Sepekan telah berlalu, sepekan pula masih terselip kegelisahan dibenak saya tekait kegiatan evaluasi terhadap Pilkada Serentak 2015 yang diselenggarakan KPU Provinsi Sumatera Barat yang melibatkan seluruh jajaran KPU Kabupaten/Kota serta melibatkan banyak stakeholder baik itu tokoh masyarakat maupun LSM. Kita sangat sadar bahwasahnya Pemilihan Umum itu sudah layaknya sebuah pesta rakyat, perputaran uang pada masa pemilihan umum sangat cepat dan luar biasa.
Semua orang merasakan dampak dari pemilihan umum, mulai dari toko-toko yang menyediakan jasa pengadaan atribut untuk berkampanye para kandidat, lembaga survey yang menyediakan jasa konsultan politik, sampai pada masyarakat pun ikut kebagian fulus dari money politik seperti serangan fajar, dan hampir semua masyarakat dari berbagai lapisan tersentuh oleh alek gadang pemilihan umum.
Secara teknis pelaksaan Pemilu, jujur secara pribadi saya sangat minim pengetahuan terkait bagaimana KPU menjalankan tugasnya dalam menjembatani hak politik masyarakat yakni memilih dan dipilih. Yang saya tahu selama ini lebih kepada masalah-masalah makro yang terlihat dalam perpolitikan kita, namun ketika saya terlibat dalam evaluasi tersebut, barulah melek mata saya ketika dihadapkan dengan masalah-masalah mikro yang selama ini saya kurang cermati dengan seksama.
Ada beberapa pembahasan yang menarik dalam diskusi kelompok yang saya ikuti dalam evaluasi Pilkada Serentak yang lalu yakni Pertama terkatit Penetapan Calon dan Formulir C6. Saya berasumsi bahwa dua permasalahan ini dapat menggambarkan realita yang cukup menarik dalam setiap pemilihan kita.
Pertama, terkait Penetapan Calon. Pemaparan dari Husni Kamil manik selaku Ketua KPU RI pada evaluasi tersebut menurut saya sangat menggelitik. Bahwa selama ini banyak sekali tingkah laku para calon kepala daerah yang cukup nyeleneh. Banyak calon kandidat yang terkadang nakal dengan peraturan yang telah dibuat KPU misalnya banyak menunda-nunda persyaratan atau bahkan tidak tahu atau pura-pura tidak tau terkait persayaratan untuk mencalonkan diri.
Padahal katanya KPU sudah cukup jelas dan transparan terkait persyaratan pencalonan diri bagi siapa saja yang ingin mencalonkan diri. Dengan sangat jelas Husni memaparkan bahwasahnya banyak sekali calon yang tidak layak untuk menjadi kepala daerah namun nyatanya terpilih, sampai husni dan banyak audiens didalam ruangan diskusi tertawa akan cerita ketua KPU tersebut. kita dapat membayangkan bagaimana buruknya demokrasi kita sekarang akibat gagalnya partai politik dalam menjalankan fungsi rekrumen politiknya.
Kedua, permasalahan terkait Formulir C6. Dimana selama ini C6 dianggap sangat mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih. Karena itu KPU juga telah menyerukan bahwa C6 tersebut jangan dianggap sebagai undangan namun anggap saja sebagai himbauan atau pemberitahuan, memutar balikkan logika C6 tersebut bertujuan agar masyarakat tetap semagat untuk memilih ketika tidak memiliki C6 karena partisipasi masih dapat disalurakan dengan menunjukkan KTP. Namun sayangnya logika tersebut nyatanya sulit untuk diterima, pasalnya secara redaksional isi dari C6 adalah undangan untuk memilih dan karena itu pantang bagi masyarakat untuk memilih ketika tidak diundang.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak maksimalnya distribusi C6 memang tergantung pada KPPS yang kurang cekatan atau malah tidak menemui orang yang akan diberikan C6 tersebut sehingga C6 dikembalikan, hal ini juga menimbulkan perbedaan pendapat antara KPU dan Bawaslu dimana menurut KPU ketika seseorang tidak dapat ditemui maka C6 harus dikembalikan, sedangkan bawaslu menyatakan bahwa ketemu atau tidak ketemunya orang yang akan diberikan C6 maka C6 harus tetap didistribusikan. dan Solusi yang ditawarkan dalam diskusi ini adalah KPPS harus lebih cekatan dalam distribusi C6 dan Bawaslu harus menyamakan persepsi terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU)
Evaluasi demokrasi
Dilematika dalam pelaksanaan pemilihan umum adalah bukti bahwa kita masih dalam proses belajar melaksanakan pemilihan umum yang baik dan benar, tentunya ini demi memajukan demokrasi kita yang baru saja kita laksanakan bersamaan dengan reformasi. Kita masih ingat bahwa dulu sempat kedaulatan rakyat dalam bentuk memilih dalam pemilihan umum dipangkas oleh para anggota dewan di DPR dimana mereka menginginkan kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD, dengan bahwa alasan pilkada langsung sangat rawan konflik sosial, money politic, dan yang paling digadang-gadangkan adalah high cost democracy .
Dalam realitasnya, demokrasi di Indonesia memaksa untuk dilakukannya “Fundamental Evaluatif â€baik pada sistem, kultur maupun aturan berdemokrasi. Pertama, Sistem demokrasi yang bergitu mengagungkan kedaulatan rakyat kenyataannya tidak selalu menghasilkan pemimpin yang bertindak sesuai amanat rakyat.
Oleh karena itu, masyarakat dituntut untuk cerdas dalam memilih para pemimpinnya merupakan faktor utama agar terjadi kesinambungan kehendak antar sipemberi mandat dan sang penerima mandat. Tentunya dengan keadaan demokrasi yang separoh matang ini, Indonesia sangat membutuhkan gebrakan dalam segi pendidikan politik. Ketika masyarakat telah melek dalam berpolitik barulah stabilitas akan terlahir dan dipastikan bahwa demokrasi akan sesuai dengan kehendak bersama.
Kedua, Penyelenggaraan pemerintahan cendrung tidak stabil dan terlalu banyak dihiasi politik transaksional semata. Kematangan berpolitik para wakil rakyat belum telihat dalam pentas perpolitikan Indonesia, dimana pemufakatan jahat kerapkali kita lihat dilayar kaca sehingga mencerminkan tidak adanya kedewasaan berpolitik.
Ketiga, Perjalanan demokrasi selama ini ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat yang telah diamanatkan Konstitusi Negara kita. Bagaimana tidak, selain elite politik yang kerap kali mendurhakai janjinya, masyarakat pun tidak banyak terlibat aktif berpartisipasi politk karena selama ini Pemilihan umumlah yang disebut partisipasi politik nyata bagi masyarakat padahal kita sangat mengetahui bahwa partisipasi masyarakat lebih dari pada sekedar memilih pada pemilihan umum.
Kenapa harus?
Kita sangat mengetahui bahwa ongkos demokrasi sangat besar, dan karena sangkin besarnya ongkos tersebut partai politik kehilangan ideologinya, Ideologi-ideologi yang katanya untuk rakyat dipukul rata menjadi ideologi kekuasaan. Terkait masalah penetapan calon dan Formulir C6, yang saya lihat kita cendrung hanya memberikan solusi yang itu-itu saja bahkan solusi itu menarik sama sekali. Kita seolah berjalan dalam sebuah labirin ketika ingin melaksanakan pemilihan umum, karena terlalu banyak aturan yang sebenarnya mempersulit kita untuk melangkah.
Jikalau saja setiap calon terlebih dahulu melalui proses seleksi yang ketat maka saya yakin KPU tidak perlu kewalahan dalam hal penetapan calon. Kita sangat mengetahui bahwasahnya menjadi seorang kepala daerah maupun pejabat publik lainnya sudah disamakan layaknya sebuah profesi, setiap orang yang ingin mendapatkan profesi maka harus melalui seleksi yang ketat, apalagi sekelas pemimpin daerah.
Ketua KPU sendiri telah menyatakan bahwa banyak sekali calon kepala daerah yang tidak layak namun terpilih, fakta ini membuktikan bahwa masyarakat masih lemah dalam memilih calon-calon yang berkualitas. Kita tidak bisa mengandalkan pemilihan umum untuk membuat perubahan bagi daerah kita. Andaikan saja setiap calon telah melalui sertifikasi ataupun semacamnya, saya yakin kegagalan partai politik menjalankan fungsi rekrutmennya serta lemahnya masyarakat dalam memilih calon kepala daerah dapat diminimalisir.
Sedangkan untuk C6, kenapa kita harus menggunakan C6 ? hanya Karena selembar kertas tersebut malah timbul kekacauan yang cukup substansial. Ibarat kata karena nila setitik, rursak susu sebelanga. Jikalau telalu rumit menggunakan C6 kenapa harus kita paksakan menggunakan C6. Masyarakat yang melek akan politik sangat sadar betapa pentingnya memilih pada pemilihan umum, Coba kita gunakan saja kartu pemilih atau KTP saat memilih, bahkan jika perlu kita rubah sistem dengan cara E-Voting.
Niscaya permasalahan permasalahan teknis seperti logistik dan segala macam tetek bengeknya tidak lagi kita jumpai, kita sendiri selalu ingin cepat dalam urusan birokrasi maupun administrasi tapi pada kenyataannya kita sendirilah yang membuat diri kita terperangkap oleh aturan –aturan yang rumit. Semoga sedikit usulan liar saya kali ini cukup menarik, semua saya sampaikan karena saya masih cukup gelisa dengan pemilihan umum kita. Semoga pemilihan umum kita lebih dan lebih baik lagi, semata-mata hanya untuk Indonesia yang lebih baik. []
DELLY FERDIANÂ
Mahasiswa Ilmu Politik UNAND, beraktifitas di LSM JEMARI Sakato