Jumat (5/4), Setara Institute mengadakan diskusi bertajuk “Mengawal Integritas Pemilu: Hak Pilih, Akuntabilitas Dana Politik, dan Penegakan Hukum” di Hotel Ashley, Gondangdia, Jakarta Pusat. Akuntabilitas dana politik, khususnya dana kampanye, menjadi salah satu sorotan pembahasan, sebab tak banyak perhatian pada isu ini. Padahal, tidak akuntabelnya dana kampanye dapat menjadi bom waktu korupsi politik.
“Akuntabilitas dana politik belum dapat perhatian banyak. Padahal ini variabel penting dalam pemilu. Kalau dana kampanye tidak akuntabel, bisa jadi bom waktu terjadinya korupsi politik secara sistemik,” ujar Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, pada diskusi tersebut.
Setara mengundang perwakilan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, (PPATK), Kepolisian, pakar transaksi keuangan, dan dua lembaga masyarakat sipil yang bergerak di bidang kepemiluan. Dari diskusi yang berjalan, dapat disimpulkan bahwa regulasi saat ini tak cukup untuk menjamin terwujudnya akuntabilitas dana kampanye oleh peserta pemilu.
Salah satu kelemahan regulasi yang disebutkan yakni pengaturan mengenai penindakan terhadap peserta pemilu yang menerima sumbangan dari pihak asing, baik warga negara asing, pemerintah asing, lembaga masyarakat sipil asing, maupun perusahaan asing. Di Undang-Undang (UU) Pemilu diatur, peserta yang menerima sumbangan dari pihak asing mesti mengembalikan sumbangan tersebut ke kas negara paling lambat 14 hari sejak sumbangan diterima. Namun, berhubung dalam hal ini KPU RI bekerja melalui kantor akuntan publik (KAP), maka KAP baru dapat mengaudit dana kampanye setelah peserta pemilu menyerahkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Sedangkan, LPPDK diserahkan peserta pemilu kepada KAP paling lambat 15 hari sejak pemungutan suara.
“Harus dikembalikan ke kas negara paling lambat 14 hari sejak diterimanya sumbangan dari pihak asing. Persoalannya kan diketahuinya kapan. Katakanlah, misal PPATK sampaikan ke KPU. KPU tidak bisa langsung mengeksekusi, kami hanya bisa menyampaikan ke KAP untuk mengaudit dana kampanye. KAP bekerja, menurut UU Pemilu, setelah LPPDK diserahkan ke KPU. Jadi, tanggal 2 Mei baru bisa diserahkan. Artinya, KAP baru bisa membaca ya tanggal 2 itu. Persoalannya kan sudah digunakan pastinya. Nah, apakah tetap bisa ditagih untuk dikembalikan?” jelas Hasyim.
Kesulitan PPATK melakukan pengungkapan
Bawaslu bekerjasama dengan PPATK untuk mengawasi transaksi dana kampanye. PPATK mengakui, pengawasan terhadap transaksi dana kampanye hanya dapat dilakukan sepanjang data yang diberikan kepada PPATK valid. Beberapa transaksi sulit dilacak karena setidaknya tiga hal. Satu, peserta pemilu tak memberikan nomor rekening khusus dana kampanye yang valid. Dua, lamanya rantai administrasi yang diperlukan untuk memperoleh data yang dibutuhkan dari pihak bank yang bersangkutan. Tiga, singkatnya waktu yang diberikan UU Pemilu untuk mengungkap kasus transaksi ilegal dana kampanye.
“Ada yang mengisi nomer rekening khusus dana kampanye yang diminta oleh KPU itu dengan nomor kartu kredit. Nah, ini menyulitkan. Kami butuh informasi yang cepat, dan bank butuh waktu untuk mencari data. Moga-moga penanganan bisa tidak berhenti sampai pemilu selesai. Jadi, kalau Bareskrim (Badan Reserse Kriminal) menemukan ada dana ilegal, apakah bisa calon terpilih dibatalkan? Harusnya ya, karena ini soal integritas,” tandas Irjen Polisi Firman Shantyabudi, Deputi Pemberantasan PPATK.
Berkenaan dengan transaksi dana politik, Firman menyampaikan, dari laporan intelijen yang diterima PPATK, banyak penarikan uang tunai dalam jumlah besar sejak dua hingga tiga tahun belakangan. Fenomena itu dimaknai PPATK bahwa terdapat uang tunai berjumlah besar yang disimpan dan kemungkinan beredar di masyarakat. Pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak lalu, uang tunai yang ditarik kemudian dipecah ke dalam pecahan kecil.
“Ketika dituliskan salah satu pihak bahwa dia sudah mengeluarkan uang sekian, pertanyaannya apakah itu sudah disetor ke bank, atau uangnya dismpan dan tersebar di masyarakat? PPATK meotret ada kecenderungan ini. Laporan intelejen, penarikan dana tunai dalam jumlah besar terjadi sejak dua sampai tiga ini. Dari kasus (pilkada) kemarin, itu modus konvensional. Uangnya diambil, dipecah-pecah,” terang Firman.
Dalam kerja pengawasan dana politik di Pemilu 2019, PPATK melacak aliran uang yang diterima atau dikeluarkan oleh rekening khusus dana kampanye dan memeriksa penarikan uang tunai dalam jumlah besar. Ketika rekening khusus dana kampanye menerima transfer uang semisal 500 juta rupiah dari suatu nomor rekening, PPATK akan melakukan profiling pemilik rekening tersebut. Jika profil pemilik rekening dinilai tak memiliki kemampuan finansial untuk mentransfer uang tersebut, PPATK akan melaporkan kepada Bawaslu.
“Kalau ada aliran uang, misal saya PNS (pegawai negeri sipil), transfer 500 juta. Nah, ini harus dicurigai karena besaran uang ini tidak sesuai dengan profil saya. Nah, peserta pemilu, kita kaitkan ke sana. Masih sesuai dengan profil tidak. Ini yang jadi catatan. Baru kita lapor ke Bawaslu,” ucap Firman.
Belum ada pelanggaran dana kampanye yang dilaporkan ke Gakkumdu
Kepala Biro Pembinaan dan Pperasional Bareskrim Polri, Brigjen (Pol) Nico Afinta mengatakan hingga saat ini, belum ada laporan mengenai pelanggaran dana kampanye di Pemilu 2019. Jika di kemudian hari ada yang melaporkan, aduan akan diproses melalui mekanisme di Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Adapun objek pelanggaran yang dapat diproses oleh Gakkumdu yakni terkait sumber dana kampanye, besaran dana kampanye, dan waktu pelaporan dana kampanye.
“Jadi, tiga ini, kita amati, kekira mana yang dilanggar sehingga bisa dilaporkan, nanti kita proses. Pelanggaran dana kampanye ini pidana spesialis, harus ada laporan. Nanti baru kita dalami. Kalau PPATK melaporkan, nanti Bareksrim bisa proses. Jadi, kita proses apakah syarat formil dan materilnya terpenuhi,” ujar Nico.
Terobosan hukum dibutuhkan
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demorkasi (Perludem), Titi Anggraini berpendapat bahwa uang semakin dominan bermain di Pemilu 2019. Hal itu dibuktikan dengan ditingkatkannya jumlah batasan sumbangan dana kampanye di UU Pemilu. Namun sayangnya, peningkatan jumlah tak dibarengi dengan perbaikan regulasi. Sejak Pemilu 2009, regulasi penindakan terhadap pelanggaran dana kampanye hanya berubah dalam lamanya waktu penindakan. Regulasi yang dibutuhkan, yakni keterlibatan PPATK sejak awal proses kampanye, pembatasan transaksi tunai, dan pemberlakuan batasan belanja kampanye tak pernah diterapkan.
“Selama pembatasan belanja kampanye tidak ada, ini akan jadi ruang kontestasi yang tidak setara, dimana yang punya uang bisa melakukan cara-cara yang mengandalkan uang tadi. Kami juga dulu usul agar PPATK dilibatkan sejak awal. Rekening khusus dana kampanye itu kan wajib diserahkan satu hari sejak penetapan partai politik peserta pemilu, nah kalau itu diserahkan sejak awal kepada PPATK, PPATK jadi punya akses pengawasan yang luar biasa,” kata Titi.