Menyalahkan kaderisasi pemimpin di partai politik dari permasalahan calon tunggal merupakan kesimpulan jauh panggang dari api. Sebaik apapun kaderisasi pemimpin di partai, dengan anomali sistem pemerintahan dan pemilu Indonesia saat ini, pilkada sangat mungkin bercalon tunggal. Di keadaan partai yang makin pragmatis pun, masih ada anggota partai berkepemimpinan baik. Jika rakyat banyak lebih butuh pemimpin yang ganteng, ndeso, atau galak, kualitas kaderisasi dan kepemimpinan tak jadi prioritas.
Selain itu, menyimpulkan pembahasan calon tunggal dengan mempersoalkan kaderisasi partai politik terlalu menyederhanakan konteks Pilkada 2015. Penyederhanaan ini seperti menyamakan semua keadaan. Apapun masalah politik, penyebabnya selalu partai.
Sebab calon tunggal
Nalar kontestasi di pemilu adalah elektabilitas, bukan soal kualitas. Keikutsertaan partai di pemilu, baik sebagai kontestan langsung, koalisi, atau memajukan calon, adalah untuk memenangkan kursi. Pemilu sebagai mekanisme demokrasi yang mengkonversi suara menjadi kursi sebisa mungkin mendekatkan makna elektabilitas sebagai kehendak rakyat yang demokratis.
Tinggi elektabilitas bisa disebabkan dua hal. Pertama, banyak dari setiap diri di masyarakat menginginkan satu nama untuk menjadi pejabat publik terpilih dalam pemilu. Kedua, dominasi politik dinasti yang terlalu menjalar berdampak pada transisi pemerintahan tak kompetitif. Jika hitung-hitung cepat elektabilitas sudah berbeda terlalu jauh, untuk apa ikut mencalonkan bersaing dengan calon tunggal? Naïf jika ikut pemilu bukan untuk meraih kursi.
Selain faktor umum berupa elektabilitas itu, ada faktor khusus yang sifatnya kontekstual. Di Pilkada 2015, keadaan regulasi menjadi faktor khusus yang lebih memungkinkan pilkada mempunyai calon tunggal dibanding pilkada sebelumnya.
Pertama, Pilkada 2015 hanya satu putaran. UU No.8/2015 mengubah sistem pemilu di pilkada menjadi murni sistem mayoritarian. Pilkada satu putaran, jauh lebih mengurangi kemungkinan keterpilihan di luar radar elektabilitas. Sikap berharap-harap calon berelektabilitas rendah di pilkada dua putaran cenderung hilang. Prinsip sistem satu putaran terlalu ketat, siapa yang meraih suara terbanyak, berapa pun jumlah suaranya, calon tersebut yang memenangkan pemilihan.
Kedua, tingginya syarat dukungan pencalonan jalur perseorangan. UU No.8/2015 menambah syarat dukungan KTP penduduk daerah pemilihan, dari 3-6,5% ke 6,5-10%. Sebagai gambaran sangat sulitnya persyaratan ini, seorang petahana bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari hampir tak memenuhi syarat pengumpulan jumlah KTP sebagai calon perseorangan.
Ketiga, syarat pengunduran diri anggota dewan yang mau mencalonkan di pilkada. Ini berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. Merupakan pengetahuan umum, kader terbaik dan terpopuler partai lebih banyak yang duduk di kursi dewan, khususnya DPR. Lebih banyak dari mereka yang tak mau ambil resiko hilang kursi dewan untuk perjudian mahal bernama pilkada.
Solusi
Ketika Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang sudah tak mungkin, revisi Undang-undang No.8/2015 harus diprioritaskan sebagai solusi regulasi. Di samping isu anggaran pilkada yang perlu diubah dari APBD menjadi APBN, pemahaman terhadap lima faktor penyebab calon tunggal itu harus menjadi pemahaman untuk revisi UU No.8/2015 mengatasi calon tunggal.
Pertama, mengurangi syarat calon jalur perseorangan. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam buku “Menata Kembali Pengaturan Pemilukada†(2012) sudah mengusulkan dukungan KTP calon perseorangan adalah 5 persen dari total penduduk suatu daerah.
Angka 5% merupakan titik tengah antara angka-angka regulasi lama dan baru. UU No. 12/2008 mensyaratkan dukungan calon perseorangan terlalu kecil, 3%. Sedangkan UU No.8/2015 mengatur dari 6,5% sampai 10 persen. Rekomendasi ini berlaku untuk semua daerah dan tingkatannya, provinsi dan kabupaten/kota. Penyeragaman persentase jumlah penduduk setiap daerah untuk memastikan adanya penyamaan perlakuan hukum antar-daerah.
Tapi, angka 5% tak direkomendasikan untuk daerah-daerah yang berlaku ketentuan istimewa berdasarkan konstitusi dan undang-undang. Daerah seperti Aceh, Yogyakarta, dan Papua mempunyai otonomi sendiri dalam menentukan nilai kesetaraannya.
Kedua, afirmasi pencalonan perempuan di jalur perseorangan. Jika ada calon perempuan di pasangan calon, baik sepasang atau salah satunya, dukungan KTP-nya lebih sedikit 30% dari syarat yang ada. Jika ditetapkan syarat dukungan calon perseorangan adalah 5% dari total penduduk suatu daerah, pasangan calon yang keduanya atau salah satunya adalah perempuan mengumpulkan 70% dari syarat 5%.
Afirmasi perempuan di pencalonan jalur perseorangan tak hanya untuk mengurangi kemungkinan pilkada bercalon tunggal. Afirmasi perempuan pun untuk menguatkan akses pencalonan perempuan di pilkada. Di Pilkada 2015, infopilkada.kpu.go.id mengumumkan, dari 1576 calon (788 pasangan) hanya ada 115 calon perempuan (7,29%). Keterpilihan perempuan pun jauh lebih rendah lagi pun jika terpilih merepresentasikan patriarki politik dinasti.
Ketiga, harus memuat aturan kolom kosong di surat suara pilkada. Ada dua tujuan disediakannya pilihan kolom kosong di pilkada: pertama, menjaga siklus transisi dan keberlanjutan pemerintahan; kedua, terciptanya prosedur pilkada yang mengapresiasi dan membuktikan elektabilitas calon tunggal.
Menurut International Foundation for Election Systems (IFES), negara-negara berpengalaman pemilu bercalon tunggal lebih banyak menyikapinya dengan aklamasi. Siprus, Irlandia, Islandia, dan Singapura menyikapi calon tunggal di pemilu eksekutif. Sedangkan Kanada, Inggris, Filipina, dan Singapura menyikapi aklamasi di pemilu legislatif.
Tapi, keistimewaan mengadu calon tunggal dengan pilihan kosong adalah tersedianya ruang pembuktian sekaligus perlawanan terhadap calon tunggal. Jika calon tunggal merepresentasi harapan rakyat sebagai pemilih, kolom kosong bisa melanjutkan penyelenggaraan pemilu sehingga tak mengganggu siklus pemilu dan harapan rakyat memiliki pemimpin yang dinilainya baik tak perlu ditunda ke fase pemilu berikutnya. Tapi jika calon tunggal merepresentasi kuasa politik dinasti, pilihan kosong bisa menjadi perlawanan pemilih menolak dominasi politik dinasti.
Keempat, keterpilihan pilihan kosong harus diapresiasi karena merepresentasikan keinginan rakyat sebagai pemilih. Jika memang kolom kosong mengalahkan calon tunggal, keterpilihan diberikan kepada kolom kosong. Karena Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, pemilih harus rela mempersilahkan Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri menunjuk pejabat sementera sampai pilkada berikutnya menghasilkan pemimpin yang dipilih rakyatnya secara langsung. []
USEP HASAN SADIKIN