November 27, 2024

Dilema Peningkatan Subsidi Parpol

Peningkatan subsidi kuangan partai politik lahirkan dilema. Konstitusi dan undang-undang menempatkan parpol sebagai lembaga publik karena penyuplai utama pejabat politik. Tapi, keuangan parpol sebagai lembaga publik parpol sangat didominasi bersumber dari pihak privat. Peningkatan subsidi Parpol untuk di keadaan regulasi yang tak menjamin transparansi dan akuntabilitas

“Hampir semua posisi kekuasaan negara diakses melalui partai politik tapi subsidi dari negara tak sampai satu persen dari total pengeluaran parpol,” tutur direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, Kota Depok (7/9).

Titi berpendapat, peningkatan subsidi merupakan kewajaran bagai parpol sebagai lembaga publik. Tapi ada lima syarat. Pertama, ditingkatkan bertahap tiap tahun. Kedua, subsidi maksimal 30 persen dari total pengeluaran parpol. Ketiga, transparansi dan akuntabilitas. Keempat, skema pengawasan. Kelima, sanksi jelas dan tegas.

Peneliti senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Dian Permata menjelaskan, aspek transparansi keuangan parpol di Indonesia punya tantangan besar. Jika peningkatan parpol mau dicapai sampai 30 persen dari total pengeluaran parpol, penerapannya sulit pada ranah apa saja untuk bisa diketahui pasti berapa pengeluaran keuangan parpol.

“Perindo jadi jadi peserta pemilu dan masuk parlemen, apakah iklannya di TV selama ini dihitung? Lalu, kantor DPP Golkar sejak Orde Lama atau kantor DPP PAN yang selalu pindah tergantung Ketua Umumnya, apakah juga dihitung? Ini seperti bertanya gaji pada seseorang. Mengetahui keuangan parpol itu tabu dan abu-abu,” kata Dian (7/9).

Koordinator korupsi politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Faris berpendapat, masalah demokrasi yang utama adalah parpol. Pemilihan ketum, pencalonan di pemilu, dan kaderisasi semua masalah. Menurut Donal, hulu permasalahannya adalah uang.

“Sebelumnya peningkatan subsidi parpol disetujui jika parpol sudah baik. Pertanyaan, kapan baiknya? Karena itu subsidi parpol diberikan untuk perbaikan parpol menyertakan syarat transparansi dan akuntabilitas. Sudahlah biar BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang menanganinya,” ujar Donal (7/9).

Saat ini, sumber kuangan parpol menurut UU Parpol yang salah satunya berasal dari anggota parpol tak relevan karena faktanya hanya pejabat politik terpilih seperti dewan dan kepala daerah yang memberikan uang ke parpol. Direktur Pusat Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari menjelaskan loyalitas keanggotaan parpol menjadi salah satu sebab.  Persaingan antarcalon dalam sistem proporsional terbuka belum disertakan dengan penegakan hukum dan mahkamah internal parpol yang baik.

“Ada anggota parpol yang sudah lama di parpol tapi tak dicalonkan sebagai caleg atau kepala daerah. Ketakjelasan jaminan karir politik ini membuat iuran anggota tak berjalan,” kata Feri.

Profesor riset ilmu politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro mengatakan, keadaan parpol belakangan menggambarkan ketunggalan kepemilikan parpol. Berdiri dan eksisnya parpol bergantung satu sosok dan terpusat. Di samping itu, kelembagaan parpol beserta anggotanya tak mengakar bagi pemilih lahirkan kecenderungan deparpolisasi.

Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani (27/7) menyampaikan, Pemerintah akan meningkatkan subsidi parpol. Peningkatan ini berdasar hukum dengan merevisi Peraturan Pemerintah No.5/2009 tentang Bantuan Keuangan Partai Politik. Kemungkinan hitungan jumlah subsidi tiap parpol berdasar perolehan suara atau kepemilikan kursi parpol parlemen.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo menyebutkan angka peningkatannya. PP No.5/2009 yang sebelumnya mensubsidi parpol parlemen dengan angka Rp 108 per suara akan ditingkatkan menjadi Rp 1000 per suara. []

USEP HASAN SADIKIN