August 8, 2024
Print

Demokratisasi Sektor Publik

Awal tahun 2016 Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah mulai diterapakan. Penerapan MEA memberikan pengaruh terhadap eksistensi Indonesia di kawasan Asia Tenggara, terutama di bidang politik. Meskipun bergerak dinamis, bidang ini memberikan pengaruh terhadap bidang-bidang lainnya.

Dinamisnya sektor ini secara jangka panjang mempengaruhi sektor pendidikan, sosial dan budaya. Maka dari itu, politik harus diperkuat atas keberadaan MEA. Tujuannya, agar penerapan MEA tidak melemahkan sektor politik, yang tidak langsung politik malahan memperlemah keberadaan MEA di Indonesia apabila sektor ini tidak diperhatikan secara profesional.

Peran sektor politik di Indonesia menghadapi MEA, salah satunya adalah memperkuat pemahaman tentang demokrasi. Penguatan tersebut salah satunya dengan menjadikan kultur keberagaman dengan mentranformasikannya dengan wujud kelembagaan. Sebagai negara Bhineka Tunggal Ika, keberadaan MEA menjadikan Indonesia sebagai “tolak ukur” demokrasi yang memosisikan keberagaman yang damai pada suatu negara.

Indonesia di bidang ini sudah lama mendapatkan sorotan dunia, sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Indonesia bisa menjaga perbedaan lintas suku agama dan ideologi. Penjagaan nilai tersebut direalisasikan bahwa di Indonesialah kelompok-kelompok minoritas diperhatikan secara penuh oleh negara. Meskipun, dari dekade ke dekade pemerintahan negara ini masih ada juga beberapa kelompok yang masih belum siap berdemokrasi. Misalnya, memperkenalkan slogan-slogan kebencian yang memperkeruh falsafah keberagamaan. Kelompok-kelompok ini sedikit perlu untuk mendapatkan pencerahan berpancasila secara mendalam.

Pada era MEA, pertarungan yang akan dihadapi Indonesia bukan saja kompetisi sesama warga negara, tetapi antarwarga negara. Kompetisi yang saat ini berlangsung sesama warga negara Indonesia masih belum terakamodir dengan baik. Seperti masih belum ditempatkanya nilai hak-hak asasi manusia sebagai ujung tombak bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Penghayatan-penghayatan nilai-nilai menghadapi MEA harus melakukan “revolusi”. Terutama internal negara Indonesia, yang mengedepankan hak-hak asasi manausia. Yang menjadikan warga negara toleransi terhadap kompetisi-kompetisi yang bukan dengan wujud kebenciaan. Jika kita menghadapi MEA seperti itu, harapan positif Indonesia berperan besar di MEA—dengan penataan demokrasi—memberikan hak yang sama terhadap warga negara.

Peran negara

Melembagakan nilai-nilai demokrasi yang lebih kuat di era MEA merupakan tantangan negara Indonesia. Karena, posisi Indonesia yang diharapkan menjadi negara percontohan—keberadan MEA yang massif—bukan berarti menjauhkan kita dengan kemanusian itu sendiri. Negara memberikankan posisi yang dominan melakukan demokratisasi terhadap bidang-bidang yang nantinya membantu perkembangan MEA untuk hajat hidup orang banyak yang egaliter.

Secara politik negara memosisikan diri sebagai pengelola sistem ini, agar tak ada mayoritas yang membentuk oligarki dan minoritas yang tersingkir. Posisi negara yang menciptakan demokratisasi terhadap bidang politik—akan menyehatkan sistem lain—terutama perizinan-perizinan yang akan diterapkan dalam pelaksanaaan MEA.

Sektor publik menjadi urusan penting yang perlu di`dahulukan jika Indonesia ingin berhasil bertarung denga MEA. Jika sektor-sektor publik, misalnya birokasi di dominasi oleh orang-orang yang tak memiliki kesiapan, misalnya orang-orang yang terbiasa mencari untung di wilayah birokasi. Sehingga memanfaatkan birorkasi sebagai ladang pencarian untung pribadi—menjadi masalah yang selama ini menyulitkan kita mendapatkan pelayanan yang baik di sektor ini.

Politisi yang bermental birokrasi ataupun birokrasi yang bermental politisi merupakan penyakit yang terus membusuk di dibidang-bidang penting pelayanan publik Indonesia. Kita bisa menyadari bahkan mengalami secara sendirinya, birokrat-birokrat yang tidak berprilaku ramah terhadap kita dengan pelayanan dan informasi yang diberikanya. Sehingga,  kekerasan pelayanan dan informasi sering kita alami. Padahal Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik mengajarkan keterbukaan kepada lembaga-lembaga negara yang bisa diakses dan ingin diketahui masyarakat.

Mental-mental masih belum sehat di dinas-dinas yang ada di Provinsi/Kabupaten/Kota. Pengelolaan Website yang tranparan dengan mudah diakses pubik dengan data yang dinginkan merupakan masalah yang sulit kita dapatkan informasinya dengan mudah. Pada akhirnya, dinas-dinas melalui birokratnya menyebutkan informasi yang ia proyekan kepada orang-orang terentu (keluarga) yang menguntungkan golongan, etnis dan kelompoknya.

Demokratisasi sektor publik memang bukan persoalan yang setengah-setengah, yang hanya berada di level wacana. Tetapi, memang harus terealisasi dengan nyata dengan keterlibatan sektor publik menunjukan keterbukaannya. Jika sektor ini baik, maka masyarakat akan lebih mudah berselancar mengadapi MEA yang dominan dengan persaingan yang ketat. Ekonomi akan menunjukan kebaikannya, jika soal perizinan, keterbukan dan korupsi bisa diatasi dengan mudah dan cepat.

Jadi, negara berperan penting melakukan demokratisasi di segala bidang yang ada di masyarakat, terutama politik. Dengan begitu, Indonesia akan menjadi percontohan negara lain, bagaiman cara menghadapi MEA? Dengan menciptakan tatanan negara, satu untuk semua, semua untuk satu. Yang tidak mengeliminasi kemanusiaan  dengan keberpihakan negara terhadap semua kalangan.

ARIFKI
Kolumnis, Alumni Ilmu Politik Universitas Andalas