Seturut sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia maka pemilu menjadi hal yang keramat. Melalui pemilu, kedaulatan rakyat diimplementasikan. Ini cara mencapai pucuk-pucuk kekuasaan sebagai mekanisme yang legal dalam demokrasi.
Pemilu ini adalah antitesa dari sistem feodalisme yang memilih pemimpin dengan mekanisme trah. Sistem demokrasi merevisi ini, sebab garis keturunan darah adalah hal yang bersifat given. Manusia tidak dapat memilih dari mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Sistem pemilu ini mengakomodasi bahwa seyogyanya cabang-cabang kekuasaan dalam negara demokrasi modern diperoleh melalui mekanisme yang menempatkan semua orang dapat berkontribusi di dalamnya.
Sistem pemilu dalam negara demokrasi modern kemudian berkembang dan terus menerus diperbaharui. Batasan-batasan hak pilih atau partisipasi politik kian lama kian luas. Semua orang dapat berkontribusi dan berpartisipasi di dalamnya.
Dewasa ini kita mengenal adanya hak pilih universal. Kesimpulan mutakhirnya menempatkan semua orang berposisi setara dalam proses kedaulatan rakyat yang diimplementasikan.
Hak pilih universal ini kemudian terhubung dengan konsep perwakilan. Melalui pemilu, pemilih menitipkan mandat kepada orang yang dipercayakan untuk mewakilinya dalam pemerintahan.
Bagaimana kelompok disabilitas?
Dari konsep universal dan perwakilan itu, apakah warga disabilitas termasuk di dalamnya? Dalam segi regulasi, jaminan universal ini telah termaktub dalam konstitusi dan turunannya. Namun, pada tataran praktik seringkali masih banyak proses eksklusi sosial terhadap kelompok disabilitas. Ini jadi bagian dari warga yang terabaikan dan bahkan kehilangan hak politiknya yang dikonsepkan universal itu.
Kelompok disabilitas dalam pemilu menjadi diskursus yang tidak habis-habisnya. Disabilitas seringkali dipandang sebagai kelompok yang berbeda dan seringkali termarjinalkan dalam proses kegiatan keseharian. Disabilitas diidentikkan sebagai kelompok yang memiliki keterbatasan dan oleh sebab itu seringkali dipandang sebelah mata. Proses eksklusi sosial ini ditengarai karena bentukan konstruksi masyarakat yang melihat disabilitas semata-mata karena kekurangannya dan menempatkan mereka pada posisi undervalued ketimbang kelompok masyarakat nondisabilitas. Proses pembentukan wacana atau pemahaman umum mengenai disabilitas berlangsung terus menerus sehingga menempatkan posisi disabilitas dalam eksklusi sosial.
Penulis berpendapat bahwa perlu adanya wacana tandingan terhadap pemahaman dan generalisasi umum yang banyak beredar mengenai eksklusi disabilitas. Wacana tandingan ini kemudian menempatkan disabilitas dalam posisi valuable di antara kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Merujuk berbagai ratifikasi undang-undang dan konvensi international menunjukkan titik cerah bahwa disabilitas ini dapat dipandang melalui kacamata yang menyetarakan.
Jika melihat disabilitas dalam pemilu, satu hal yang penting untuk dilihat adalah seberapa besar kelompok disabillitas menentukan dan menjadi aktor yang berpengaruh dalam proses kedaulatan rakyat. Tentu jika dibandingkan kelompok nondisabilitas, secara kuantitas jumlah kelompok disabilitas tergolong rendah. Namun, sejatinya demokrasi dengan sistem pemilu yang kemudian menekankan hak pilih universal tidak hanya berfokus pada jumlah atau kuantitas semata, melainkan juga proses pemilu yang benar-benar mengakomodasi setiap kelompok sosial dalam sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Sekalipun dalam suatu masyarakat hanya ada 1 orang disabilitas dari 1.000.000 orang nondisabilitas, namun 1 orang tersebut sama haknya dan harus dijamin haknya dalam pemenuhan kedaulatan rakyatnya. Penulis berpendapat bahwa alasan kuantitas tidak dapat dijustifikasi ketika satu orang tidak memperoleh penjaminan hak pilih. Negara tetap harus berperan negara mengakomodasi setiap orang dalam penyelenggaraan pemilu meskipun rendah kuantitas.
Dalam setiap perhelatan pemilu, isu disabilitas dalam proses pemilu yang menekankan hak pilih universal menjadi diskursus yang menarik. Penulis berpendapat bahwa hal ini menjadi suatu keuntungan tersendiri, bahwa ketika diskursus itu terus menerus diperbincangkan, maka ada interest yang menular kepada khalayak umum. Namun demikian, jika suatu hal terus menerus diperbincangkan, itu juga berarti masih ada masalah yang belum terselesaikan, dan menuntut untuk terus dijadikan bahan kajian dalam evaluasi.
Penulis berpendapat bahwa isu disabilitas dalam pemilu adalah isu yang harus terus menerus mendapat titik tekan dalam proses demokrasi di Indonesia. Perjuangan hak pilih universal dalam kelompok disabilitas dalam proses pelaksanaan kedaulatan rakyat perlu mendapat perhatian serius dari khalayak luas.
Penyelenggara pemilu harus mewujudkan pemilu yang inklusif. Ini merupakan perjuangan dan ikhtiar yang tidak henti-hentinya. Regulasi dan payung hukum terkait hal universal ini sudah diakomodasi, namun pada tataran praktik pengawalan isu disabilitas dalam pemilu ini harus terus menerus didorong.
Proses panjang pemenuhan hak pilih kelompok disabilitas berkaitan dengan upaya membangun kesadaran inklusif. Ini penting bukan hanya saat pemilu, melainkan dalam kehidupan sehari-hari. Pemilu hanya penyelenggaraan lima tahunan. Ketika kesadaran inklusif ini terbangun dalam keseharian, menempatkan disabilitas dalam posisi setara dengan kelompok lain, maka inklusivitas ini bisa menular ke dalam pemilu. Bukankah kesamaan hak, kesetaraan, dan keadilan merupakan cita negara ini didirikan? []
SAMUEL AGUS SANTOSA
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro