November 15, 2024

Bukan Sekedar Kertas

Surat suara merupakan salah satu perlengkapan dalam tahapan pemungutan suara. Namun ternyata surat suara dalam pemilu bukan sekedar lembaran kertas. Melalui kertas suara pemilih memberikan pilihannya dan dari pilihan inilah kemudian yang akan dihitung untuk menentukan siapa pemenang pemilu.

Untuk itulah  metode pemberian suara menjadi salah satu variable dalam sistem pemilu. Hal ini dapat terlihat ketika proses pembahasan RUU Pemilu. Isu mengenai metode pemberian suara selalu menjadi isu yang paling lama diperdebatkan. Dalam konteks ini perdebatan yang sering terjadi adalah mengenai apakah menggunakan metode pemberian suara di mana pemilih langsung dapat memilih caleg yang menjadi preferensinya (sistem proporsional terbuka, di dalam surat suara terdapat daftar caleg) atau metode di mana pemilih hanya dapat memilih tanda gambar partai politik (sistem proporsional tertutup, di dalam surat suara tidak terdapat daftar caleg).

Lalu sebenarnya apa signifikansi dari surat suara? The International IDEA dalam workshop yang berjudul “The Ballot- A simple piece of paper or an instrument of power?” menyebutkan terdapat empat signifikansi dari surat suara, yaitu; sebagai sarana “tatap muka” antara kandidat dan konstituennya, sebagai sarana untuk menentukan pilihan politik masyarakat, sebagai dasar untuk meghitung dan mengalokasikan kursi pemenang pemilu, dan sebagai artefak sejarah.

Sebagai ilustrasinya menarik untuk melihat apa yang terjadi pada pemilihan presiden Amerika Serikat di tahun 2000 khususnya di negara bagian Florida. Pada saat itu terjadi perselisihan hasil pemilu yang digugat oleh Al Gore sebagai calon presiden dari Partai Demokrat. Hal ini disebabkan karena desain surat suara yang ada di negara bagian Florida dianggap membingungkan pemilih sehingga pemilih salah dalam memberikan pilihannya dan menguntungkan salah satu pasangan calon dalam hal ini George W. Bush sebagai calon dari Partai Demokrat. Desain surat suara di negara bagian Florida pada saat itu dikenal dengan istilah butterfly ballot karena bentuknya seperti kupu-kupu yang memiliki dua sisi.  Nama kandidat terdapat dalam dua sisi tersebut dan di tengahnya terdapat kolom untuk memilih kandidat yang dipilihnya (lihat gambar).

Sumber: https://www.theguardian.com/us-news/2019/nov/19/bad-ballot-design-2020-democracy-america

Desain suara yang seperti ini dianggap membingungkan pemilih dan salah memilih, khususnya bagi pemilih yang akan memilih Al Gore. Dari sini kita dapat lihat bahwa desain surat suara dapat menentukan hasil dari pemilu. Skandal surat sura ini kemudian diadopsi sebagai film yang berjudul “Recount” di tahun 2008.

Lalu bagaimana dengan konteks Indonesia? Indonesia menyelenggarakan pemilu serentak pertama pada tahun 2019. Alasan diberlakukannya pemilu serentak antara lain karena untuk mendorong berlakunya coattail effect (efek menarik kerah) karena diserentakkannya antara pemilu presiden dan pemilu legislatif. Maksudnya adalah keterpilihan presiden akan didukung oleh keterpilihan partai politik pendukungnya, sehingga presiden akan mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Hal ini untuk mencegah terjadinya pemerintahan terbelah (divided government) yang berpotensi terjadi pada sistem pemerintahan presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multipartai. Coattail effect ini yang diharapkan akan menjadi salah satu instrument untuk mendorong penguatan sistem presidensial di Indonesia.

Tetapi hasil pemilu menujukkan bahwa coattail effect tersebut ternyata tidak terlalu berdampak pada hasil Pemilu 2019. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut, dan salah satunya adalah pada model surat suara. Seperti kita alami bersama bahwa surat suara pada pemilu serentak 2019 terpisah-pisah antarpemilihan, khususnya antara pemilu presiden dan pemilu DPR. Pemilih mendapatkan lima jenis surat suara. Hal ini yang menyebabkan antarpemilihan tersebut berjalan sendiri-sendiri. Dalam kampanye misalnya, caleg DPR belum tentu akan mengampanyekan pasangan calon presiden yang diusung oleh partai politiknya di daerah pemilihan.

Untuk mewujudkan berjalannya coattail effect ini salah satunya bisa dilakukan dengan mengubah desain surat suara pemilu serentak, khususnya untuk pemilu presiden dan pemilu DPR. Surat suara untuk pemilu presiden dan pemilu bisa digabungkan dalam satu surat suara. Kita bisa melakukan perbandingan dengan negara-negara lain yang menggabungkan surat suara untuk pemilu presiden dan pemilu DPR, misalnya Sri Lanka.

Untuk pemilu DPR dengan sistem prorposional terbuka pun tetap bisa menggabungkan surat suara antara pemilu presiden dan pemilu DPR, tanpa harus memasukkan daftar nama calegnya. Di dalam surat suara hanya berisikan foto pasangan calon lalu diikuti oleh partai politik pendukunganya. Kemudian di dalam surat suara tidak perlu dicantumkan nama caleg, tetapi nomornya saja. Dengan model surat suara seperti ini maka akan mendorong pemilih untuk bisa memilih presiden yang diikuti dengan pilihan partai politik yang mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dipilihnya. Sementara jika sistem proporsional tertutup yang dipilih tentu surat suaranya akan lebih sederhana. (Lihat ilustrasi)

Ilustrasi untuk sistem proporsional terbuka

Ilustrasi oleh: Usep Hasan Sadikin

Ilustrasi untuk sistem proporsional tertutup

Ilustrasi oleh: Usep Hasan Sadikin

Desain seperti ini juga bisa diterapkan untuk pemilu daerah. Apalagi jika kita memilih pilihan desain pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah. Bahwa penting juga untuk mewujudkan penguatan pemerintahan di daerah, mengingat pemilu eksekutif daerah dan pemilu legislatif daerah juga dipilih secara langsung oleh rakyat.

Desain tersebut akan membuat coattail effect di pemilu daerah. Dengan digabungkannya surat suara antarpemilihan khususnya pemilu presiden dan pemilu DRP, pemilu kepala daerah dengan DPRD maka akan semakin optimal coattail effect dan akan terhindar dari pemerintahan terbelah. []

KHOIRUNNISA NUR AGUSTYATI

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi