August 8, 2024
Print

Catatan Kritis untuk Perluasan Pilkada Asimetris

Pemilihan kepala daerah secara langsung mengalami pasang surut kritik sebagai penyeragaman keadaan daerah. Sejak dilaksanakan pertama kali pada 2005 hingga kini secara serentak, sejumlah daerah punya keadaan berbeda. Ada daerah yang rentan konflik. Ada daerah yang terbebani pembiayaan. Bahkan maraknya politik uang bisa menyimpulkan suatu daerah tak cocok menerapkan pilkada langsung. Pilkada asimetris yang menyesuaikan ragam keadaan daerah juga punya catatan kritis sebelum usulannya direalisasikan.

“Pilkada asimetris bukan sekadar memilih langsung atau tidak langsung. Apalagi kalau hanya berdasarkan tingkat kemiskinan. Orang miskin distigma selalu menerima politik uang,” kata direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini dalam diskusi yang diselenggarakan Universitas Wiralodra, Cirebon, Jawa Barat secara daring (29/7).

Menurut Titi, jika suatu daerah terbebani dengan biaya pilkada, mengatasinya bukan serta merta mengubah pilkada langsung jadi tak langsung. Undang-undang bisa mengubah politik biaya tinggi dengan batasan kampanye dan fasilitasi alat peraga. Pendanaan dari pusat juga selama ini memungkinkan membantu. Politik uang pun lekat pada pemilih berlatar belakang loyalis partai, bukan karena masyarakat di suatu daerah miskin.

Sebelumnya, peneliti Indonesian Politics Research and Consulting, Leo Agustino menjelaskan, pilkada langsung punya lebih banyak keburukan, dibanding kebaikan. Bentuk keburukannya yaitu kampanye biaya tinggi juga politik uang dalam segala bentuk (vote buying, pork barrel project, club goods, candidacy buying, dan suap penyelenggara pemilu.).

Selain mengubah politik biaya tinggi menjadi murah, Titi mengingatkan, masalah pilkada yang utama adalah partai politik. Banyak calon kepala daerah kurang berkualitas juga disebabkan partai politik yang kurang berkualitas. Jika pilkada diserahkan ke DPRD, partai politik yang kurang berkualitas ini yang lebih menentukan. Pembentukan partai politik dan kepesertaannya di pemilu amat berat, kewenangan partai yang sentralistik, akuntabilitas keuangan serta kampanye yang basa-basi, adalah ketentuan yang harus diubah dalam revisi undang-undang pemilu, ini setidaknya untuk perbaikan.

Momen revisi undang-undang pemilu yang diingatkan Titi terhubung dengan pendapat Guru Besar Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran, Muradi. Menurut Muradi, pengupayaan pilkada asimetris tak mungkin dengan mengatasnamakan konteks pandemi.

Undang-undang pilkada dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) tak menyediakan ketentuan pilkada tak langsung. Revisi undang-undang pemilu bisa jadi momen relevan membahas pilkada asimetris karena undang-undang pilkada yang disatukan dalam undang-undang pemilu sedang direvisi.

“Jika mau menerapkan pilkada asimetris ya nanti setelah 2020 melalui revisi undang-undang,” kata Muradi.

Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Wiralodra, Iman Soleh berpendapat, dalam pilkada tak langsung, peran anggota DPRD akan sangat menentukan. Menurutnya, penting menemukan cara pengawasannya. Jika tak ada pengawasan dan partai parlemen kurang baik kualitasnya, ini semua tidak akan menghasilkan pemerintahan yang representatif.

“Kalau malah menihilkan pengawasan (dalam pilkada tak langsung), itu kerugian bagi demokrasi kita hari ini,” kata Iman.

Titi pun mengingatkan, selama ini Indonesia sudah menerapkan pilkada asimetris. Aceh punya partai lokal yang bisa mengusung calon kepala daerah bersyarat orang Aceh dan penyelenggara pemilu yang berbeda (Komisi Independen Pemilihan, bukan Komisi Pemilihan Umum). DKI Jakarta tanpa pilkada kabupaten/kota dan pemilihan gubernurnya menggunakan sistem mayoritas (keterpilihan 50%+1 sehingga memungkinkan putaran dua). DI Yogyakarta tanpa pemilihan gubernur. Papua ada syarat orang Papua bagi gubernur dan menerapkan pemilihan cara noken.

Selain itu, penerapan pilkada asimetris harus dihadapkan dengan Putusan MK mengenai pemilu serentak. Dalam Putusan MK No.55/2019 ini perbaikan penyelenggaraan pilkada perlu disertakan dalam pilihan desain pemilu serentak. []

USEP HASAN SADIKIN