Undang-undang Pilkada melanjutkan larangan kampanye di rumah ibadah seperti undang-undang pemilu lalu. Revisi kedua tak menggubris Pasal 69 perihal yang dilarang dalam kampanye. Sehingga, larangan dalam kampanye Pilkada 2017 tetap merujuk pada revisi pertama, UU No.8/2015. Ketentuan huruf i berbunyi, melarang penggunaan tempat ibadah untuk berkampanye.
Bagian Penjelasan UU No.8/2015 tak menjelaskan “tempat ibadah” seperti apa yang dilarang digunakan untuk kampanye. Penjelasan Pasal 69 ketentuan huruf i cuma bertuliskan, “cukup jelas”. Undang-undang pilkada berarti melarang semua tempat ibadah, tanpa kecuali. Di mana pun lokasinya, siapa pun pemiliknya, bagaimana pun bentuknya, tempat ibadah dilarang untuk kampanye. Titik.
Berarti, Pasal 69 menyamakan “tempat ibadah” pada ketentuan huruf i dengan fasilitas negara/Pemerintah daerah pada ketentuan huruf h. Sehingga, undang-undang pilkada mencampuradukan kepemilikan masyarakat dengan kepemilikan negara/Pemda. Semua masjid (/mushola), gereja, vihara, pura, dan tempat ibadah lainnya harus bersih dari kampanye sama halnya ruang rapat, aula, atau gedung serba guna milik negara/Pemda.
Padahal, tempat ibadah jauh lebih banyak yang dimiliki masyarakat dibanding milik negara/Pemda. Tempat ibadah plat hitam tersebar luas di luar area atau bangunan pemerintahan. Sedangkan tempat ibadah plat merah biasanya hanya ada di area atau bangunan milik Pemerintah.
Menyamakan ketentuan huruf i dengan ketentuan haruf h berarti melanjutkan sekulerisasi yang sesat. Di satu sisi, anggaran negara/daerah dialokasikan bagi kepentingan privat kelompok tertentu dalam bentuk penyediaan tempat ibadah. Di sisi lain, negara melalui regulasi pilkada memisahkan politik dari perbincangan publik umat beragama di dalam tempat ibadah.
Jika negara melarang tempat ibadah plat hitam untuk kampanye, negara tak hanya mensekulerkan tempat ibadah tapi juga telah memaksa keyakinan(/tafsir) beragama. Di sini negara melalui regulasi publik, mengintervensi keyakinan individu bahkan (sebagian) masyarakat beragama. Negara menjadi diskriminatif karena menilai, pemeluk agama yang benar adalah yang membersihkan tempat ibadah dari kampanye politik, secara bersamaan negara menyalahkan sekaligus menghukum pemeluk agama yang berkampanye di tempat ibadah.
Intervensi negara terhadap keyakinan agama dan kewenangan tempat ibadah dalam masyarakat jelas tak relevan. Selain inkonstitusional, ketaatan beragama cenderung menempatkan kitab suci lebih tinggi dari konstitusi. Pelarangan kampanye di tempat ibadah berpotensi dilanggar sekaligus dibiarkan. Dampaknya, pilkada bukan hanya kehilangan tindak penegakan hukum tapi juga akan terus diganggu pada pelaporan pelanggaran.
Tak sedikit individu/kelompok warga yang berkeyakinan, berpolitik merupakan bentuk kepedulian terhadap publik/umat. Sehingga, politik merupakan bagian dari keimanan. Karena berdasar iman, maka konsep keagamaan ditempatkan sebagai rujukan terluhur.
Keaktualan umat beragama pun berkebutuhan memaknai agama tak hanya urusan relasi vertikal terhadap Tuhan tapi juga berdampak secara horizontal terhadap keluarga, masyarakat, dan negara. Agama diyakini bisa memberikan solusi permasalahan diri dan keluarga sekaligus permasalahan publik dalam masyarakat dan negara.
Pada konsepsi itu, membincangkan aspek publik para pejabat publik merupakan kebutuhan. Sewajarnya jamaat dalam tempat ibadah membincangkan kepentingan publik, termasuk memilih kepala daerah. Kriteria kepala daerah tentu tak bisa dilepaskan.
Tempat ibadah menjadi pilihan tempat pemeluk agama menyertakan kolektivitasnya untuk menetapkan kriteria kepala daerah. Bisa jadi, kriteria menekankan pada kualitas jejak rekam yang baik seperti antikorupsi. Bisa juga, perbincangan mengarah pada kriteria kualitas jejak rekam sekaligus kriteria seiman. Sehingga, wajar jika di dalam tempat ibadah ada himbauan yang secara langsung/tak langsung memilih kandidat tertentu. Menjadi tak wajar (dan harus dihukum) jika himbauan menyertakan dan menganjurkan pemaksaan juga kekerasaan.
Adalah tugas penyelenggara pemilu merinci ketentuan undang-undang menjadi peraturan yang lebih prospek dijalankan. UU No.8/2015 Pasal 69 ketentuan huruf i yang melarang tempat ibadah digunakan kampanye menjadi relevan dijalankan jika dikaitkan ketentuan huruf h. Artinya, dilarang/diperbolehkan-nya tempat ibadah untuk kampanye berkait kepemilikan negara/Pemda. Tempat ibadah milik Pemerintah, dilarang untuk kampanye. Tempat ibadah milik masyarakat, boleh untuk kampanye.
Jika peraturan penyelenggara pemilu tidak mengaitkan ketentuan huruf h dan huruf i, pemilu jujur dan adil sebagai buah Reformasi kembali melanjutkan sandiwara kehidupan antar-SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Identitas SARA cenderung bersikap dua muka. Secara pengakuan menerima semua ragam identitas seperti penerimaan terhadap identitas yang melekat tapi diam-diam berkonsolidasi dalam kelompok berdasar klaim eksklusivisme identitas. Konflik tak disalurkan bebas-terbuka tapi dipendam sehingga berpotensi meledak, menghancurkan demokrasi. []
USEP HASAN SADIKIN