ke TPS diberikan selembar surat suara yang dua permukaannya digunakan memilih. Permukaan pertama berisi pilihan ragam calon personal. Permukaan kedua berisi ratusan pilihan partai politik. Kebutuhan efisiensi biaya pemilu terpenuhi di sini karena dari 11 jenis posisi jabatan politik hanya menggunakan satu surat suara.

Ragam pilihan calon personal pada surat suara pertama adalah: 1. Calon presiden, 2. Calon wakil presiden, 3. Calon senator,4. Calon anggota perwakilan (DPR) jalur perseorangan, 5. Calon gubernur, 6. Calon wakil gubernur, 7. Anggota dewan provinsi; 8. Calon wali kota, 9. Calon wakil wali kota, 10. Calon konselor.

Permukaan kedua merupakan pemilu memilih lembaga perwakilan unsur partai politik (house of representative). Hanya ada nomor urut dan nama partai di surat ini. Tak ada lambang partai. Tak ada pula daftar nama calon anggota legislatif kecuali di daerah pemilihan Mindanao.

Kekuatan pemilu serentak Filipina

Pemilu house of representative/DPR Filipina dengan Indonesia berbeda pada variabel sistem besaran daerah pemilih (district magnitude/DM). 80% DM pemilu Filipina hanya 1 kursi menggunakan sistem pemilu plurality varian first past the post (FPTP). Sedangkan pemilu DPR Indonesia menggunakan sistem proporsional representatif daftar calon (PR candidate list) dengan jumlah kursi 3-10.

Sebelum konteks pemilu serentak Filipina berlangsung, pakar pemilu, Didik Supriyanto menjelaskan, semakin banyak jumlah kursi dalam satu dapil, semakin tinggi fragmentasi partai di parlemen. Artinya, banyak kursi di satu dapil merupakan faktor determinan pemerintahan terbelah sistem presidensial. Pemerintahan terbelah berbentuk presiden yang tak didukung partai/koalisi mayoritas parlemen akan tersendat dan cenderung dilancarkan kebijakannya melalui praktek korupsi.

Berdasarkan kerja sistem pemilu, satu kursi tiap dapil pemilu Filipina mendorong terbentuk fragmentasi partai yang sangat sedikit di parlemen. Semakin lama diterapkan akan mengarah dua polarisasi sistem kepartaian. Sedangkan besaran dapil 3-10 kursi di dapil Pemilu Indonesia terbukti selama ini menyebabkan fragmentasi partai yang tinggi di parlemen. Fragmentasi parlemen hasil Pemilu Filipina 2010 adalah 4,5 sedangkan fragmentasi DPR hasil Pemilu Indonesia 2014 adalah 9.

Variabel sistem besaran dapil pemilu Filipina itu perlu disesuaikan dengan pemilu Indonesia. Memang tak bisa dijadikan satu tiap dapil dengan sistem pemilu plurality FPTP tapi perlu dikurangi menjadi 3-6 kursi. Ini berlaku untuk pemilu DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Jumlah kursi tiap dapil yang terlalu banyak di pemilu DPR dan DPRD sebetulnya menyimpang dari prinsip sistem proporsional. Pengertian “proporsional” sebagai sistem pemilu adalah bagaimana pemilu sebagai konversi suara menjadi kursi menjadi mekanisme yang sesuai. Keadilan sistem proporsional adalah kesesuaian antara persentase perolehan suara dengan persentase perolehan kursi. Jika partai A memperoleh 30% suara di pemilu, maka partai A memperoleh 30% kursi di parlemen.

Yang terjadi selama ini persentase kursi yang diperoleh partai tak proporsional dengan persentase suara yang didapat. Sebagai contoh dapil Nusa Tenggara Barat di Pemilu 2014. Semua partai dari dapil NTB untuk DPR mendapatkan 1 kursi, merata. Padahal persentase perolehan suara antara yang tertinggi dan terendah sangat jomplang. Golkar yang terbanyak mendapat 333.282 suara dari suara sah 2.760.082 (12%) hanya mendapatkan 1 kursi. Sedangkan Nasdem hanya 37.889 suara (1,3%) juga mendapatkan 1 kursi.

Kelemahan pemilu serentak Filipina

Jika merujuk pada ragam jabatan politik dan pembagiannya pada dua permukaan selembar surat suara, Pemilu Filipina 2016 bukanlah pemilu serentak. Sebetulnya, pemilu serentak (concurrent election) adalah penggabungkan pemilu eksekutif dan pemilu legislatif dalam satu tahapan penyelenggaraan khususnya tahap pemungutan suara. Tujuannya untuk menciptakan pemerintahan kongruen atau menghindari pemerintahan terbelah (divided government) yang berwujud jumlah kursi mayoritas parlemen bukan dimiliki partai atau koalisi partai yang mengusung presiden terpilih.

Pengertian dan tujuan pemilu serentak itu tak terpenuhi pada Pemilu Filipina 2016. Pada permukaan pertama, pemilu Filipina menggabungkan pemilu pemimpin eksekutif semua tingkatan, nasional dan lokal sekaligus. Ada 5 calon presiden, 6 calon wakil presiden, 275 calon gubernur untuk 81 provinsi, 206 calon wakil gubernur untuk 81 provinsi, 407 calon walikota untuk 145 kota, 350 wakil walikota untuk  145 kota.

Padahal disain pemilu serentak berfungsi mengoptimalkan efek menarik kerah (coattail effect) pemilu presiden terhadap pemilu anggota parlemen perwakilan partai. Pemilu dewan perwakilan partai malah dipisahkan/bertolak belakang permukaan surat suaranya dengan pemilu presiden.

Pemilu Filipina pun malah menyatukan pemilu presiden dengan pilkada provinsi dan kota. Seharusnya, jika pemilu serentak berkonsep menyatukan pemilu eksekutif dan legislatif, pilkada disatukan dengan pemilu parlemen lokal. Ini yang dinamakan pemilu serentak lokal.

Keberadaan pemilu serentak lokal merupakan kebutuhan bagi negara bersistem presidensial yang memilih langsung presidennya. Pemilu serentak lokal yang jaraknya 2 atau 2,5 tahun bisa menjadi momen koreksi bagi pemerintahan presidensial.

Kelebihan sistem pemerintahan presidensial adalah periode jabatan presiden yang pasti. Tapi periode yang pasti ini juga menjadi kelemahan presidensial. Kalau kinerja presiden buruk harus tunggu sampai jabatannya habis. Tak bisa diturunkan, kecuali melanggar hukum. Pemilu serentak lokal menjadi koreksi pemerintahan nasional di tengah masa jabatan presiden. Jika tak memuaskan, presiden dan partai pengusungnya bisa dihukum di pemilu serentak lokal, dengan memilih calon dan partai lain di semua tingkat daerah. Tapi jika kinerja presiden memuaskan, pemilu serentak daerah akan memperkuat relasi pusat dan daerah.

Pemilu 2016 yang diselenggarakan Filipina sebetulnya bukan lah pemilu serentak. “Syncronized elections,” sebut direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini yang langsung mengamati di Manila, Filipina. Syncronized elections hanya berdasar efisiensi biaya pemilu.

Disimpulkan, Pemilu Filipina 2016 semata menambah kompleksitas. Tak lebih. Negara lain, semestinya belajar untuk tak mengulangi kesalahan ini dalam merancang dan menyelenggarakan pemilu serentaknya. []

USEP HASAN SADIKIN